Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Inklusi Pajak dalam Kurikulum Pendidikan

Meski baru diluncurkan pada 20 Mei lalu, program Sastra Masuk Kurikulum dengan cepat menuai pro dan kontra di kalangan akademisi pendidikan.

Polemik muncul karena sejumlah buku sastra yang menjadi rujukan dinilai memiliki muatan yang tidak tepat untuk diajarkan di bangku pendidikan (Kompas.id, 29/5/2024).

Di satu sisi, inklusi sastra dalam pembelajaran formal diharapkan bisa menjadi jalan meningkatkan literasi pelajar.

Hasil Asesmen Nasional 2021 menemukan bahwa satu dari dua pelajar belum memiliki kompetensi literasi yang memadai (Harian Kompas, 28/2/2023).

Inklusi sastra dalam kurikulum pun diyakini dapat mengatasi minimnya minat baca dan akses terhadap bahan bacaan yang menengarai masalah literasi tersebut (Kompas.id, 11/12/2023).

Kendati demikian, masalah literasi di masyarakat sebenarnya tidak hanya sebatas di bidang sastra saja. Literasi perpajakan, yang merupakan bagian penting dari literasi keuangan, juga menghadapi persoalan yang sama.

Pada Agustus 2022, Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengungkap bahwa sebanyak 49 persen masyarakat masih kurang memahami kewajiban dan tujuan perpajakan.

Padahal, literasi perpajakan sangat penting melihat perkembangan kebijakan pajak yang akan semakin kompleks ke depannya.

Mulai tahun depan saja, akan ada sejumlah perubahan penting dalam kebijakan pajak. Misalnya, penyatuan NIK menjadi NPWP, pemungutan jenis pajak baru atas emisi karbon, dan migrasi menuju sistem administrasi pajak (coretax) baru.

Perkembangan kebijakan pajak sejatinya menjadi tuntutan tak terhindarkan dari ekonomi yang kian mengglobal. Mestinya, hal tersebut dibarengi dengan meningkatnya literasi pajak di masyarakat.

Ini menjadi prasyarat pentingnya mempertimbangkan inklusi pajak dalam kurikulum pendidikan.

Di banyak negara yang berhasil meraih rasio pajak lebih tinggi, kesadaran pajak telah lama menjadi bagian dari kurikulum pendidikan.

Di Britania Raya, misalnya, literasi pajak dimuat dalam mata pelajaran Edukasi Ekonomi, Kesehatan, Sosial, dan Kepribadian yang diajarkan di seluruh jenjang pendidikan sejak September 2020.

Australia dan Selandia Baru juga mewajibkan pajak diajarkan pada program literasi keuangan dalam kurikulum pendidikan.

Muatan edukasinya disusun langsung oleh Australian Taxation Office dan Inland Revenue Department yang merupakan otoritas resmi pengelola pajak di bawah pemerintah.

Di Indonesia, wacana inklusi pajak dalam kurikulum sebenarnya pernah dimunculkan pada 2017. Saat itu, Direktorat Jenderal Pajak dan Kemendikbud menyepakati perjanjian kerja sama untuk memasukkan kesadaran pajak dalam kurikulum di segala jenjang pendidikan (Kompas.com, 11/8/2017).

Empat tahun kemudian, gagasan yang sama kembali disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam program Pajak Bertutur (Kompas.com, 25/8/2021).

Namun, hingga kini, gagasan tersebut baru terealisasi sebagian dan pajak belum benar-benar menjadi bagian dari kurikulum pendidikan.

Setiap tahunnya, Direktorat Jenderal Pajak melangsungkan edukasi pajak di berbagai lembaga pendidikan lewat program Pajak Bertutur dan Pajak Menuju Sekolah/Kampus (Tax Goes to School/Campus).

Hal yang sama juga dijalankan Kementerian Keuangan lewat program tahunan Kemenkeu Mengajar yang mengedukasi pelajar tentang tujuan perpajakan.

Namun, program-program tersebut baru menjangkau sejumlah sekolah yang telah membentuk persetujuan bersama. Edukasi perpajakan belum sepenuhnya menjangkau seluruh lembaga pendidikan, khususnya di daerah sulit akses (remote).

Inklusi pajak dalam kurikulum dapat memperluas jangkauan tersebut. Jika pajak menjadi bagian dari kurikulum, tenaga pengajar di seluruh institusi pendidikan dapat berperan langsung mengedukasi pajak dan literasi keuangan kepada pelajar.

Realisasinya tidak harus dengan menjadikan pajak sebagai mata pelajaran khusus. Inklusi dalam kurikulum bisa diwujudkan secara kokurikuler dengan menyisipkan kesadaran pajak pada mata pelajaran yang terkait, seperti pendidikan kewarganegaraan dan ilmu pengetahuan sosial.

Di Jawa Tengah, program seperti ini telah direncanakan mulai tahun ajaran 2024/2025 mendatang, lewat kerja sama antara Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan Dinas Pendidikan setempat.

Program inklusi pajak dalam kurikulum tersebut sejatinya merupakan wujud dari hubungan mutualisme antara pajak dan pendidikan.

Membangun kesadaran pajak lewat pendidikan dapat mendukung peningkatan rasio pajak, yang nantinya akan ikut berdampak positif meningkatkan kapasitas anggaran pendidikan.

Sebagai perbandingan, di negara-negara Nordik seperti Denmark dan Swedia, kesuksesan meraih rasio pajak yang tinggi memungkinkan tersedianya anggaran yang cukup untuk mendanai pendidikan gratis hingga jenjang perguruan tinggi.

Hal ini turut disampaikan Sri Mulyani ketika menghadiri seminar nasional di Jakarta pekan lalu (Kompas.com, 30/5/2024).

Dalam APBN 2024, pajak menjadi sumber utama yang menopang 88 persen dari anggaran pendidikan senilai Rp 665 triliun.

Belanja pendidikan ini menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah nasional. Namun, angka ini sebenarnya masih bisa bertambah apabila rasio pajak mengalami peningkatan.

Terlebih lagi, kebijakan pendidikan yang direncanakan oleh pemerintah ke depan, seperti program makan siang gratis dan pembebasan biaya pendidikan tinggi, juga membutuhkan tambahan kapasitas anggaran.

Kesadaran pajak pun menjadi hal yang mutlak perlu ditingkatkan untuk mencapai kenaikan rasio pajak sesuai target dan kebutuhan.

Oleh karena itu, inklusi pajak dalam kurikulum pendidikan layak dipertimbangkan menjadi salah satu kebijakan prioritas meningkatkan kinerja perpajakan.

Jika berhasil, maka edukasi formal pajak bisa membuka jalan mewujudkan kenaikan rasio pajak dan kualitas pendidikan secara bersamaan.

https://money.kompas.com/read/2024/06/03/090000526/inklusi-pajak-dalam-kurikulum-pendidikan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke