Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perang Pengendalian Harga dari Bumi Suwarnadwipa

Konflik tersebut memiliki efek rambatan sampai ke Indonesia. Dampak tersebut salah satunya berupa inflasi akibat impor (imported inflation) yang tentu saja memberikan pengaruh atas kestabilan perekonomian.

Dilihat secara saksama, sektor pangan dan energi menjadi dalang imported inflation tersebut.

Hal ini beralasan, mengingat masih banyak bahan pangan yang diimpor oleh negara kita, sebutlah gandum.

Bahan dasar pembentuk mie dan makanan lainnya ini ternyata banyak disuplai oleh negara yang saat ini mengalami konflik, Ukraina.

Memang, substitusi negara produsen dan sumber pangan alternatifnya telah ada, tetapi setidaknya hal ini cukup memberikan kejutan berupa inflasi secara temporer. Dilihat dari sumber masalahnya, kategori ini dimasukkan sebagai penyebab eksternal.

Namun ada juga penyebab yang berasal dari internal, atau dari dalam negeri, misalnya bencana El Nino.

Dampak El Nino yang cenderung mengakibatkan kekeringan sejak tahun lalu hingga awal tahun ini tentunya mengubah, menggeser, atau bahkan mengurangi kapasitas dan pola tanam pertanian nasional. Hal ini jelas berdampak pada jumlah pasokan pangan dalam negeri.

Solusi mudah jangka pendeknya umumnya dilakukan impor. Namun tentu saja mengurangi semangat kedaulatan pangan, serta menggerus kantong APBN. Tidak ada jalan lain selain cara tersebut.

Setelah El Nino, kita patut mewaspadai karena di penghujung tahun 2024 ini diproyeksikan La Nina akan menghadang. Efek La Nina akan berdampak banjir di sejumlah daerah, terutama bagi lumbung pangan nasional akan mengalami kegagalan panen.

Seharusnya ini dapat menjadi peringatan bersama, untuk lebih serius mengantisipasi defisit pasokan pangan dalam negeri, alih-alih melakukan cara mudah lewat impor tadi.

Keseriusan ini menjadi mutlak karena angka inflasi nasional umumnya besar disumbang dari kenaikan harga pangan.

Inflasi perlu dikendalikan, karena inflasi sejatinya memberikan jarak masyarakat pada kesejahteraan.

Sebagai gambaran, inflasi bulan Mei 2024 secara tahunan sebesar 2,84 persen, menurun dibanding bulan sebelumnya sebesar 3 persen.

Angka ini tergolong aman, karena masih dalam konsensus yang ditargetkan sebesar 2,5 ± 1 persen pada 2024 dan 2025.

Diistilahkan, angka inflasi ini disebut inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK). Dari sisi pembentuknya, IHK terdiri dari inflasi inti, inflasi volatile food (VF), dan inflasi administered price (AP).

Di Indonesia, inflasi banyak dipengaruhi oleh inflasi pangan VF, dibanding inflasi yang bersumber AP.

Hal ini beralasan, karena umumnya inflasi AP dipengaruhi oleh harga barang atau jasa yang pergerakan harganya dikendalikan oleh kebijakan Pemerintah, misalnya BBM, listrik, tarif angkutan atau transportasi, cukai tembakau (rokok), dsb.

Sementara golongan VF seperti bahan pangan (padi, beras, bawang, atau komoditas lain) yang harga dan pasokannya dipengaruhi oleh hukum penawaran – permintaan, musim panen atau bahkan fenomena alam, seperti El Nino dan La Nina.

Genderang perang lawan inflasi

Nah, atas alasan tersebut, pemangku kebijakan seperti kementerian dan otoritas moneter memberikan perhatian penuh atas permasalahan tersebut, terutamanya inflasi VF.

Dalam payung Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP), pemangku kebijakan memformulasikan dan menyusun strategi, replikasi success story, serta pembahasan tantangan dan solusi dikaitkan pengendalian inflasi.

Pada Mei 2024 ini, GNPIP menabuh genderang perangnya di segenap penjuru nusantara, mulai dari Bumi Suwarnadwipa, yakni Pulau Sumatera.

Dimotori oleh sinergi lintas otoritas seperti Kemenko Perekonomian, BI, Bapanas, Kemendagri, Kementan, Bulog, serta Pemda setempat, GNPIP merumuskan penguatan daerah Sumatera sebagai lumbung pangan nasional, dan bahkan berdampingan dengan Pulau Jawa.

Saat ini produksi pangan nasional Sumatera cukup diperhitungkan. Misalnya cabai (proporsi produksi sebanyak 45 persen terhadap nasional), berturut-turut selanjutnya telur ayam (24,07 persen), padi (20,58 persen), daging ayam ras (20,39 persen), dst.

Ini membuktikan tanah Sumatera yang subur berpotensi menjadi pemain nasional. Menjadi tugas bersama agar kuantitas dan kualitas ini semakin membaik.

Namun permasalahannya beberapa provinsi di Sumatera masih sering dijumpai tingginya inflasi pangan. GNPIP yang di dalamnya berisikan Tim Pengendalian Inflasi, baik Pusat (TPIP) dan Daerah (TPID) kali ini menekankan pentingnya sinergi Kerjasama Antar Daerah (KAD).

KAD dapat mengeliminasi gangguan pasokan pangan, khususnya di wilayah Sumatera, melalui pemenuhan ketersediaan antarwaktu dan antarwilayah antara yang surplus maupun defisit.

Penekanan ini beralasan, mengingat saat ini secara KAD se-nasional terdapat sekitar 240 komitmen KAD untuk seluruh komoditas.

Dari angka tersebut, hanya 107 KAD yang terealisasi (sekitar 44 persennya saja), sedangkan sisanya tidak berlanjut.

Apabila ditelisik, kurangnya realisasi tersebut lebih karena pasokan pangan yang belum kontinu, sulitnya mencari daerah pemasok, dan tidak ada kesepakatan harga antarkedua belah pihak.

Dari sini perlu dicarikan solusi, misalnya membentuk sutu kelembagaan lintas daerah untuk memantau surplus – defisit, dan akan me-‘match making’-kan.

Ini penting karena KAD yang ditunjang optimalisasi sarana penyimpanan komoditas dan penguatan konektivitas antarwilayah (infrastruktur) merupakan resep mujarab stabilitas atas disparitas harga pangan antarwilayah di Sumatera.

Terkait kelembagaan, perlu ditinjau adanya pendirian kelembagaan BUMD pangan. Mereplikasi kisah sukses BUMD Pangan di Jakarta, Sumatera diharapkan memiliki kelembagaan serupa mengingat peran pentingnya selain dalam stabilisator pasokan dan harga pangan, juga meningkatkan efisiensi rantai pasok pangan di daerah.

Sementara pada sisi akses permodalan pertanian, pemerintah mendorong optimalisasi fasilitas pembiayaan alat dan mesin pertanian (alsintan) menggunakan skema Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Kabar baiknya, serapan KUR wilayah Sumatera sebesar Rp 17,2 triliun, yang merupakan posisi kedua setelah Jawa sebesar Rp 35 triliun.

Tidak ketinggalan, dikombinasikan dengan inovasi dan digitalisasi produksi pangan sangat berdampak dalam hasil panen.

Misalnya, penggunaan internet of things (IoT) dalam pertanian terbukti mampu mendorong perolehan produksi.

Sejak 2022 lalu, TPIP/TPID menyusun beberapa lokasi demonstration plot (demplot) digital farming produk cabai menggunakan IoT.

Hasilnya, produksi cabai naik tiga kali lipat dibanding cara konvensional, atau mulanya hanya 8 – 10 ton/hektare menjadi 28 ton/hektar.

Beragam upaya ini, dalam payung besar GNPIP, diharapkan dapat menekan laju inflasi VF nasional sebesar 5 persen (yoy).

https://money.kompas.com/read/2024/06/14/140000326/perang-pengendalian-harga-dari-bumi-suwarnadwipa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke