Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Serba Salah Kelas Menengah

Setidaknya itulah yang terpikir tatkala membaca mengenai 'kelas menengah yang berisik'.

Kelas menengah menjadi fenomena menarik belakangan ini. Chatib Basri menulis tentang Chilean Paradox.

Pada 2019 lalu, terjadi kerusuhan besar di Chile yang hampir berujung revolusi. Padahal segala indikator makro Chile tengah bagus-bagusnya. Namun, hal tersebut tidak mampu menahan gejolak kegelisahan kelas menengah yang menjadi aktor kerusuhan tersebut.

Paradoks tersebut mungkin masih jauh bila dibayangkan akan terjadi di Indonesia. Meski yang perlu dicatat, kehadiran kelas menengah berisik itu sudah ada di Indonesia.

Tengok saja kehadiran mereka di berbagai media sosial, terutama X/Twitter. Hampir setiap hari ada hal yang dikritisi mengenai kegagalan pemerintah dalam mengatasi berbagai isu. Mereka seakan menjadi pengawal baru demokrasi untuk mencegah ketidakadilan terjadi di negeri ini.

Bedanya, Indonesia belum selesai dengan isu kelas bawah. Alasan itu bukan lantas membuat Pemerintah menutup mata pada isu-isu yang dibawa oleh kelas menengah.

Sebagai contoh, isu pendidikan masih punya pekerjaan rumah pada angka rata-rata lama sekolah.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata lama sekolah (RLS) penduduk Indonesia mencapai 9,13 tahun pada 2023. Angka ini membuat kita miris mengingat ada program wajib belajar 12 tahun (hingga SMA).

Di sisi lain, pendidikan juga memiliki isu pada kelas menengah, yakni akses terhadap perguruan tinggi. Biaya kuliah ditengarai semakin tinggi. Tuntutan terhadap akses beasiswa perguruan tinggi menjadi keniscayaan.

Pendidikan menjadi mandatory spending, sebesar 20 persen APBN harus dialokasikan ke fungsi pendidikan.

Namun, anggaran sebesar itu belum menunjukkan kondisi yang ideal. Hal ini menuntut pemerintah terkait untuk menyoroti masalah ini.

Apabila kita buka Google Scholar, lalu mengetikkan kata kunci analisis pengaruh belanja pendidikan terhadap berbagai hal, banyak penelitian yang muncul.

Kementerian Keuangan lewat Kanwil Ditjen Perbendaharaan sebagai Regional Chief Economist turut melakukan kajian serupa.

Dalam kajian fiskal regional tahun 2023, misalnya, dilakukan analisis belanja pendidikan APBN dan APBD terhadap Indeks Pembangunan Manusia.

Dalam kondisi ceteris paribus, tentu pengaruhnya positif dan signifikan. Namun seperti penelitian Purnomoratih dan Ramadhani (2023), belanja APBD cenderung kontraproduktif karena dominan digunakan untuk belanja pegawai dan operasional.

Tentu, wilayah yang bisa disentuh secara normatif dalam belanja fungsi pendidikan adalah tentang efektivitas dan efisiensi alokasi dan bagaimana melakukan advisory terhadap pelaksanaan anggarannya.

Namun, sebenarnya secara kreatif, ada hal lain yang bisa dilakukan oleh Kementerian Keuangan, khususnya Ditjen Perbendaharaan.

Pertama, Dana Abadi Pendidikan. Hadirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) menjadi babak baru dalam pengelolaan keuangan daerah.

Sejatinya, Keuangan Daerah adalah bagian dari Keuangan Negara dalam UU No. 17 Tahun 2003.

Namun dalam perjalanannya, hadir tafsir seolah-seolah Keuangan Negara dan Keuangan Daerah berjalan sendiri-sendiri.

UU HKPD menjadi jembatan yang diharapkan dapat menghubungkan keduanya dengan lebih baik. Dan yang menjadi salah satu pilar dalam UU HKPD adalah pembiayaan daerah, dengan Dana Abadi Daerah sebagai magnet.

Hal ini bisa dibilang karena kebiasaan pemerintah daerah memiliki SiLPA yang besar. Sehingga dalam hal SiLPA Daerah tinggi dan kinerja layanan tinggi, SiLPA dapat diinvestasikan dan/atau digunakan untuk pembentukan Dana Abadi Daerah dengan memperhatikan kebutuhan yang menjadi prioritas Daerah yang harus dipenuhi. Dan sebaiknya, prioritas itu adalah bidang pendidikan.

Dana Abadi Pendidikan ini yang kemudian akan dimanfaatkan untuk mengatasi isu kelas menengah dalam akses pendidikan perguruan tinggi.

Sedangkan untuk yang mandatory spending, tetap diutamakan untuk mengatasi permasalahan mendasar pendidikan 12 tahun. Karena lucu agaknya kalau kita membicarakan Indonesia kekurangan doktor misalnya, tapi nyatanya angka RLS masih 9 tahunan.

Kedua, ekosistem Badan Layanan Umum (BLU) Pendidikan. Pemikiran BLU sebagai ekosistem ini hadir dalam beberapa tahun terakhir.

Sebagai sebuah kritik, ia hadir ketika Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sebagai BLU Pengelola Dana diminta untuk lebih banyak mengalokasikan dananya untuk program-program di dalam negeri.

Lebih spesifik, sebagai ekosistem, LPDP harus bersinergi dengan BLU rumpun pendidikan. Dengan demikian, ia akan menghidupkan (dan meningkatkan) kualitas BLU pendidikan dengan menghadirkan kelas-kelas (prodi) spesifik yang dibutuhkan oleh negara.

Bahkan, ada kritik agar LPDP juga menyasar ke program sarjana di dalam negeri untuk lebih berdaya guna terhadap kesempatan anak-anak muda kita berkuliah.

Pola yang sama direplikasi dan disesuaikan di tingkat regional. Dana Abadi Daerah diperuntukkan anak-anak muda lokal menempuh pendidikan tinggi.

Atau jika dimungkinkan dimulai dari tingkat SMK, mengingat beberapa SMK sudah berstatus BLU Daerah.

Selanjutnya, selama ini, kebanyakan kita berfokus pada angka kemiskinan. Yang dilupakan adalah jumlah kelas menengah (ke bawah) yang rentan miskin apabila ada gejolak pasar atau pun kenaikan pemenuhan kebutuhan sekunder.

Jumlahnya akan sangat banyak, meski belum ada yang menguantifikasinya secara pasti. Salah satu cara yang bisa menguantifikasi kelas menengah ini adalah data perpajakan.

Taruhlah, mereka yang rentan ini adalah mereka yang kena tarif pajak 5 persen untuk PPh 21 dan yang di bawahnya.

Jika orang pribadi yang melapor SPT Tahunan saja sekitar 17 juta, dibandingkan dengan angkatan kerja yang 140 juta lebih, ada lebih dari 100 juta kelas menengah yang rentan ini.

Dalam skala regional, dalam salah satu isu tematik tentang pengangguran, Hafiz (2023) melakukan kajian penghasilan pekerja Aceh di sektor informal yang hanya mencapai Rp 1,6 juta. Angka ini jauh di bawah upah minimum Aceh yang saat itu sekitar Rp 3,4 juta.

Kondisi serupa sangat mungkin terjadi di berbagai daerah, di mana penghasilan yang didapatkan, bahkan jauh di bawah upah minimumnya.

Isu lapangan kerja ini menjadi isu berikutnya yang menjadi perhatian kelas menengah. Mulyadi (2016) menyebutkan bahwa keterbatasan akses terhadap pendidikan dan lapangan pekerjaan merupakan penyebab utama pengangguran.

Keterbatasan lapangan pekerjaan menyebabkan supply (penawaran) tenaga kerja di pasar tenaga kerja melebihi demand (permintaan) tenaga kerja untuk mengisi kesempatan kerja yang tercipta.

Akibatnya timbul kelompok angkatan kerja yang tidak diberdayakan dalam kegiatan perekonomian.

Senada dengan hal itu, Franita, dkk (2019) mengemukakan bahwa terdapat sejumlah faktor yang memengaruhi tingkat pengangguran di Indonesia, salah satunya adalah ketersediaan lapangan pekerjaan yang tidak sebanding dengan banyaknya penduduk yang telah memasuki usia kerja dan/atau angkatan kerja.

Dengan kata lain, pertambahan penduduk yang telah memasuki usia kerja (supply) tidak diimbangi dengan kesempatan kerja yang ada (demand).

Harusnya, kelompok angkatan kerja yang berpendidikan cukup dan sesuai dengan tawaran lapangan pekerjaan akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Mereka yang berpendidikan nyatanya sulit mencari pekerjaan.

Hal itu bisa dilihat dari data statistik yang menyatakan tingkat pengangguran terbuka berdasarkan tingkat pendidikan adalah mereka yang berpendidikan SMK/SMA ke atas.

Dalam ALCo Regional Aceh, Prof. Sofyan Syahnur mengungkapkan kritik kekeliruan arah pendidikan kita.

Kesuksesan universitas bukanlah menghasilkan lulusan yang diterima bekerja. Itu adalah ukuran pendidikan vokasi.

Pendidikan yang berbasis keilmuan seharusnya memiliki output dalam menciptakan sumber daya manusia yang mampu menciptakan nilai tambah dalam industri.

Peran pemerintah kemudian menghubungkan para akademisi ini dengan pelaku industri terkait atau memberikan insentif pada kelahiran pelaku baru.

Beberapa tahun lalu, hal tersebut sempat menjadi secercah harapan manakala bertumbuhnya banyak start up, di antaranya start up dalam bidang pertanian seperti Tanihub, Investree. Apalagi pelakunya sebagian besar anak muda.

Sayangnya, satu per satu start up tersebut berguguran dan malah menimbulkan masalah hukum.

Bom waktu lain dari isu pengangguran ini adalah angka setengah menganggur dan pengangguran terselubung.

Akan baik bila angka-angka itu adalah buah dari jenis pekerjaan remote yang membuat pekerja hanya bekerja kurang dari 35 jam seminggu.

Namun, apabila itu karena pekerjaan informal dengan upah rendah, akan menjadi PR besar untuk menaikkan harkat pekerja Indonesia.

Ukurannya adalah pendapatan per kapita. Tahun 2023 pendapatan per kapita Indonesia sekitar Rp 75 juta.

Namun angka ini menunjukkan paradoks bila dibandingkan dengan data pajak yang sudah kita bahas sebelumnya, yakni hanya 17 juta yang melapor SPT Tahunan! Ada ketimpangan yang begitu besar di sana.

Bila kemudian kita kembali ke pertanyaan awal, berapa persen penghasilan yang kita butuhkan untuk dapat membeli iPhone seri terbari?

Seorang teman di Australia mengatakan harga iPhone setengah upahnya. Di Indonesia, mengacu ke upah minimum berarti 4-5 kali lipat lebih tinggi.

Harus diakui meski secara purchasing power parity, pendapatan per kapita kita mencapai Rp 230 juta setahun (3 kali lipat lebih dari pendapatan per kapita nominal), angka-angka ini sangatlah bias untuk menggambarkan kondisi riil dari pekerja Indonesia.

Dengan nilai nominalnya saja (75 juta), kita seharusnya dapat melihat kelas pekerja kerah putih yang parlente. Namun kenyataannya tidak demikian.

Bila ingin ekstrem, melihat kondisi riil yang ada, kelas menengah itu ilusi. Yang ada kelas bawah dan kelas atas, mengingat begitu tipisnya kekuatan yang disebut kelas menengah itu.

Dari sekian banyak kegelisahan kelas menengah di Indonesia, isu utama yang harus dibenahi adalah isu pendidikan.

Pembangunan manusia Indonesia menjadi layak bersaing dan berdikari adalah amanat yang harus dijaga.

Namun, ketika tidak tersedia lapangan pekerjaan dengan struktur penghasilan yang baik, biarkanlah mereka menjadi diaspora.

Kita tidak perlu alergi jika sumber daya manusia Indonesia mampu berkarier di luar negeri. Hal itu yang mulai dilakukan Provinsi Aceh dengan APBA yang memiliki anggaran khusus dari dana otsus dengan melakukan program kerja sama pemagangan dilanjutkan penyerapan tenaga kerja ke luar negeri.

Hari-hari belakangan kita pun mendapatkan informasi lowongan pekerjaan tenaga pertanian di Jepang dengan upah setara Rp 20 juta lebih.

Berbagai negara lain juga punya kebutuhan tenaga kerja yang banyak. Tinggal negara berperan dalam melindungi segenap jiwa raga masyarakat Indonesia, dengan memverifikasi dan memonitoring para pencari kerja tersebut.

Jangan sampai berita miris pemerasan keringat saudara kita di Jerman atau di negara-negara lain terjadi.

https://money.kompas.com/read/2024/06/20/060042326/serba-salah-kelas-menengah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke