Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soekarno-Hatta Mengatasi Ketertinggalan...

Kompas.com - 21/04/2009, 11:57 WIB

Oleh: Haryo Damardono

KOMPAS.com — Matahari belum tinggi. Wahyu Hidayat (35), pekerja kerah biru asal Majalengka, Jawa Barat, telah tiba di Terminal 3, terminal baru Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten. Pada tiga jam lagi, dia baru terbang ke Batam. Tengok kiri-kanan, tiada satu bangku pun, akhirnya dia jongkok.

Jongkok di depan terminal megah seharga Rp 285 miliar? Mau apa lagi, beda dengan serambi atau pelataran Terminal 1 yang dilengkapi bangku, Terminal 3 (T3) tak menyediakan satu bangku pun.

Konsep tanpa bangku untuk mengeliminasi kehadiran calo, tukang semir sepatu, hingga pedagang parfum. Bila ingin duduk, silakan ke ruang check-in atau ruang publik walau harus lewat sinar-X. Sayang, konsep baru ini tak diinformasikan sehingga PT Angkasa Pura (AP) II dihujat calon penumpang karena tak manusiawi.

Buruknya komunikasi juga memicu kekacauan. Endun (35), penumpang Mandala Airlines tujuan Pekanbaru, yang Jumat (17/4), turun dari bus Damri, membanting kaki kesal sebab Mandala belum terbang dari T3.

”Tadi saya naik bus Damri dari Jatibening, Jakarta Timur. Saya pesan kepada sopir minta diturunkan di terminal tempat Mandala terbang. Saya diturunkan di sini dan ternyata salah,” kata Endun. Mandala baru dijadwalkan terbang Senin (20/4).

Akhirnya, berkat petunjuk petugas AP II, dia menumpang bus antarterminal gratis warna kuning, penghubung Terminal 1, 2, dan 3. ”Untung saya tiba di bandara dua jam lebih awal. Bila tidak, bisa-bisa tiket hangus tertinggal pesawat,” ujar Endun.

Di Soekarno-Hatta, berpindah terminal bukan perkara mudah. Jauh jaraknya! apalagi bangunan antarterminal terpisah tanpa lorong penghubung. Topografi antarterminal juga turun-naik, lagi pula jalan di bandara ini tiada trotoar, jadi tak mungkin menyeret bagasi.

AP II menjanjikan headway dari tujuh bus antarterminal 15-20 menit. Layanan membaik bila bus dipasangi global positioning system track sehingga terpantau kehadirannya.

Di Bandara Changi, Singapura, penumpang yang hendak naik SkyTrain, kereta antarterminal, dapat melihat hitungan mundur. Apakah 4, 3, atau 2 menit? Penumpang transit di Soekarno-Hatta, terpancing naik ojek karena ragu bus gratis antarterminal tepat waktu.

Pertengahan tahun 2010 direncanakan beroperasi jembatan penghubung T1 dan T3 sepanjang 500 meter. Ada toko ritel dan gerai makanan pada jembatan tadi. Konsep serupa menghubungkan T1 dan T2, tetapi AP II kurang dana.

Adapun gabarata, jembatan penghubung antara pesawat dan T3, direncanakan selesai akhir tahun 2009. ”Gabarata belum dipasang karena apron belum dibangun. Mungkin akhir tahun,” kata Sudaryanto, Sekretaris Perusahaan AP II.

Meski demikian, secara umum, fasilitas T3 setara terminal bandara internasional lainnya. T3 dilengkapi nursery, ATM, ruang merokok, toko ritel, gerai makanan, telepon umum, internet gratis, hingga toilet dan lift khusus penyandang cacat.

T3 yang kini digunakan AirAsia dan Mandala Airlines sebenarnya baru pier (dermaga) 1 dari 5 pier yang direncanakan. Pier 1 berkapasitas empat juta penumpang, dirancang Wiratman and Associates, dan dibangun kontraktor Adhi Karya.

”Seluruh pengerjaan Terminal 3, mulai dari rancangan di atas kertas hingga pengerjaannya, dilakukan tenaga kerja Indonesia,” ujar Sudaryanto. T3 dibangun dengan konsep ekoterminal sehingga desainnya berbeda dengan T1 dan T3.

Jendela-jendela lebar di sekujur T3 memperkuat kesan modern dan ramah lingkungan. Konsumsi listrik ditekan karena cahaya bebas masuk. Dari dinding utara T3, yang seluruhnya kaca, dapat disaksikan pesawat lepas landas atau mendarat.

Dari dinding kaca sisi barat tersaji pemandangan aktivitas apron T2. Nantinya dari dinding kaca sisi timur akan terlihat aktivitas apron T3. T3 segera menjadi terminal favorit bagi penumpang yang doyan menyaksikan aktivitas di bandara.

Adapun The Green Wall di T3-Changi, yang dirambati tumbuhan dan dilengkapi air terjun, turut andil menurunkan suhu ruangan. ”Itu daun asli?” tanya Kompas, tahun lalu. ”Itu asli, silakan diraba,” ujar perempuan, petugas informasi. Di T3 Soekarno-Hatta hanya ada tanaman plastik meski kita kesohor dengan hutan tropisnya.

Sayangnya, T3 dibuka saat fasilitas belum lengkap. Akhir pekan lalu masih ada pekerjaan di T3. Loket pemesanan hotel belum ada petugas, ruang merokok belum selesai, baru J Co, satu-satunya gerai makanan yang buka, sedangkan toko belum ada.

Ruang tunggu bus Damri pun tak ada. Padahal, di serambi T3 tak ada kursinya sehingga calon penumpang Damri terpaksa berdiri. Tempat parkir mobil inap belum dipasangi pagar. Lapangan parkir panas menyengat.

Kepala Cabang Bandara Soekarno-Hatta Haryanto menegaskan, T3 harus segera dibuka untuk mengurangi kepadatan penumpang. ”Fasilitas yang ada segera dapat difungsikan, yang penting operasional pesawat lancar,” ujar Haryanto. T1-C pun akan ditawar ke Sriwijaya Air.

Dana terbatas

Masalah utama di Soekarno-Hatta adalah kepadatan. Tambahan kapasitas empat juta penumpang per tahun di T3 sebenarnya tak banyak membantu. Sebab, T1 dan T2 yang hanya menampung 18 juta penumpang per tahun, tetapi dipadati hingga 32 juta penumpang.

Selisih kapasitas baru mampu ditutupi ketika seluruh pier T3 dengan total daya tampung 20 juta penumpang selesai dibangun. Persoalannya, secepat apa AP II menyelesaikan T3?

Laba bersih Soekarno-Hatta sebesar Rp 750 miliar (tahun 2008) sebenarnya cukup membangun tiga pier. Masalahnya, AP II harus membangun 12 bandara lainnya. ”Tahun lalu, Soekarno-Hatta dibangun bersamaan dengan bandara di Aceh, Medan, Jambi, Tanjung Pinang, dan Pangkal Pinang. Uang harus dibagi-bagi,” kata Sudaryanto.

Sebenarnya ada cara lain mempercepat pembangunan Soekarno-Hatta, yaitu dengan menggaet maskapai. ”AirAsia sudah minta membangun pier 3 dan 4. Seharusnya kita terbuka saja dan mempersilakan mereka bangun,” kata Haryanto.

Soekarno-Hatta sesungguhnya berpeluang meraup laba lebih besar bila serius membangun bisnis non-aeronautical. ”Baru 20 persen pendapatan kami dari bisnis non-aeronautical, dari toko retail dan gerai makanan,” ujar Haryanto.

Sebaliknya, sekitar 60 persen pendapatan Changi dari bisnis non-aeronautical. T3-Changi saja merupakan rumah dari 100 toko ritel dan 40 gerai makanan. Hebohnya, T3-Changi dipercaya membuka Café Cuylian Belgian Chocolate pertama di luar Belgia, toko FIFA World pertama di dunia, hingga Hard Rock Café Airport pertama.

Sedikitnya ada dua kelebihan Soekarno-Hatta untuk membangun lebih banyak ruang komersial. Pertama, orang Indonesia suka membawa oleh-oleh. Kedua, lama perjalanan ke bandara yang tak dapat diprediksi terkadang memaksa penumpang tiba lebih awal di bandara. Jadi, mengapa tak membangun pusat perbelanjaan untuk membangun bandara?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com