Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akhir Keemasan Ekonomi Jepang

Kompas.com - 24/01/2010, 08:18 WIB

Joice Tauris Santi dan Simon Saragih

KOMPAS.com — Japan Airlines atau JAL, perusahaan penerbangan dengan pendapatan terbesar di kawasan Asia, tidak mampu menahan beban keuangan. Manajemen yang amburadul bertahun-tahun, biaya operasional yang terus meningkat, dan biaya pensiun yang mencekik leher tidak diimbangi dengan pendapatan yang kian tergerus. Persaingan keras dan anjloknya penumpang menambah derita JAL.

Akhirnya JAL menyatakan diri bangkrut dan meminta perlindungan hukum agar tidak dituntut para kreditor untuk melelang aset dengan harga murah dengan risiko tidak memiliki kesempatan merestrukturisasi.

JAL memiliki utang 25 miliar dollar AS dan merupakan kebangkrutan terbesar dalam sejarah korporasi Jepang di luar perusahaan keuangan.

Mengapa bangkrut? JAL tak diurus sebagaimana mestinya. Di bawah naungan pemerintah dan demi pelayanan terhadap masyarakat, JAL juga harus melayani rute-rute yang tidak menguntungkan.

JAL juga terlena dengan dukungan dan status sebagai flag carrier Jepang. Ini membuat JAL jadi kurang memerhatikan kinerja keuangan. Utang-utangnya sedikit demi sedikit menjadi bukit. Di sisi lain, asetnya semakin menciut. Nilai pasarnya lama-lama hanya setara dengan maskapai kecil Kroasia.

Dukungan besar pemerintah terhadap JAL, terutama bantuan keuangan, membuat berang pesaing terdekat JAL, Nippon Airlines (ANA), yang menilai bantuan kepada JAL tidak adil dan seharusnya JAL mengikuti pasar dan menghadapi persaingan.

Koran The Yomiuri Shimbun melaporkan 151 rute domestik JAL hanya dipenuhi kurang dari 50 persen penumpang. Hanya 11 dari 99 penerbangan JAL yang terisi lebih dari 70 persen penumpang. Tingginya biaya di bandara dan perawatan juga menekan laba JAL, yang sudah dalam posisi lebih besar pasak daripada tiang.

Mulai 1960-an, Pemerintah Jepang berkonsentrasi membangun gedung untuk bandara baru. Namun, pada 1964, bahkan sebelum konstruksi bandara menjadi booming, kereta cepat muncul. Ini turut menjadi pukulan bagi JAL.

Para politisi lokal dan nasional terus melobi agar pemerintah membangun bandara di mana-mana. Hampir setiap perfektur Jepang memiliki bandara. Bandara ke-98 dibuka tahun lalu di Shizuoka, sekitar 50 kilometer dari Gunung Fuji. Semua bandara itu harus dilayani JAL.

Lepas dari beban yang ditimpakan ke JAL itu, selama ini JAL tetap bisa berkibar. Kepakan sayap JAL tak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan Jepang. Negara yang hancur lebur pada Perang Dunia II itu berhasil bangkit sebagai macan Asia. Akhirnya, kekuatan ekonomi Jepang menduduki urutan kedua setelah Amerika Serikat.

Namun, kini warga Jepang pendorong produktivitas tinggi dekade 1960-an sudah menua. Pertumbuhan penduduk juga anjlok.

Kreativitas Jepang, untuk menciptakan basis ekonomi nonmanufaktur, juga seret. Jepang terus bersandar pada ekonomi dengan basis manufaktur walau dengan kualitas tinggi. Namun, belakangan China menjadi pesaing terbesar di sektor manufaktur. Diperkirakan kekuatan ekonomi China akan menempati urutan kedua, menggusur Jepang pada 2020.

Selama bertahun-tahun, Jepang didera deflasi yang tak kunjung usai. Ketika hampir pulih, krisis global ganti menghantam. Pertumbuhan ekonomi seret, menyurutkan pula arus penumpang Jepang yang pada masa lalu amat gencar pelesiran.

Persaingan keras dari maskapai penerbangan dunia, baik Asia dan AS, juga terus menghantam JAL, yang dikenal aman dan mahal.

Adalah merupakan kebanggaan tersendiri jika orang Jepang bekerja di JAL. Hidup keluarganya terjamin, lengkap, hingga manfaat pensiun yang sangat besar. Namun, manfaat pensiun ini juga turut melahirkan masalah pada keuangan JAL.

Harapan masih ada bagi JAL untuk eksis. Dari 134 perusahaan Jepang yang menyatakan diri bangkrut periode 2004 dan 2009, sekitar 50 persen dapat memperbaiki diri. Hanya 1,5 persen dari perusahaan bangkrut itu yang dilikuidasi, menurut data dari Teikoku Databank.

Perusahaan-perusahaan itu rata-rata memerlukan waktu 1,7 tahun untuk keluar dari proses restrukturisasi. Mungkin setelah tiga tahun menjalankan restrukturisasi, JAL akan kembali bangkit berjaya.

Namun, itu pasti hanya dalam bentuk perusahaan yang lebih kecil dan tidak lagi mampu melayani 217 bandara di 35 negara dan kawasan. Mungkin JAL juga tidak akan mampu lagi mengangkut 53 juta penumpang seperti tahun lalu, yang sebanyak 41 juta adalah untuk rute domestik.

JAL tak akan lagi jadi penerbangan terbesar dunia, dalam konteks frekuensi penerbangan reguler seperti masa silam.

Analis dari Nomura Securities, Makoto Murayama, mengatakan, JAL juga salah kalkulasi soal potensi pasar. ANA jauh lebih profesional memperhitungkan prospek pasar dan persaingan.

JAL sudah lama tak layak secara keuangan. Raksasa ekonomi menopangnya dengan bentuk suntikan dana pemerintah berkali-kali. ”Raksasa ekonomi nomor dua di dunia sudah mulai uzur, dan uzur pulalah kejayaan JAL di udara,” demikian tulisan di kantor berita Agence France Presse pada 19 Januari.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Catat, 7 Strategi Punya Rumah untuk Milenial dan Gen Z

Catat, 7 Strategi Punya Rumah untuk Milenial dan Gen Z

Earn Smart
Simak 8 Tips Menabung untuk Beli Rumah

Simak 8 Tips Menabung untuk Beli Rumah

Earn Smart
Melalui Transportasi Laut, Kemenhub Berupaya Wujudkan Konektivitas di Indonesia Timur

Melalui Transportasi Laut, Kemenhub Berupaya Wujudkan Konektivitas di Indonesia Timur

Whats New
Status 17 Bandara Internasional Dihapus, INACA Ungkap Sederet Manfaatnya untuk Penerbangan Nasional

Status 17 Bandara Internasional Dihapus, INACA Ungkap Sederet Manfaatnya untuk Penerbangan Nasional

Whats New
1 Lot Berapa Lembar Saham? Ini Perhitungan Mudahnya

1 Lot Berapa Lembar Saham? Ini Perhitungan Mudahnya

Spend Smart
Jumlah Bandara Internasional Dipangkas, InJourney Airports: Banyak yang Tidak Efisien

Jumlah Bandara Internasional Dipangkas, InJourney Airports: Banyak yang Tidak Efisien

Whats New
Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

Whats New
Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

Whats New
BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

Work Smart
Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Whats New
Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Whats New
Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Whats New
Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Whats New
Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Whats New
Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com