JAKARTA, KOMPAS.com - Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang rencananya akan selesai direvisi akhir tahun ini dinilai merugikan buruh dalam hal kebijakan outsourcing atau sistem kerja kontrak. Hal itu disampaikan Ketua Apindo Bidang Organisasi dan Pemberdayaan Daerah, Djimanto usai jumpa pers di Gedung Permata Kuningan, Jakarta, Senin (25/1/10).
Menurut Djimanto, rata-rata perusahaan memotong gaji pegawai outsorcing sehingga apa yang diterima pegawai kebanyakan tak sesuai. Seharusnya, lanjut Djimanto, setiap perusahaan yang menyewa buruh dari supplier buruh memberikan management fee kepada perusahaan supplier agar supplier tidak perlu memotong gaji buruh outsourcing demi mendapatkan untung.
"Gaji buruh nggak perlu dipotong, tapi suplier-nya dikasih management fee. Jadi suplier untungnya dari management fee-nya itu," kata Djimanto.
Dia juga menyayangkan, kebijakan mengenai management fee tersebut tak pernah diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Selain merugikan buruh, UU Ketenagakerjaan juga memberatkan para pengusaha.
Menurut Djimanto, berdasarkan UU itu, pengusaha harus memberi kompensasi PHK sebesar 32,2 kali gaji terakhir buruh. "Di tempat lain itu cuma 6 kali gaji. Di Indonesia, 32 kali gaji itu harus dicadangkan di neraca. Jadi merupakan utang perusahaan menurut standar akuntansi keuangan," katanya.
Selama ini, Undang-Undang Ketenagakerjaan yang memperbolehkan sistem kerja kontrak atau outsourcing banyak disalahartikan. Seharusnya, tenaga outsourcing hanya diperbolehkan untuk bidang-bidang tertentu, terutama pekerjaan pendukung yang bukan merupakan pekerjaan utama. Celakanya, sebagian besar perusahaan saat ini menempatkan tenaga outsourcing hampir di semua lini.