SEMARANG, KOMPAS
”Kompensasi tersebut berupa uang untuk membiayai pencegahan terhadap bencana, seperti pelebaran daerah aliran sungai atau membangun bendungan buatan atau bisa juga pengembang yang membangun,” kata pakar hidrologi dari Universitas Diponegoro, Nelwan, Kamis (25/11).
Nelwan mengatakan hal tersebut dalam diskusi mengenai Banjir Mangkang di Hotel Semesta Semarang. Hadir juga dalam diskusi itu Koordinator Bidang Sosial Budaya Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota (DP2K) Prof Abu Su’ud, pakar hukum lingkungan Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Yovita Indrayati, perwakilan lembaga swadaya masyarakat, serta Pemerintah Kota Semarang.
Nelwan mengatakan, alih fungsi lahan di Semarang bagian atas mengabaikan dampak lingkungan. Hal inilah yang membuat kawasan hulu daerah aliran Sungai Beringin rusak dan memicu banjir bandang besar di Mangkang awal November lalu.
Koordinator Divisi Lingkungan Lembaga Bantuan Hukum Semarang Sukarman mengatakan, banjir di Mangkang yang menewaskan lima warga serta merusak tambak dan sawah menunjukkan bahwa masyarakat yang menjadi korban jika terjadi perusakan lingkungan.
Menurut Abu Su’ud, persoalan tata ruang yang menyebabkan kerusakan lingkungan merupa-
Untuk itu, Yovita Indrayati mengatakan, masyarakat dapat menggugat secara hukum kepada Pemkot Semarang karena melanggar Peraturan Daerah Nomor 13/2006 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup karena persoalan tata ruang tersebut.
”Apalagi jika terbukti banyak bangunan yang tidak memiliki analisis mengenai dampak lingkungan,” kata Yovita.
Kepala Seksi Perencanaan dan Pengembangan Kawasan Dinas Tata Kota dan Perumahan Kota Semarang Irwansyah mengakui maraknya alih fungsi lahan karena lemahnya pengawasan dan pengendalian.