JAKARTA, KOMPAS.com - Kelembagaan finansial yang berhak mencairkan dana proyek Mass Rapid Transit (MRT) mulai diributkan menjelang digelarkanya pra kualifikasi tender dokumen pembangunan MRT.
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) menilai kewenangan tersebut seharusnya berada di tangan PT MRT Jakarta, bukan pemerintah provinsi (pemprov) DKI Jakarta. Demikian pula pendapat para kontraktor yang lebih menginginkan PT MRT Jakarta sebagai operator sekaligus pihak yang berwenang mencairkan dana proyek MRT.
Hal tersebut terungkap dalam Seminar "Rencana Pembangunan MRT" yang dihadiri oleh puluhan konsultan konstruksi, Rabu (9/3/2011), di Hotel Sahid Jaya, Jakarta.
"Masalah kelembagaan ini harus selesai sebelum tender dimulai. Sekarang saya tanya kalau Anda kontraktor, mana yang lebih baik apakah DKI atau MRT?" tanya Deputi Bidang Pengembangan Strategi dan Kebijakan LKPP, Agus Prabowo.
Didi Budian, kontraktor yang turut dalam seminar, mengatakan bahwa berdasarkan aturan JICA sebagai lembaga penyalur dana pinjaman, pemerintah Indonesia harus menunjuk sebuah lembaga yang berhak mengelola uang pinjaman proyek tersebut.
"Tapi kalau di JICA, uang pinjaman itu harus digunakan untuk MRT, tidak boleh digunakan untuk proyek lain. Sebaiknya budget user-nya PT MRT Jakarta saja, agar terintegasi dengan proyek. Kalau di pemda akan sulit," ucap Didi.
Fujihara, kontraktor lain asal Jepang, pun menyatakan hal serupa. Pengelolaan dana proyek oleh MRT Jakarta akan lebih memudahkan prosedur pembangunan proyek. Namun, dengan kenyataan tidak jelasnya lembaga yang akan berwenang soal finansial ini, Fujihara mempertanyakan kelangsungan jadwal yang ditetapkan sebelumnya.
"Kapan akan bisa ditenderkan, apakah masalah ini tidak akan berpengaruh pada jadwal tender?" ungkapnya.
Melihat respon para kontraktor yang akan menjadi calon peserta pra kualifikasi tender dokumen MRT ini, Agus kemudian setuju bahwa secara realistis yang paling memungkinkan memegang wewenang finansial adalah PT MRT Jakarta, sebagai operator proyek subway tersebut.
"Paling realistis diserahkan kepada MRT, tapi memang harus ada political legowo untuk diserahkan ke MRT. Nah, soal ini yang berwenang memutuskan Gubernur," tandas Agus.
Ia pun akan membatalkan tender dokumen yang sebentar lagi dilakukan apabila kewenangan kelembagaan ini tidak segera diselesaikan pemprov dan PT MRT Jakarta.
Adapun untuk tahap pertama pemprov DKI Jakarta akan membangun terlebih dulu jalur MRT Utara-Selatan, dengan proyek awalnya yakni Lebak Bulus-HI. Realisasi proyek ini memerlukan dana hingga 144,322 miliar yen atau sekitar Rp 15 triliun. Dana tersebut terbagi menjadi dana porsi pinjaman sebesar 120,017 miliar yen atau hanya sebesar 0,2 persen dan pembangunannya diambil dari APBN dan APBD sebesar 24,305 miliar yen.
Lintasan MRT rute Lebak Bulus-HI direncanakan akan sepanjang 15,5 kilometer dengan rincian 10,5 kilometer di permukaan tanah, serta 5 kilometer di bawah tanah. Sebanyak enam stasiun bawah tanah pun juga akan dibangun di sepanjang rute tersebut, yakni di Masjid Al Azhar, Istora Senayan (Ratu Plaza), Bendungan Hilir, Setiabudi, Dukuh Atas, Bundaran Hotel Indonesia, dan tujuh stasiun elevated yakni di Lebakbulus, Fatmawati, Cipete Raya, H Nawi, Blok A, Blok M, dan Sisingamangaraja.
Nantinya, MRT diharapkan mampu mengangkut 960.000 orang per hari dengan headway per 5 menit. Target waktu perjalanan dari Lebak Bulus-HI mencapai 30 menit. Pada tahun 2016 MRT Lebak Bulus-HI mulai beroperasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.