Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Septi, dari Baju Muslim ke Metode Jarimatika

Kompas.com - 11/05/2011, 13:59 WIB

KOMPAS.com - Septi Wulandari menciptakan metode jarimatika ketika buah hatinya mulai suka menggunakan jari untuk berhitung. Guna mendukung ekonomi keluarga lantaran sang suami kena pemutusan hubungan kerja, ia pun aktif mempromosikan metode ini. Tak segan, dia mengenalkan metodenya itu naik turun bus atau keluar masuk sekolah.

Hal pertama yang diajarkan Septi Wulandari kepada sang anak adalah memperkenalkan dunia membaca. Dari eksperimennya itu, ia menemukan metode yang disebut Abaca Baca.

Septi atau akrab disapa Peni mengklaim, melalui metode ini, anak sudah mulai bisa membaca pada usia sembilan bulan. Selanjutnya, pada usia dua hingga tiga tahun, anak sudah fasih membaca koran.

Ia menerapkan proses yang menyenangkan. "Anak tak hanya diajarkan untuk membaca saja, kemudian duduk, lanjut dengan membaca lagi," kata Peni. Makanya, metode abaca baca pun berhasil diaplikasikan pada anak pertamanya.

Setelah berhasil dengan metode membaca, Peni mengajarkan anaknya berhitung. Ia pun mencoba banyak metode dari luar. Namun ternyata, tak cocok dan gagal karena gaya belajar anak cenderung aktif. Peni lalu mengganti metode belajarnya. Kali ini, ia menggunakan alat peraga. Tapi, ketika alat peraga rusak, si anak enggan memakainya lagi.

Beberapa waktu berselang, Enes, anak pertama Peni, mulai menggerakkan jarinya untuk berhitung. Bersama suami, dia pun berpikir untuk mengoptimalkan kemampuan jemari sang anak sebagai alat bantu hitung.

Akhirnya, mereka menciptakan rumus-rumus matematika dengan menggunakan jemari. "Setiap ada ide baru, kami tulis di atas kertas dan ditempel, jadi di rumah itu penuh dengan tempelan flip chart," ungkap Peni.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 juga berpengaruh pada kelangsungan hidup keluarga Peni. Saat itu, banyak perbankan bermasalah dan harus gulung tikar. Suami Peni pun terkena pemutusan hubungan kerja lantaran bank yang menjadi tempat kerjanya ditutup.

Untuk membantu perekonomian keluarga, Peni memutuskan untuk berjualan baju. "Karena passion saya di busana muslim, saya berjualan baju muslim," katanya. Bersama anak-anaknya, Peni berjualan door to door alias dari pintu ke pintu dengan memakai sepeda motor.

Peni mendapat pasokan baju dari rekannya yang memiliki toko baju di Pasar Tanah Abang, Jakarta. Modalnya berasal dari sisa tabungan sang suami. "Sampai kami pernah merasakan rekening yang ada di bank sampai zero," beber dia.

Sambil berdagang, Peni mengembangkan metode belajarnya tersebut. "Selama tiga tahun terjadi trial error, tapi kami tak patah semangat," ungkapnya. Setelah jarimatika ini berhasil dikembangkan pada tahun 2000, banyak orang tua, khususnya para ibu tertarik untuk mempelajari.

Untuk memperkenalkan metode jarimatika, Peni harus berpindah dari satu bus ke bus yang lain. "Saat promosi, kami menggunakan atribut lengkap jarimatika," papar Peni.

Di rumah, Peni menerapkan metode belajar home schooling untuk anak-anaknya. Menurutnya, di rumah adalah metode yang tepat untuk membangun karakter si anak. Ia berpendapat, hingga anak berumur 12 tahun merupakan saat yang tepat untuk membangun karakternya. Selanjutnya, dari usia 13 tahun sampai 15 tahun, anak boleh merasakan dunia luar. Mulai umur 15 tahun itu pula, anak sudah bisa hidup mandiri.

Peni berprinsip anak harus ditangani ahlinya. Karena itu, ia rajin mengikuti kuliah-kuliah umum dan terus belajar tentang pendidikan anak. Ia mengaku, menggunakan kartu nama yang unik sebagai jalan masuk untuk mengikuti kuliah umum ataupun seminar-seminar dan berdiskusi dengan para dosen. Di kartu namanya, Peni menulis status dirinya sebagai ibu rumahtangga profesional.

Awalnya, banyak yang meragukan metode belajar yang diterapkan Peni. Khususnya dalam soal sosialisasi. Namun, menurut dia, belajar di sekolah dasar (SD) selama enam tahun, mulai dari kelas satu sampai kelas enam dengan teman yang sama, bukan sebuah sosialisasi yang sebenarnya.

Keberhasilan sosialisasi, Peni melanjutkan, adalah ketika anak bisa menyesuaikan diri serta tidak minder ketika berada dalam sebuah komunitas dan lingkungan yang berbeda. Mulai dari masyarakat desa sampai pada kelas elite. Bersambung (Handoyo/Kontan)

Baca juga Septi Sukses Jadikan Rumah sebagai Kantor

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com