Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sapi Australia Tak Datang? Jangan Takut

Kompas.com - 24/06/2011, 05:33 WIB

 Oleh Ninuk M Pambudy

Keputusan Pemerintah Australia melarang ekspor sapi ke Indonesia, awal Juni lalu, seperti pedang bermata dua bagi upaya swasembada daging sapi yang ditargetkan harus tercapai tahun 2014. 

eternak gembira karena harga sapi dan daging sapi mulai naik. Pedagang sapi di Pasar Sapi Jangkang, Kecamatan Ngemplak, Sleman, Yogyakarta, Supardjo (45), mengaku, harga anak sapi (pedet) naik jadi Rp 3 juta-Rp 4 juta dari sebelum munculnya berita dari Australia. Sebelumnya pedet dihargai Rp 2 juta. ”Sapi jantan Jawa yang sehat harganya Rp 10 juta, bahkan yang lebih besar Rp 16 juta,” kata dia.

Pedagang sapi di pasar hewan Prambanan, Selaman, Bego (35), mengaku kini lancar mengirim sapi potong ke Bandung. ”Beda dari sebelumnya, seret,” kata Bego yang Selasa (14/6) mengirim 16 ekor sapi potong ke Bandung.

Kenyataannya, Indonesia kekurangan daging sapi hingga 40 persen. Pemerintah membuka impor daging beku dan sapi bakalan dari Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat.

Tingginya harga daging akan mendorong peternak memotong sapinya, termasuk yang betina dan yang bunting. Memotong sapi betina berarti menguras sumber daya sapi lokal karena menurunkan jumlah induk penghasil pedet. Ujungnya, swasembada daging sapi yang dimaknai mencukupi 90 persen kebutuhan daging dari sapi lokal, terhambat.

”Kira-kira 200.000 sapi betina produktif dipotong tiap tahun,” kata Prof Dr Muladno, peneliti pemuliaan dan genetika ternak dari IPB. Ketua Umum DPP Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana mengatakan, PPSKI menemukan 80 persen sapi yang dipotong di empat rumah potong hewan (RPH) di Bandung adalah sapi betina produktif.

Menurut Direktorat Jenderal Peternakan dam Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, populasi sapi potong di dalam negeri meningkat terus, dari 10,6 juta ekor pada tahun 2006 jadi 12,6 juta ekor pada 2009.

Meski begitu, Muladno meragukan angka tersebut mengingat banyaknya sapi betina dipotong. Pengusaha bakso dan rumah potong hewan, Karnadi Wigana, juga meragukan data itu. Alasannya, sumber data biasanya dari pasar hewan dan rumah penduduk. Padahal, pasar ternak di Jawa berpindah-pindah hari perdagangannya sehingga ternak yang sama bisa dihitung lebih dari satu kali.

Menteri Pertanian Suswono juga tidak yakin dengan angka populasi sapi. Awal 2011, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik melakukan sensus sapi.

Menurut Direktur Statistik Peternakan, Perikanan, dan Kehutanan BPS Nyoto Widodo, data selama ini berdasar Survei Peternakan Nasional 2008 dan laporan administrasi dinas-dinas.

Hingga Rabu (22/6) pagi, dari total 77.548 desa, pendataan sapi sudah selesai di 71.490 (86,3 persen) desa. Hasilnya, terdapat sapi potong 11.926.677 ekor, sapi perah 454.588 ekor, dan kerbau 1.054.072 ekor, total 13.433.337 ekor. Populasi terbesar ada di Jawa Timur, total 4.186.181 ekor, lalu Jawa Tengah 2.089.965 ekor, Sulawesi Selatan 852.513 ekor, dan NTB 758.089 ekor.

Ternak itu dimiliki 5.361.094 orang, atau rata-rata 2 ekor per pemilik. Menurut Nyoto, hasil sensus akan diserahkan ke Kementan pada November 2011.

Soal bibit

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan Prabowo Respatiyo Caturroso memperkirakan, jumlah sapi potong ada 13,3 juta ekor jika sensus selesai dilakukan. Dengan konsumsi daging sapi 1,76 kg/kapita/tahun, populasi 240 juta orang, dan diasumsikan karkas sapi per ekor 160 kg, maka tiap tahun dipotong 2,6 juta ekor sapi. Berarti ada sisa hampir 10 juta ekor yang akan bertambah dengan program inseminasi buatan (IB).

Masalahnya, demikian Prabowo, ternak itu terserak sehingga distribusi ke konsumen perkotaan jadi masalah. Dia juga mengakui terjadi praktik pemotongan sapi betina dan sapi bunting meski dilarang Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Sanksinya, kurungan 3-9 bulan dan atau denda Rp 5 juta-Rp 25 juta. ”Pelaksanaan sanksi akan diketatkan,” kata Prabowo.

Kementan melalui pemerintah daerah juga akan membeli ternak betina produktif yang dibawa ke RPH lalu diserahkan ke kelompok peternak atau sarjana masuk desa. ”Peternak yang punya sapi bunting dapat insentif memelihara Rp 500.000,” tambah Prabowo.

Swasembada daging sapi tak kunjung tercapai karena pemerintah tak konsisten. Pengusaha penggemukan sapi, Adikelana Adiwoso, mengingatkan, terjadi penurunan sumber tetua sapi lokal ketika tahun 1970-an sapi lokal ukuran besar diekspor besar-besaran dari Bali dan Nusa Tenggara ke Hongkong.

Muladno menyebut, pemotongan ternak betina produktif memperlihatkan tidak bekerjanya pengawasan. ”Tidak sedikit sapi betina dibikin cacat oleh peternak, kakinya dipatahkan, agar ada alasan memotong,” ujar dia.

Padahal, harga sapi betina lebih murah karena lebih ringan daripada sapi jantan. Peternak lebih memilih memelihara sapi jantan untuk keperluan hari raya kurban karena dapat dijual lebih mahal.

Sejak 2004, kebijakan impor juga memukul gairah beternak. Menurut data Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia, impor sapi bakalan turun dari 765.488 ekor tahun 2009 menjadi 521.000 ekor pada 2010, tetapi pada periode sama impor daging (setara sapi) meningkat dari 560.000 ekor jadi 600.000 ekor.

Impor sapi bakalan yang syaratnya maksimal berbobot 300 kg/ekor dianggap lebih baik daripa impor daging beku karena masih memberi nilai tambah berupa lapangan kerja dan industri ikutan, seperti kulit dan tulang.

Cetak biru Program Swasembada Daging Sapi 2014 Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan memperlihatkan, tahun 2004- 2006 impor jeroan mencapai 58,5-75,3 persen dari total impor daging, terdiri dari jantung, hati, babat, usus, limpa, paru, ginjal, dan testis. Impor itu mengurangi keuntungan peternak dan gairah beternak.

Yang juga mendistorsi harga adalah masuknya daging ilegal. Maret lalu, Badan Karantina Pertanian dan Bea Cukai mencegat 51 kontainer daging ilegal di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Sekjen Asosiasi Distributor Daging Indonesia (ADDI) Ahmad Hadi mengatakan, daging impor disukai karena pasokan dan kualitasnya terjamin.

Untuk mendukung swasembada, ADDI mengharap pemerintah membantu memperpendek rantai distribusi dari peternak ke pengguna. Di Jawa Timur, ADDI bekerja sama dengan peternak. Ternak dipotong di Surabaya, dagingnya dikirim ke Jakarta, dan jeroan dijual di Surabaya.

Lintas sektor

Untuk menuju swasembada, banyak persoalan harus diselesaikan lintas sektor. Teguh Boediyana mengatakan, Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) salah sasaran. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2009 menetapkan pemerintah memberi subsidi melalui bank, tetapi bank menuntut agunan yang menyulitkan peternak kecil.

Menurut pengusaha pembibitan sapi di Sukabumi, Jawa Barat, Fina Rosdiana, perbankan melihat pemerintah hanya memberi subsidi bunga untuk KUPS, sedangkan dana yang disalurkan ke pengusaha tetap dana bank. Kalau terjadi gagal bayar, bank harus menanggung. ”Taruh dana KUPS di bank sebagai jaminan sehingga tidak ada alasan bank tidak menyalurkan kredit,” kata Fina.

Plafon kredit pun hanya Rp 13 juta/ekor, sementara harga induk betina mencapai Rp 20 juta.

Penyerapan kredit pun rendah. Dari alokasi kredit Rp 3,88 triliun tahun 2011, hingga semester kedua baru terserap sekitar 13 persen. Itu pun sekitar Rp 200 miliar diserap perusahaan besar. Teguh usul, pemerintah membentuk badan layanan umum penyaluran kredit pembibitan dan penggemukan bagi peternak kecil.

Tentang 663 RPH di Indonesia, Dirjen Prabowo mengakui sebagian besar kurang memenuhi syarat. ”Akan ditambah dengan standar kesejahteraan ternak di RPH,” kata dia. (HAR/DOT/MAS/TOP)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com