Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menagih Janji Swasembada Gula 2014

Kompas.com - 29/07/2011, 02:40 WIB

Persoalan laten adalah efisiensi pabrik yang menentukan rendemen (hasil) berupa gula pasir dan kualitasnya. Hingga 2010 ada 61 PG dengan total kapasitas 225.018 TCD dan areal 418.259 hektar serta 8 PG rafinasi dengan total kapasitas 3,2 juta ton gula kristal rafinasi per tahun.

Sebagian besar PG tersebut, terutama milik BUMN, usianya tua yang sebagian merupakan peninggalan Belanda. Akibatnya, rendemen pun rendah. Peta jalan menuju swasembada menargetkan rendemen tahun 2010 sebesar 8 persen, nyatanya hanya mencapai 6,47 persen. Tahun 2011 ditargetkan 8,1 persen, kemungkinan hanya mencapai 7,4 persen atau mungkin lebih rendah. PG-PG tesebut jelas butuh revitalisasi.

Staf Ahli Asosiasi Gula Indonesia, Colosewoko, mengatakan, program revitalisasi PG terhambat kebijakan impor gula rafinasi dan gula mentah bahan baku gula rafinasi pada tahun 2007. Impor gula rafinasi langsung oleh industri makanan dan minuman (mamin) 715.000 ton, lalu ada impor gula mentah oleh PG yang kapasitasnya tak terpenuhi dari tebu sebanyak 448.000 ton, dan produksi gula rafinasi berbahan baku gula mentah sebesar 1,441 juta ton.

Akibatnya terjadi kelebihan stok gula 900.000 ton yang menjadi cadangan tahun berikut. Harga lalu jatuh. ”Ini memengaruhi program revitalisasi pabrik. Bank ragu menyalurkan kredit yang umumnya harus kembali dalam delapan tahun,” kata Colosewoko. Akibatnya, program revitalisasi periode 2007-2009 dengan dana Rp 4,5 triliun hanya bisa menyerap Rp 0,5 triliun. Setelah itu, PG merevitalisasi dengan modal sendiri sehingga tak menyeluruh.

Gula rafinasi

Sekarang petani mengeluhkan gula rafinasi yang membanjiri pasar umum. Padahal, Kementerian Perdagangan mengatur gula rafinasi hanya boleh untuk industri mamin. Ketua DPP Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Sumitro Samadikoen mengatakan, gula rafinasi merek Bola Manis yang diproduksi di Makassar masuk ke pasar umum hingga ke Pontianak. Gula rafinasi itu menekan harga gula pasir di pasar yang berimbas pada rendahnya harga gula petani di pabrik. Gula rafinasi berasal dari gula mentah impor yang diolah di pabrik gula dalam negeri milik BUMN yang kapasitas gilingnya tak terpenuhi oleh produksi tebu dan diolah PG rafinasi.

Ketua Perhimpunan Agronomi Indonesia yang mantan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Achmad Mangga Barani, mengatakan, alur distribusi gula nasional karut-marut. ”Melihat stok gula yang ada, seharusnya tahun ini tidak perlu impor lagi,” katanya. Berdasarkan perkiraan, kebutuhan konsumsi langsung 1,983 juta ton, sedangkan ketersediaan 2,557 juta ton sehingga ada sisa 500.000 ton GKP yang akan menjadi persoalan.

Colosewoko mengatakan, terjadi penghitungan ganda konsumsi industri kecil dan rumah tangga yang melahirkan izin impor gula mentah dan izin PG rafinasi.

Sebelum tahun 2007, gula rafinasi tidak pernah dihitung dalam neraca gula Dewan Gula Indonesia. Industri mamin besar dan sedang mengimpor sendiri dengan menyertakan bukti kapasitas dan lokasi industrinya.

Setelah 2007, kata Colosewoko, pemerintah mengizinkan gula rafinasi juga untuk industri kecil dan rumah tangga. Meski begitu, besar kebutuhan itu tidak dikurangkan dari hitungan kebutuhan GKP.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com