Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menagih Janji Swasembada Gula 2014

Kompas.com - 29/07/2011, 02:40 WIB

Oleh Ninuk M Pambudy dan Hermas E Prabowo

Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tinggal memiliki waktu tiga tahun untuk memenuhi target pembangunan yang dicanangkan sejak terpilih sebagai presiden. Di dalam target itu, antara lain, swasembada pangan, termasuk gula, berbasis produksi dalam negeri.

Tanda-tanda target swasembada gula tak tercapai sangat kuat. Indikator utama, produksi tak kunjung beranjak naik mendekati sasaran 5,7 juta ton gula kristal putih (GKP) atau dalam bahasa awam disebut gula pasir.

Produksi gula pasir berbasis tebu dalam negeri stagnan tiga tahun terakhir. Produksi gula pasir dalam negeri sejak tahun 2003 sebesar 1,632 juta ton melonjak drastis menjadi 2,052 juta ton tahun 2004 karena pemerintah menerapkan program bantuan bagi petani untuk bongkar tanaman lama (ratoon) dan mengganti dengan bibit baru.

Puncak produksi tertinggi tercapai tahun 2008, yaitu 2,668 juta ton, tetapi lalu terus turun menjadi 2,3 juta ton (2009), 2,214 juta ton (2010), dan tahun ini diperkirakan paling banter 2,57 juta ton, lebih rendah dari target awal 2,73 juta ton. Penyebabnya, rendemen (kadar gula dalam batang tebu yang dapat diekstraksi di pabrik) turun dari perkiraan awal 7,6 persen menjadi 7,4 persen.

Sebaliknya, impor gula justru naik terus. Dari periode 2005- 2010, besar kenaikan 9,8 persen. Data Dewan Gula Indonesia (DGI) memperlihatkan impor tahun 2003 sebesar 2,456.642 ton, lalu menjadi 3.622.738 ton pada 2010 atau 62 persen dari total gula di dalam negeri.

Penyebab tak tercapainya target swasembada gula itu sudah jelas karena banyak yang merupakan persoalan laten. Yang dibutuhkan adalah konsistensi pemerintah mendukung program swasembada.

Hulu hingga hilir

Persoalan swasembada gula ada mulai dari hulu, yakni budidaya pertanian hingga hilir, yaitu tata niaga. Di hulu, tanaman tebu banyak merupakan tanaman keprasan sehingga rendemennya rendah. Program bantuan bongkar ratoon terakhir dilakukan tahun 2003, setelah itu tidak menjadi prioritas. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia memiliki bibit unggul yang potensi rendemennya mencapai 12 persen dan tebu 113,1 ton per hektar atau setara 13,7 ton gula pasir, tetapi petani harus mendapat insentif berupa pabrik gula (PG) bekerja efisien sehingga rendemen akhir tinggi.

Lahan juga menjadi persoalan. Untuk mencapai swasembada gula, perlu tambahan areal 350.000 hektar. Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi menyebut, luasan 820.000 hektar diperlukan untuk mencapai kapasitas giling 396.000 ton tebu per hari (TCD) bila produktivitas tebu seperti sekarang, yakni 80 ton per hektar.

Persoalan laten adalah efisiensi pabrik yang menentukan rendemen (hasil) berupa gula pasir dan kualitasnya. Hingga 2010 ada 61 PG dengan total kapasitas 225.018 TCD dan areal 418.259 hektar serta 8 PG rafinasi dengan total kapasitas 3,2 juta ton gula kristal rafinasi per tahun.

Sebagian besar PG tersebut, terutama milik BUMN, usianya tua yang sebagian merupakan peninggalan Belanda. Akibatnya, rendemen pun rendah. Peta jalan menuju swasembada menargetkan rendemen tahun 2010 sebesar 8 persen, nyatanya hanya mencapai 6,47 persen. Tahun 2011 ditargetkan 8,1 persen, kemungkinan hanya mencapai 7,4 persen atau mungkin lebih rendah. PG-PG tesebut jelas butuh revitalisasi.

Staf Ahli Asosiasi Gula Indonesia, Colosewoko, mengatakan, program revitalisasi PG terhambat kebijakan impor gula rafinasi dan gula mentah bahan baku gula rafinasi pada tahun 2007. Impor gula rafinasi langsung oleh industri makanan dan minuman (mamin) 715.000 ton, lalu ada impor gula mentah oleh PG yang kapasitasnya tak terpenuhi dari tebu sebanyak 448.000 ton, dan produksi gula rafinasi berbahan baku gula mentah sebesar 1,441 juta ton.

Akibatnya terjadi kelebihan stok gula 900.000 ton yang menjadi cadangan tahun berikut. Harga lalu jatuh. ”Ini memengaruhi program revitalisasi pabrik. Bank ragu menyalurkan kredit yang umumnya harus kembali dalam delapan tahun,” kata Colosewoko. Akibatnya, program revitalisasi periode 2007-2009 dengan dana Rp 4,5 triliun hanya bisa menyerap Rp 0,5 triliun. Setelah itu, PG merevitalisasi dengan modal sendiri sehingga tak menyeluruh.

Gula rafinasi

Sekarang petani mengeluhkan gula rafinasi yang membanjiri pasar umum. Padahal, Kementerian Perdagangan mengatur gula rafinasi hanya boleh untuk industri mamin. Ketua DPP Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Sumitro Samadikoen mengatakan, gula rafinasi merek Bola Manis yang diproduksi di Makassar masuk ke pasar umum hingga ke Pontianak. Gula rafinasi itu menekan harga gula pasir di pasar yang berimbas pada rendahnya harga gula petani di pabrik. Gula rafinasi berasal dari gula mentah impor yang diolah di pabrik gula dalam negeri milik BUMN yang kapasitas gilingnya tak terpenuhi oleh produksi tebu dan diolah PG rafinasi.

Ketua Perhimpunan Agronomi Indonesia yang mantan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Achmad Mangga Barani, mengatakan, alur distribusi gula nasional karut-marut. ”Melihat stok gula yang ada, seharusnya tahun ini tidak perlu impor lagi,” katanya. Berdasarkan perkiraan, kebutuhan konsumsi langsung 1,983 juta ton, sedangkan ketersediaan 2,557 juta ton sehingga ada sisa 500.000 ton GKP yang akan menjadi persoalan.

Colosewoko mengatakan, terjadi penghitungan ganda konsumsi industri kecil dan rumah tangga yang melahirkan izin impor gula mentah dan izin PG rafinasi.

Sebelum tahun 2007, gula rafinasi tidak pernah dihitung dalam neraca gula Dewan Gula Indonesia. Industri mamin besar dan sedang mengimpor sendiri dengan menyertakan bukti kapasitas dan lokasi industrinya.

Setelah 2007, kata Colosewoko, pemerintah mengizinkan gula rafinasi juga untuk industri kecil dan rumah tangga. Meski begitu, besar kebutuhan itu tidak dikurangkan dari hitungan kebutuhan GKP.

Anggota Komisi VI DPR dan anggota Panja Gula DPR, Abdul Wachid, berjanji akan menagih janji pemerintah yang diungkapkan dalam rapat gabungan Komisi VI DPR dengan Menko Perekonomian, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Menteru BUMN, Menteri Pertanian, Menteri Keuangan, Menteri Kehutanan, Kepala Badan Pertanahan Nasional, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal pada 18 Juli lalu.

Rapat menyepakati, enam bulan sejak 18 Juli pemerintah menyampaikan evaluasi peta jalan swasembada gula. Komisi VI juga meminta pembinaan dan pengembangan industri gula dikembalikan kepada Kementerian Perindustrian dengan meneruskan program revitalisasi PG memakai APBN.

”Kami juga minta Menteri Perdagangan mempertegas sistem pengaturan distribusi gula dengan mengakomdasi kepentingan daerah secara adil. Yang penting juga, Kementerian Perdagangan harus mengaudit distribusi dan penyaluran gula rafinasi,” kata Wachid.

Untuk mencegah kelebihan produksi dan akal-akalan pengusaha mengimpor gula mentah dengan alasan pabrik sudah berdiri, tetapi tidak punya tebu, Komisi VI meminta BKPM tidak memberi izin pendirian PG baru bila tidak didahului pengusahaan kebun tebu. ”PG yang penyelesaiannya tidak sesuai jadwal, jangan diperpanjang izinnya,” ujar Wachid.

Tambahan penyediaan lahan 350.000 hektar juga menjadi tuntutan Komisi VI, sementara Kementerian Keuangan dituntut menyediakan insentif, program bantuan dan subsidi untuk pupuk, bantuan bongkar ratoon dan kredit, serta revitalisasi pabrik gula.

Jadi, persoalan sudah terpetakan dengan jelas dan cara penyelesaian pun terang benderang. Yang diperlukan keberpihakan pemerintah pada swasembada gula sebagai komiditas strategis yang menghidupi jutaan petani, ekonomi nasional dengan nilai industrinya yang triliunan rupiah, dan rawan dipengaruhi fluktuasi harga internasional.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com