Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sulit Tidur di Tengah Manisnya Gula

Kompas.com - 29/07/2011, 03:01 WIB

Musim giling tebu yang tengah berlangsung seharusnya membikin petani bergembira setelah setahun memelihara tanaman mereka. Sayangnya, Maslam (58) dan Parji (52) di Kudus, Yeyek Sugiantoro (50) di Jember, serta Kasidi dari Karanganyar lebih banyak merasa cemas dan tidak pasti.

Mereka merasa akan ”buntung”. Tanaman tebu tak menghasilkan gula semanis harapan karena rendemen rendah. Harga pun tak menggembirakan. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11/M-DAG/PER/5/2011 menetapkan harga patokan petani (HPP) gula kristal putih tahun 2011 sebesar Rp 7.000 per kilogram (kg).

Banyak petani menolak penetapan HPP itu, termasuk Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI). Alasannya, biaya produksi meningkat dan tidak diperhitungkan dalam HPP.

Maslam dan Parji, petani tebu Desa Besito, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, menghitung, biaya produksi gula musim giling ini Rp 6.900 per kg.

Biaya produksi, terutama sewa lahan dan ongkos angkut, naik tajam, sementara rendemen tak bergerak naik, tetap di kisaran 6 persen, bahkan kurang. Kondisi banyak pabrik gula yang tua menyebabkan rendahnya rendemen, yaitu jumlah kilogram hablur gula per 100 kg tebu yang diolah. Curah hujan relatif tinggi sehingga rendemen juga turun. Selain itu, banyak tanaman tebu merupakan keprasan keempat yang ikut memengaruhi rendemen.

Sukamto (50) dari Kecamatan Wonoayu, Sidoarjo, Jawa Timur, mengeluhkan ongkos tebang angkut Rp 15.000-Rp 25.000 per kuintal, padahal tahun lalu Rp 3.500-Rp 5.000. Tingginya curah hujan menyebabkan truk pengangkut tebu tak mau masuk ke areal kebun sehingga ongkos panggul meningkat.

Sewa lahan juga naik. Maslam membayar Rp 10 juta-Rp 15 juta per hektar (ha), sementara tahun lalu Rp 8 juta. Ditambah biaya angkut dan pemeliharaan, total biaya jadi Rp 35 juta per ha, sementara hasil produksi gula rata-rata Rp 25 juta. ”Kalau normal seperti tahun-tahun sebelumnya, pendapatan bisa Rp 40 juta per ha,” kata Maslam.

Kasidi dari Desa Derman, Karangmojo, Tasikmadu, Karanganyar, Jawa Tengah, juga mengalami masalah sama. Tahun ini, dia panen pertama setelah tanam padi lima musim. Kasidi kembali beralih ke tebu karena hasil padi tak memuaskan sebab terus diserang wereng.

Sayangnya, harapan Kasidi dari tebu di lahan sewa 18 ha tidak berbuah manis. Alih-alih untung, Kasidi malah buntung. Dari modal Rp 26 juta per ha, Kasidi hanya mendapat hasil kotor Rp 22 juta dari 751 kuintal tebu per ha dengan rendemen 6,62 persen.

”Saya tombok Rp 4 juta setiap hektar. Hitung-hitung petani ngewangi negoro (membantu negara) supaya tercapai swasembada gula. Harapan saya, kerugian bisa ditutup dari hasil panen tanaman (keprasan) kedua,” katanya.

Mimpi swasembada

Pemerintah menargetkan tahun 2014 Indonesia swasembada gula dengan produksi 5,7 juta ton. Berbagai program digulirkan, mulai dari revitalisasi pabrik gula, penambahan lahan dan pabrik gula, hingga perbaikan budidaya tebu. Namun, sampai hari ini hasilnya belum memuaskan.

Penyebabnya sebagian besar karena pemerintah sendiri. Dari aspek budidaya, misalnya, pemerintah tak menyediakan dana bongkar ratoon. Akibatnya, banyak petani memakai tanaman tebu keprasan keempat kali yang produktivitasnya rendah dan rentan penyakit. Tanpa bantuan pemerintah dan perbaikan efisiensi kerja pabrik gula, petani tak tertarik mengganti tebunya dengan bibit baru.

Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia pun diperlakukan sebagai BUMN yang harus menyetor dividen kepada pemerintah. ”Penelitian varietas unggul tulang punggung kejayaan gula Indonesia yang merambah dunia semasa kolonial. Penelitian butuh waktu dan pemerintah harus membiayai,” ujar anggota Komisi VI DPR dan anggota panja gula di DPR, Abdul Wachid.

Kekisruhan lain, bocornya gula rafinasi yang seharusnya hanya untuk industri makanan dan minuman ke pasar umum. ”Gula rafinasi merek Bola Manis dari Makassar banjir ke pasar hingga Pontianak. Kementerian Perdagangan tidak segera mengaudit penyaluran gula rafinasi,” kata Ketua Umum DPP APTRI Sumitro Samadikoen kepada Kompas, pekan lalu.

Yeyek Sugiantoro (50), petani tebu di Desa Pondok Dalem, Kecamatan Semboro, Jember, Jawa Timur, termasuk yang merasa sesak akibat gempuran gula rafinasi. Dia menuduh gula rafinasi menyebabkan harga gula tidak naik dari kisaran Rp 8.000 per kg. Situasi diperburuk oleh rendemen yang hanya sekitar 6 persen.

”Sulit mengembalikan modal Rp 30 juta per ha,” kata Yeyek. Idealnya, demikian Yeyek, harga gula di petani Rp 8.500 per kg dan rendemen 8 persen. Apalagi produksi tebu hanya 700-900 kg per ha.

Sukamto mengaku sulit tidur karena mengkhawatirkan rendemen tebunya. ”Rendemen gula tak bergerak, masih di bawah 7 persen,” katanya.

Dengan persoalan yang jelas penyebab dan solusinya, tetapi pemerintah lambat mengoordinasikan penyelesaiannya, tak mengherankan apabila petani tak tertarik menanam tebu pada musim tanam berikut. Kalau sudah begitu, cita-cita swasembada gula tinggal jadi pemanis bibir. Apalagi pemenuhan amanat konstitusi untuk menyejahterakan rakyat.(hen/eki/eta/nmp)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com