Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Awasi Neraca Perdagangan

Kompas.com - 02/09/2011, 03:21 WIB

Jakarta, Kompas - Nilai tukar rupiah atas dollar Amerika Serikat diperkirakan makin menguat bila Bank Sentral Amerika Serikat jadi menerbitkan kebijakan quantitative easing tahap ketiga. Jika tidak diwaspadai, rupiah yang terlalu kuat bisa memperlemah neraca perdagangan nasional.

Dalam pernyataannya di Tokyo, Jepang, Rabu lalu, Gubernur Bank Sentral Negara Bagian St Louis AS, James Bullar, menyatakan, dapat melakukan langkah pembelian aset perbankan berupa obligasi pemerintah untuk mempertinggi laju pertumbuhan ekonomi. Keputusan mengenai hal itu bergantung pada data perekonomian, tetapi pertama-tama harus dipastikan bahwa tekanan inflasi mereda.

Menurut ekonom Universitas Gadjah Mada, Tony Prasetyantono yang dihubungi, Kamis (1/9), kebijakan quantitative easing (QE) adalah konsekuensi kebijakan melonggarkan likuiditas. Hal ini merupakan kebijakan moneter untuk melengkapi kebijakan moneter yang lain, yaitu penurunan tingkat suku bunga. Konsekuensinya, tingkat inflasi AS naik menjadi 5-6 persen dan nilai tukar dollar AS melemah. Pelemahan itu bakal menekan defisit perdagangannya, khususnya terhadap China.

”Dampak bagi kita, nilai tukar rupiah menguat. Ini harus diwaspadai, rupiah tidak boleh dibiarkan terlalu kuat (overvalued) karena akan memperlemah neraca perdagangan. Defisit kita terhadap China bisa melampaui 6 miliar dollar AS tahun ini. Ini rekor terburuk kita,” kata Tony.

Produk China merupakan saingan terberat bagi perdagangan kita, karena surplusnya terhadap Indonesia terus naik. Meski mata uang yuan mengalami apresiasi 4-5 persen dalam tiga tahun ini, hal itu tidak berdampak positif bagi Indonesia karena pada periode yang sama rupiah menguat hingga 28 persen. Penguatan rupiah yang terlampau kuat membuat neraca perdagangan terganggu.

Sejak krisis subprime mortgage 2008-2009, The Fed sudah menurunkan suku bunga mendekati 0 persen, yakni suku bunga Fed 0,25 persen. Jadi, baik suku bunga Fed rendah maupun QE, sama-sama merupakan kebijakan moneter longgar. Sedangkan di sisi fiskal, juga terjadi kebijakan fiskal longgar, yakni defisit APBN AS membesar, rata-rata sekitar 1 triliun dollar AS per tahun.

Spekulasi atas kemungkinan QE tahap tiga turut mengerek kinerja bursa saham di AS dan memberi sentimen positif bursa-bursa regional. Indeks Dow Jones Industrial Average menguat dalam empat hari terakhir. Rabu waktu setempat, DJIA menguat 53,58 poin (0,5 persen) ke level 11.613,53. Indeks S&P 500 menguat 5,97 poin (0,5 persen) ke level 1.218,89. Indeks Nasdaq juga menguat 3,35 poin (0,1 persen) ke 2.579,46. Kemarin, Indeks Nikkei 225 di Jepang menguat 105,60 poin (1,18 persen) ke level 9.060,80.

Pengamat pasar modal Adler Manurung menyatakan, Bank Indonesia harus mampu menjaga stabilitas kurs rupiah atas dollar AS. Tingkat suku bunga pun sebaiknya disesuaikan dengan tingkat suku bunga AS, sekaligus berusaha mengurangi kekhawatiran meningkatnya inflasi secara nasional.

”Jika AS selamat, maka kita selamat juga. Jika mereka tidak selamat, maka kita bisa terimbas. Di dalam negeri, pemerintah kita juga harus mengantisipasi permainan spekulan yang bakal ikut bermain. Terlalu banyak (spekulan) akan berbahaya,” kata Adler.

Meski kekhawatiran terjadinya resesi di AS ataupun Eropa tetap ada, kebijakan QE tahap tiga tetap dinilai sebagai upaya Pemerintah AS mengeliminasi krisis. ”Memang harus begitu, AS harus mengeluarkan uangnya agar bisa tumbuh. Jika tidak mereka akan rugi sendiri,” kata Adler.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com