Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Semuanya Harus Bisa Diirit

Kompas.com - 08/02/2012, 11:05 WIB

Tidak berlebihan ketika dalam aksi menuntut revisi UMK 2012 beberapa waktu lalu buruh di Banten juga mendesak perubahan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2005.

Menurut para buruh, peraturan tersebut tidak relevan lagi dipakai karena parameter yang digunakan hanya mencakup kebutuhan hidup buruh lajang. Padahal, dalam kenyataannya, banyak buruh yang memiliki suami atau istri dan anak.

Posisi tawar lemah

Penderitaan buruh tidak hanya karena minimnya upah yang diterima, tetapi juga masih rendahnya posisi tawar mereka terhadap perusahaan.

Hal itu seperti yang dialami Sri Kusbandiah (45). Ibu dua anak ini kembali terancam kehilangan pekerjaan dan tak memperoleh upahnya karena pabrik garmen tempatnya bekerja, PT Nobel Jean, di Kawasan Berikat Nusantara, Cilincing, terancam ditutup.

Kusbandiah mengaku, sebelumnya, tahun 2010, dia juga mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) saat bekerja di PT Asian Star dan itu juga berada di Kawasan Berikat Nusantara. Saat itu, dia hanya memperoleh pesangon sebesar Rp 450.000, sedangkan upahnya satu bulan terakhir bekerja sebesar Rp 1,2 juta tak dibayar.

”Sepertinya tempat kerja yang sekarang juga seperti dulu. Apalagi, upahnya juga sering kali terlambat turun. Semestinya turun tanggal 5, mundur jadi tanggal 10,” katanya.

Kusbandiah mengaku khawatir, kalau mengalami PHK lagi, dia bakal kesulitan memperoleh pekerjaan di pabrik karena usianya sudah di atas 40 tahun. Sementara pabrik saat ini lebih memilih pekerja usia muda di bawah 30 tahun.

Bekerja sebagai buruh pabrik juga tak bisa meningkatkan taraf hidupnya akibat upah yang minim. Selama bekerja, upahnya hanya Rp 1.380.000 per bulan.

Koordinator Forum Buruh Lintas Pabrik Jumisih menilai upah yang layak bagi buruh lajang berdasarkan perhitungan riil kebutuhan hidup setidaknya sebesar Rp 2,2 juta per bulan. Upah sebesar itu baru dapat digunakan untuk meningkatkan kehidupan buruh.

Minimnya upah buruh itu, kata Jumisih, membuat banyak buruh di Kawasan Berikat Nusantara yang terjerat rentenir. Hampir setiap minggu dia memperoleh pengaduan buruh yang terjerat rentenir. Entah sampai kapan.... (GAL/CAS/MDN/BRO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com