Jakarta, Kompas
Hal ini mengemuka dalam diskusi Komunitas Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ), Selasa (13/3), di Jakarta. Diskusi menghadirkan Joko Supriyono (Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia/Gapki), Nazir Foead (Direktur Konservasi WWF Indonesia), dan Hariyawan Agung Wahyudi (Executive Officer of Forum Harimau Kita).
Joko mengatakan, produksi kelapa sawit Indonesia 23,9 juta ton. Jumlah ini mencakup 47,6 persen produksi global dan menjadi yang terbesar di dunia. Dari jumlah itu, 70 persen minyak sawit diekspor.
Secara keseluruhan, lahan yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit 12,135 juta hektar dengan produktivitas rata-rata 3,5 ton per hektar per tahun. Areal terluas digunakan untuk lahan kedelai (102 juta hektar) dengan produktivitas 0,35 ton per hektar per tahun.
Dengan kelebihan ini, sejak tahun 2009, produk minyak sawit (32 persen) kian mendominasi produksi global minyak nabati. Adapun tumbuhan lain, seperti
kedelai (26 persen), rapeseed/ rapa (16 persen), dan biji bunga matahari (7 persen). Ini berkebalikan dengan satu dekade sebelumnya yang masih didominasi kedelai.
Lebih lanjut, ia mengatakan, pada tahun 2020, populasi penduduk dunia diprediksi mencapai 7,8 miliar orang. Ini bakal menambah kebutuhan minyak nabati sebesar 234 juta ton. Untuk memenuhi, perkebunan kelapa sawit harus melakukan ekspansi lahan 3 juta hektar, kedelai 2 juta hektar, biji matahari 9 juta hektar, dan rapa 14 juta hektar.
”Usaha memenuhi kebutuhan semua jenis minyak nabati akan menyebabkan ekspansi. Kalau itu dikatakan sebagai deforestasi, akan terjadi di seluruh dunia,” kata Joko.
Terkait peningkatan produktivitas, pekerjaan rumah pemerintah adalah mendampingi petani sawit individu nonplasma. Ini karena produktivitas mereka hanya 1,5 ton per hektar per tahun. Jauh dari produktivitas perkebunan swasta ataupun petani plasma yang bisa mencapai 3,5 ton-3,7 ton per hektar per tahun.
Nazir Foead mengatakan, ekspansi kebun sawit bisa dipertimbangkan menggunakan lahan yang telah rusak. Kendalanya, lahan itu masih terdaftar sebagai kawasan hutan meski kondisinya telah gundul. Menurut catatan Kementerian Kehutanan, areal hutan yang rusak ini mencapai 40 juta hektar.
Nazir menekankan pentingnya dukungan konsumen untuk menggunakan produk minyak berbahan baku sawit premium (bersertifikasi semacam Roundtable on Sustainable Palm Oil/ RSPO atau Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) yang dipastikan aman dari sisi lingkungan dan sosial. Kondisi saat ini, harga produk sawit premium masih berfluktuasi sesuai permintaan.
Selain itu, Nazir berharap dukungan pemerintah untuk memberikan insentif bagi pelaku usaha sawit yang telah memenuhi sertifikasi. Ia mencontohkan bentuk nyata insentif, seperti penerbitan peraturan perbankan yang memberikan suku bunga lebih rendah.