Jakarta, Kompas -
Salah satu proyek transportasi massal yang terbengkalai di tengah jalan adalah monorel yang didesain dengan daya angkut 105-180 orang per kereta di jalur sepanjang 14,3 kilometer. Jalur itu membentang dari Jalan Rasuna Said, Gatot Soebroto, Kawasan Bisnis Terpadu Sudirman (SCBD), Senayan, Pejompongan, dan kembali ke Rasuna Said. Kini, yang tersisa cuma tiang-tiang beton yang menelan ratusan miliar rupiah.
Awalnya, harapan memiliki monorel dipatok pada 2006. Namun, berselang enam tahun, belum ada tanda-tanda harapan akan muncul monorel karena proyek dihentikan. Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Industri, Perdagangan, dan Transportasi Sutanto Soehodo, Senin (23/4), mengatakan, proyek monorel terganjal pembiayaan sehingga sulit dilanjutkan karena perhitungan awal tidak tepat. Pihak swasta yang mengerjakan proyek ini juga tak mampu mendatangkan pinjaman sesuai kebutuhan.
Proyek ini perlu didefinisi ulang, termasuk pola pendanaannya. Definisi ulang yang
Proyek transportasi massal lain yang digarap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah pembangunan mass rapid transit (MRT). Pembangunan MRT diwacanakan dengan terbitnya surat keputusan Menko Perekonomian tahun 2005. Baru tiga tahun kemudian, yakni 17 Juni 2008, terbentuk PT MRT Jakarta, sebuah badan usaha milik daerah yang ditugaskan membangun MRT.
Namun, pembangunan MRT tidak bisa cepat. Apabila pemasangan tiang pancang jadi dilaksanakan akhir April 2012, koridor selatan-utara tahap pertama baru rampung akhir tahun 2016. Pada tahap pertama, MRT melayani Lebak Bulus-Bundaran HI dengan panjang lintasan 15,7 km.
Kapasitas angkut MRT tahap pertama pada 2020 sejumlah 412.700 orang per hari. Keberadaan MRT pada tahun itu harus bersaing dengan pertumbuhan kendaraan bermotor yang rata-rata 8 persen per tahun.
MRT tahap kedua akan beroperasi 2018 yang melanjutkan lintasan tahap pertama hingga ke Kampung Bandan. Pada 2037, MRT koridor selatan-utara ditargetkan mengangkut 629.900 orang per hari. Sekarang saja masih ada persoalan, seperti keberatan warga atas pembangunan MRT layang di ruas Lebak Bulus-Sisingamangaraja. Warga berharap semua jalur dibangun di bawah tanah.
Namun, Rachmadi, Direktur Teknik dan Proyek PT MRT Jakarta, berkilah, ada perhitungan struktur bawah tanah yang tidak memungkinkan MRT dibangun di bawah tanah di ruas itu. Secara teknis, jika dibuat di bawah tanah, warga di tepi jalur itu harus memindahkan fondasi bangunannya. Kondisi jalan yang sempit dan padat tidak memungkinkan warga mengubah fondasi.