Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia dan Ekonomi Hijau

Kompas.com - 27/06/2012, 04:13 WIB

BRIGITTA ISWORO LAKSMI

Perundingan yang berlangsung melelahkan para negosiator di Rio de Janeiro, Brasil, bagi awam hanya satu hal yang terdengar, ekonomi hijau. Pesimisme bahwa ekonomi hijau tidak akan menghasilkan kesejahteraan, bukan nuansa utama Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB Rio+20.

Konferensi ini digelar pada 20-22 Juni 2012. Yang lebih mengkhawatirkan, pengakuan dari sejumlah peserta konferensi bahwa konsep ekonomi hijau menjadi membingungkan.

Ekonomi hijau dipahami secara beragam oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat. Perbedaan pemahaman akibat latar belakang, tujuan tiap aktor, dan kepentingan masing-masing aktor terkait dengan ”kesejahteraan”. Aktor pemerintah dipandang tidak siap, sedangkan aktor bisnis dinilai paling siap.

Di sisi lain, ada hal mendasar yang ditegaskan penggagas konsep ekonomi hijau, Special Adviser and Head of UNEP (Program Lingkungan PBB) Green Economy Initiative, Pavan Sukhdev. ”Saya tahu sekarang ini konsep saya dibaca dan dipahami dengan cara yang berbeda-beda,” katanya saat ditemui di sela Konferensi Rio+20.

Sukhdev dengan emosional mengakui, ekonomi hijau yang semula dia gagas untuk memberantas kemiskinan, mempersempit jurang perbedaan, dan membuat masyarakat lokal lebih sejahtera banyak diklaim secara keliru.

Perusahaan-perusahaan multinasional adalah yang banyak melakukan klaim menyimpang. Bahkan, ada perusahaan mengatasnamakan konservasi dengan mengeluarkan masyarakat lokal dari kemungkinan turut berpartisipasi dan mengubah mereka menjadi penerima dana bantuan. Sukhdev menyatakan, ”Itu bukan ekonomi hijau yang saya maksudkan. Yang saya maksudkan meliputi wellbeing (kesejahteraan).”

Cuci dosa

Praktik seperti itu yang kemudian banyak dilakukan, baik antarnegara maupun perusahaan besar. Antarnegara bermakna antara negara maju dan berkembang atau dengan negara miskin (least developed countries). Oleh perusahaan besar atau multinasional bisa berupa tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Soal CSR disinggung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat memaparkan langkah Indonesia menuju ekonomi hijau, Rabu (20/6), di Riocentro Convention Center yang menjadi pusat kegiatan Konferensi Rio+20. Hal itu dikatakan sebagai salah satu bentuk ekonomi hijau.

”Itulah yang kami khawatirkan. Ekonomi hijau akhirnya menjadi greenwashing—mencuci dosa korporasi dengan berlaku seakan-akan ”hijau”. Ekonomi hijau seharusnya menjadi milik masyarakat,” kata Luis Flores dari Consumer International.

Unsur ekonomi hijau melingkupi dua dimensi lain, yaitu sosial dan lingkungan. Apa pun yang dilakukan, ketika dua dimensi itu tetap turun, kualitasnya bahkan rusak, maka tak layak suatu kegiatan disebut mempraktikkan ekonomi hijau.

Transfer teknologi, misalnya. Disebutkan, tujuannya menutup kesenjangan penguasaan teknologi antara negara maju dan negara berkembang. Selain itu, untuk mengurangi ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju terkait teknologi.

Praktiknya justru mengerikan. Hal itu misalnya Thailand membuat teknologi yang ramah lingkungan untuk digunakan sendiri, sedangkan teknologi lamanya dijual ke negara-negara seperti Kamboja dan Laos dengan harga murah. ”Apakah itu yang disebut ekonomi hijau,” ujar Donatus Marut dari Forum LSM Internasional untuk Pembangunan Indonesia (INFID) mempertanyakan.

Sukhdev berkali-kali menegaskan, sisi sosial dan lingkungan adalah bagian tak terpisahkan dari ekonomi hijau. Presiden Yudhoyono mengangkat isu keadilan yang merupakan isu sosial. Presiden berkali-kali menyebutkan ”pertumbuhan dengan keadilan”. Apa yang sebenarnya dimaksud? Apakah itu berarti Indonesia akan memacu pertumbuhan dengan ”keadilan?” Sesuai dengan enam koridor pada Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, bisa berarti pertambangan masih terus didorong tumbuh demi pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan pertambangan, keadilan seperti apa yang diharapkan? Banjir? Hilangnya tanah subur? Hilangnya hak masyarakat lokal atas tanah setiap kali menghadapi korporasi besar penerima konsesi dari pihak pemerintah?

 Jika kita lihat Proper (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan), ternyata temuan- temuan praktik yang tidak ramah lingkungan dan potensi membawa konflik sosial tidak langsung ditindaklanjuti untuk diajukan ke pengadilan. Proper hanya digunakan untuk menetapkan apakah sebuah perusahaan layak mendapat predikat emas atau sebaliknya hitam.

Saat ini tercatat setidaknya 38 titik konflik tambang antara masyarakat dan perusahaan. Rakyat ditangkap, ditembak, akibat konflik tambang. Gajah atau harimau mati di kawasan konsesi. Semua masih berlangsung hingga tahun 2012.

Saat Sukhdev ditanya, apakah konflik sosial dan hancurnya keanekaragaman hayati pertanda tidak diterapkannya ekonomi hijau? Dia menjawab dengan ucapan bernada tinggi, ”Anda (Indonesia) tidak memiliki ekonomi hijau.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com