Publik umumnya menuntut agar hak pengelolaan blok migas tersebut nantinya diserahkan kepada pihak nasional. Dalam hal ini, khususnya kepada Pertamina, sebagai representasi perusahaan migas negara, dengan melibatkan BUMD sebagai representasi daerah. Namun, pertimbangan pemerintah sering kali tidak selalu sejalan dengan logika dan keinginan publik.
Pemerintah sejauh ini telah menetapkan tiga kriteria sebagai dasar pertimbangan dalam perpanjangan atau pengakhiran kontrak. Pertama, blok migas dengan potensi cadangan (reserves) besar dan kinerja operator (kontraktor kontrak kerja sama, KKKS) sebelumnya bagus, dapat diusulkan perpanjangan kontrak dengan melibatkan Pertamina dan BUMD sebagai pemegang sebagian participating interest.
Kedua, blok migas dengan cadangan menengah dan kinerja KKKS sebelumnya rendah diusulkan diberikan kepada Pertamina dengan melibatkan BUMD dan KKKS sebelumnya sebagai pemegang sebagian participating interest.
Ketiga, blok migas dengan cadangan kecil dan kinerja KKKS sebelumnya rendah, diusulkan untuk dilakukan tender terbuka.
Ketiga kriteria di atas dapat dipahami dari sudut pandang teknis, yaitu dalam konteks untuk mempertahankan tingkat produksi dari blok yang ada dan untuk menjaga hubungan yang baik dengan KKKS sebelumnya. Sekaligus juga untuk memberikan sinyal kepada KKKS lainnya yang masih menjalankan kontrak di blok migas lain: bahwa pemerintah ”bersahabat” dengan mereka.
Dengan kata lain, ada kekhawatiran dari pemerintah jika blok migas yang memiliki cadangan besar diserahkan kepada pihak nasional produksinya akan menurun. Juga ada kekhawatiran bahwa jika hal itu dilakukan, KKKS lainnya, terutama KKKS besar, kemudian akan mengalihkan investasinya ke portofolio atau negara lain.
Kekhawatiran ini logis karena fokus pemerintah selama ini memang (hanya) pada pencapaian produksi. Dan, menjadi semakin logis karena di sektor hulu migas, pemerintah sejak dulu memang tidak mengambil posisi untuk bersedia menanamkan investasi serta melakukan eksplorasi dan produksi migas sendiri.