Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kedelai di Pasar Bebas

Kompas.com - 25/07/2012, 03:41 WIB

Ketika para perajin tahu dan tempe berteriak soal harga kedelai yang melambung, sesungguhnya itu gambaran mengenai kondisi pangan kita. Kedelai menjadi alarm bagi kita untuk lebih serius mengurusi kebutuhan pokok, bukan malah bergantung pada impor.

Urusan kedelai ini hanyalah satu bukti bahwa komoditas pertanian yang dilepas berhadapan dengan pasar bebas akan memunculkan masalah. Apabila dibiarkan, hanyalah tinggal menunggu waktu kedelai hilang dari pasar dan diganti sepenuhnya dengan komoditas impor.

Upaya-upaya pemerintah sesungguhnya sudah ada, dari penerapan bea masuk sampai riset benih unggul. Kerja keras pemerintah itu diharapkan bisa meningkatkan kemampuan komoditas dalam negeri untuk bertarung di pasar bebas. Akan tetapi, kerja keras itu belum cukup. Kerja lebih keras ternyata masih dibutuhkan.

Persoalannya adalah komitmen pemerintah untuk benar-benar melindungi komoditas penting di dalam negeri itu. Hingga sekarang masih ada keengganan untuk melindungi pasar di dalam negeri dan juga kadang ketakutan untuk melindungi komoditas di dalam negeri karena khawatir berhadapan dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Zaman Orde Baru sebenarnya sudah ada sistem bagi perajin tahu dan tempe untuk mendapatkan kedelai. Petani kedelai di dalam negeri juga mendapat insentif yang memadai. Ada koperasi yang kuat dan ada Bulog yang menjadi penyangga pasokan kedelai. Gejolak harga relatif jarang terjadi. Akan tetapi, komoditas-komoditas pokok memang mudah sekali diselewengkan. Perdagangan komoditas ini mudah diarahkan untuk kepentingan segelintir orang dan kelompok. Sistem yang sudah dibuat pada masa itu kini hilang.

Ketidakpercayaan terhadap koperasi dan peran Bulog menjadi sumber sistem itu rusak dari dalam. Sangat wajar apabila banyak pihak menuntut pembubaran sistem itu karena kadang digunakan untuk keperluan di luar urusan perdagangan kedelai. Ketika kita akan mengembalikan sistem ini, hal yang terjadi adalah keraguan untuk mengembalikan sistem itu. Kita ragu karena persoalan transparansi belum bisa dijalankan sepenuhnya.

Kasus gejolak harga kedelai di Amerika Serikat yang langsung berdampak ke dalam negeri hanyalah satu contoh betapa gejolak di satu tempat akan langsung mengenai kita. Tanpa menunggu waktu, ketika kekeringan melanda Amerika Serikat dan harga kedelai naik, kita langsung merasakannya. Inilah konsekuensi komoditas yang dilepas ke pasar bebas. Komoditas lain, seperti daging sapi, beras, dan jagung, juga akan bernasib sama. Padahal, di semua komoditas itu, pemerintah harus memiliki stok dan mengendalikannya.

Kita akan mudah diguncang oleh gejolak harga di negara lain sepanjang kita tergantung pada komoditas impor. Kasus kedelai sangat boleh menjadi awal dari masalah pangan yang besar. Krisis pangan sangat mungkin merupakan masalah lebih besar yang akan muncul apabila kita terus-menerus bergantung pada pangan impor. (ANDREAS MARYOTO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Cara Bayar Tagihan FIF di ATM BCA, BRI, BNI, Mandiri, dan BTN

Cara Bayar Tagihan FIF di ATM BCA, BRI, BNI, Mandiri, dan BTN

Spend Smart
Bank Mandiri Tegaskan Tetap Jadi Pemegang Saham Terbesar BSI

Bank Mandiri Tegaskan Tetap Jadi Pemegang Saham Terbesar BSI

Whats New
Cek Jadwal Pembagian Dividen Astra Otoparts

Cek Jadwal Pembagian Dividen Astra Otoparts

Whats New
Syarat Ganti Kartu ATM Mandiri di CS Machine dan Caranya

Syarat Ganti Kartu ATM Mandiri di CS Machine dan Caranya

Whats New
Status Internasional Bandara Supadio Dihapus, Pengamat: Hanya Jadi 'Feeder' bagi Malaysia dan Singapura

Status Internasional Bandara Supadio Dihapus, Pengamat: Hanya Jadi "Feeder" bagi Malaysia dan Singapura

Whats New
Naik 36 Persen, Laba Bersih Adaro Minerals Capai Rp 1,88 Triliun Sepanjang Kuartal I-2024

Naik 36 Persen, Laba Bersih Adaro Minerals Capai Rp 1,88 Triliun Sepanjang Kuartal I-2024

Whats New
Jokowi Tambah Alokasi Pupuk Subsidi Jadi 9,55 Juta Ton di 2024

Jokowi Tambah Alokasi Pupuk Subsidi Jadi 9,55 Juta Ton di 2024

Whats New
Dampak Erupsi Gunung Ruang, 5 Bandara Masih Ditutup Sementara

Dampak Erupsi Gunung Ruang, 5 Bandara Masih Ditutup Sementara

Whats New
Kadin Gandeng Inggris, Dukung Bisnis Hutan Regeneratif

Kadin Gandeng Inggris, Dukung Bisnis Hutan Regeneratif

Whats New
Harita Nickel Catat Kenaikan Pendapatan 26 Persen pada  Kuartal I 2024

Harita Nickel Catat Kenaikan Pendapatan 26 Persen pada Kuartal I 2024

Whats New
Bappenas Buka Lowongan Kerja hingga 5 Mei 2024, Simak Persyaratannya

Bappenas Buka Lowongan Kerja hingga 5 Mei 2024, Simak Persyaratannya

Work Smart
Wujudkan Visi Indonesia Emas 2045, Kemenko Perekonomian Berupaya Percepat Keanggotaan RI dalam OECD

Wujudkan Visi Indonesia Emas 2045, Kemenko Perekonomian Berupaya Percepat Keanggotaan RI dalam OECD

Whats New
Indonesia dan Arab Saudi Sepakat Menambah Rute Penerbangan Baru

Indonesia dan Arab Saudi Sepakat Menambah Rute Penerbangan Baru

Whats New
BJBR Bukukan Laba Rp 453 Miliar pada Kuartal I 2024

BJBR Bukukan Laba Rp 453 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
Microsoft Investasi Rp 27,6 Triliun di RI, Luhut: Tidak Akan Menyesal

Microsoft Investasi Rp 27,6 Triliun di RI, Luhut: Tidak Akan Menyesal

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com