Topik jelas terkait dengan pertumbuhan hijau (green growth) dan juga konsep ekonomi hijau (green economy). Konsep ekonomi hijau inilah yang ramai didiskusikan lima tahun terakhir, terutama sejak Program Lingkungan PBB (UNEP) memunculkannya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun membahas hal ini dalam pertemuan Rio+20 Juni lalu.
Munculnya konsep ekonomi hijau tak lepas dari kegagapan dunia menghadapi dampak buruk sistem ekonomi: kerusakan lingkungan, pemanasan global, dan ketidakadilan sosial. Semakin disadari bahwa konsep ekonomi zaman ini adalah ekonomi yang serakah. Inilah konsep ekonomi egosentris.
Konsep ekonomi memang akan selalu dalam tegangan dua wajah. Wajah yang satu egosentris, sedangkan yang lain ekosentris. Kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial menjadi bukti bahwa manusia gagal mencari titik tengah. Dalam konteks ini, apakah konsep ekonomi hijau sudah ada di titik tengah?
Seperti telah disebut, wajah pertama adalah wajah egosentris. Di sini ekonomi hanya dipahami sebagai transaksi dalam skema untung-rugi. Ekonomi ini bertolak dari kenyataan bahwa manusia itu egosentris.
Homo economicus
Wajah kedua ekonomi adalah wajah ekosentris, yang notabene lama terbenam. Ini wajah klasik karena bertolak dari tradisi lama bahwa ekonomi pada dasarnya adalah aplikasi dari ekologi. Etimologinya menyiratkan hal itu. Ekonomi (Yunani: oikos berarti rumah dan nomos berarti aturan, hukum) adalah pengaturan rumah (tangga), yang tidak bisa dilepaskan dari ekologi (pengetahuan—logos atas oikos).
Wajah ekosentris ekonomi jelas tampak dalam pemahaman bahwa yang termasuk dalam rumah-tangga dunia bukan hanya manusia, melainkan seisi dunia, termasuk tanah, air, dan udara. Ekonomi adalah penataan dan pengelolaan oleh manusia agar ekosistem di bumi tetap terjaga (John B Cobb Jr 1992, Andrew Dobson 1998).