Akan tetapi, Sudaryatmo mempertanyakan bagaimana kios dan pedagang bisa masuk sampai ke peron. Keberadaan mereka tidak mungkin ada tanpa sepengetahuan kepala stasiun setempat. Selain itu, kondisi ini sudah berlangsung lama.
”Untuk mencegah kejadian serupa terulang lagi, perlu regulasi yang berlaku standar di semua stasiun tentang kios atau pedagang asongan. Hal ini harus menjadi kebijakan umum di semua stasiun. Kalau tidak, bisa saja kios atau pedagang asongan kembali memenuhi peron di kemudian hari,” ujar Sudaryatmo.
Terkait penertiban penumpang, Sudaryatmo menilai persoalan yang terjadi bertahun-tahun ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan penertiban. Diperlukan juga pendekatan operator dan regulator kepada penumpang yang tidak bertiket atau yang duduk di atap kereta.
”Ini bukan soal teknis semata, tetapi ada persoalan kultur atau perilaku. Kalau dianggap semata hanya soal teknis, maka solusinya juga teknis, seperti halnya menaruh penghalang atau penertiban,” katanya.
Dia mengakui, perubahan perilaku tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Lewat kampanye terus-menerus tentang bahaya duduk di atap, Sudaryatmo percaya akan bisa mengubah perilaku penumpang.
”Ketimbang mengerahkan pasukan besar untuk penertiban, apakah tidak ada opsi lain bagi konsumen kereta ini? Apalagi, penumpang juga manusia yang bisa diajak bicara,” ucapnya.
Selain itu, ada juga problem kesenjangan antara pertumbuhan penumpang yang tinggi dan kesiapan infrastruktur untuk menambah perjalanan kereta, terutama kereta ekonomi. Hal ini juga yang mendorong warga akhirnya memilih atap untuk bisa sampai ke tujuan.