Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Plus-Minus Redenominasi

Kompas.com - 30/01/2013, 02:53 WIB

Oleh A Tony Prasetiantono

Sebenarnya, redenominasi rupiah—yaitu penyederhanaan satuan rupiah dengan cara menghilangkan tiga angka nol—bukanlah kebijakan yang berurgensi tinggi.

Dalam kondisi sekarang, ketika rupiah ”terbebani” banyak angka nol pun, perekonomian Indonesia masih tumbuh 6,3 persen, inflasi 4,3 persen, suku bunga acuan 5,75 persen, kredit bank berekspansi 23 persen, serta cadangan devisa 112 miliar dollar AS. Memang masih ada berbagai masalah, misalnya fiskal (APBN) yang terbebani subsidi energi Rp 306 triliun, defisit neraca perdagangan 1,5 miliar dollar AS, dan defisit transaksi berjalan 20 miliar dollar AS. Namun, secara keseluruhan, perekonomian Indonesia terhitung ”baik-baik saja”. Karena itu, redenominasi tidak mendesak.

Dua cara

Namun, jika harus memilih, apakah rupiah dibiarkan seperti sekarang atau diredenominasi, saya memilih rupiah yang lebih sedikit mengandung angka nol. Lebih mudah menuliskannya, hemat pencatatan secara akuntansi, serta lebih gampang mengonversikannya ke dalam mata uang asing. Berdasarkan pengalaman, ketika berbincang dengan orang asing, saya sering kesulitan mengonversikan bilangan bertriliun-triliun rupiah menjadi satuan dollar AS, euro, atau yen. Meski dalam nada canda, saya cukup risih apabila ada kawan asing mengatakan, ”Untuk menjadi jutawan di Indonesia ternyata tidak sulit.” Ia benar, karena uang jutaan rupiah bisa dikantongi atau ditenteng ke mana-mana. Padahal, di luar negeri, jutawan adalah frase yang merujuk orang kaya. Namun, di Indonesia, memiliki uang jutaan rupiah tidak berarti kaya. Orang kaya adalah para miliarder atau bahkan triliuner.

Dengan pengalaman pergaulan internasional seperti itu, kadang tebersit pikiran, kapan kurs rupiah menjadi sederhana, misalnya 1 dollar AS ekuivalen Rp 10 atau bahkan Rp 1? Bisakah dan kapan itu bisa dilakukan? Ada dua cara. Pertama, kita terus memperbaiki kinerja perekonomian, antara lain memperbesar surplus perdagangan, surplus transaksi berjalan, dan menarik banyak modal asing sehingga berujung penguatan cadangan devisa. Bila ini dilakukan berkelanjutan, rupiah pun akan menguat melalui mekanisme pasar.

Masalahnya, berapa lama itu bisa kita lakukan? Apakah menunggu sampai cadangan devisa menembus 1 triliun dollar AS, atau bahkan seperti China yang kini cadangan devisanya hampir 3,3 triliun AS? Pasti makan waktu amat panjang. Cara kedua, redenominasi, yakni ”memaksa” penghapusan beberapa nol (sesuai kebutuhan dan kelayakan) sehingga kurs rupiah lebih ramping. Melakukan ini tentu tak bisa sembarangan. Namun, jelas jauh lebih ringan daripada harus memupuk cadangan devisa hingga 1 triliun dollar AS. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, memang tak pernah ada negara yang mirip Indonesia yang melakukannya sehingga tak mudah mengadopsinya begitu saja. Umumnya negara yang pernah melakukannya adalah negara yang relatif kecil, baik dari ukuran ekonomi, jumlah penduduk, maupun luas dan persebaran wilayah. Contoh kisah sukses adalah Turki dan beberapa negara Amerika Latin.

Ada argumentasi bahwa umumnya negara yang melakukan redenominasi adalah mereka yang bermasalah dengan inflasi tinggi, bahkan hiperinflasi (inflasi di atas 50 persen per bulan), seperti dialami Argentina (1980-an), Brasil (1980-an dan 1990-an), Zimbabwe (2010). Sementara di Indonesia inflasi sekarang justru rendah (4,3 persen). Menurut saya, kedua kondisi ini tak bertolak belakang. Bagi negara yang inflasinya tinggi, masalah yang dihadapi adalah lemahnya mata uang, misalnya Turki mengalami 1 dollar AS ekuivalen 1,6 juta lira (1994), sedangkan bagi Indonesia, meski inflasi rendah, kurs rupiah lemah dengan beban angka nol banyak. Di Asia Tenggara, hanya mata uang Vietnam (dong) yang lebih lemah daripada rupiah, yakni 1 dollar AS ekuivalen 20.000 dong.

Jadi, negara yang inflasinya besar ataupun kecil bisa saja melakukan redenominasi, sejauh punya kepentingan sama: ingin menyederhanakan tampilan angka nol pada mata uangnya. Inflasi kita kini memang rendah, tetapi jangan lupa, kita pernah menderita inflasi besar, 78 persen (saat krisis 1998) dan 17 persen (saat harga BBM naik 2005). Akibatnya, rupiah dari Rp 2.000 per dollar AS (1996) pernah merosot jadi Rp 17.000 (Januari 1998) dan kini Rp 9.700 per dollar AS.

Empat persoalan besar

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

The Fed Tahan Suku Bunga, Mayoritas Saham-saham di Wall Street Melemah

The Fed Tahan Suku Bunga, Mayoritas Saham-saham di Wall Street Melemah

Whats New
IHSG Diperkirakan Melemah Hari Ini, Simak Anlisis dan Rekomendasi Sahamnya

IHSG Diperkirakan Melemah Hari Ini, Simak Anlisis dan Rekomendasi Sahamnya

Whats New
5 Cara Tarik Tunai DANA di Alfamart, IndoMaret, dan ATM

5 Cara Tarik Tunai DANA di Alfamart, IndoMaret, dan ATM

Spend Smart
Hari Buruh dan Refleksi Ketimpangan Gender

Hari Buruh dan Refleksi Ketimpangan Gender

Whats New
Punya Aset Rp 224,66 Triliun, LPS Siap Jamin Klaim Simpanan Bank Tutup

Punya Aset Rp 224,66 Triliun, LPS Siap Jamin Klaim Simpanan Bank Tutup

Whats New
Tak Lagi Khawatir Lupa Bawa Uang Tunai Berbelanja di Kawasan Wisata Samosir

Tak Lagi Khawatir Lupa Bawa Uang Tunai Berbelanja di Kawasan Wisata Samosir

Whats New
Info Limit Tarik Tunai BCA Sesuai Jenis Kartu ATM Lengkap

Info Limit Tarik Tunai BCA Sesuai Jenis Kartu ATM Lengkap

Spend Smart
3 Cara Tarik Tunai Tanpa Kartu BCA, Penting saat Lupa Bawa di ATM

3 Cara Tarik Tunai Tanpa Kartu BCA, Penting saat Lupa Bawa di ATM

Earn Smart
[POPULER MONEY] Serikat Pekerja Tuntut Naik Upah, Menaker Balik Tuntut Kenaikan Kompetensi | Luhut Janji Microsoft Tak Akan Menyesal Investasi Rp 27,6 Triliun di Indonesia

[POPULER MONEY] Serikat Pekerja Tuntut Naik Upah, Menaker Balik Tuntut Kenaikan Kompetensi | Luhut Janji Microsoft Tak Akan Menyesal Investasi Rp 27,6 Triliun di Indonesia

Whats New
Cara Bayar Tagihan FIF di ATM BCA, BRI, BNI, Mandiri, dan BTN

Cara Bayar Tagihan FIF di ATM BCA, BRI, BNI, Mandiri, dan BTN

Spend Smart
Bank Mandiri Tegaskan Tetap Jadi Pemegang Saham Terbesar BSI

Bank Mandiri Tegaskan Tetap Jadi Pemegang Saham Terbesar BSI

Whats New
Cek Jadwal Pembagian Dividen Astra Otoparts

Cek Jadwal Pembagian Dividen Astra Otoparts

Whats New
Syarat Ganti Kartu ATM Mandiri di CS Machine dan Caranya

Syarat Ganti Kartu ATM Mandiri di CS Machine dan Caranya

Whats New
Status Internasional Bandara Supadio Dihapus, Pengamat: Hanya Jadi 'Feeder' bagi Malaysia dan Singapura

Status Internasional Bandara Supadio Dihapus, Pengamat: Hanya Jadi "Feeder" bagi Malaysia dan Singapura

Whats New
Naik 36 Persen, Laba Bersih Adaro Minerals Capai Rp 1,88 Triliun Sepanjang Kuartal I-2024

Naik 36 Persen, Laba Bersih Adaro Minerals Capai Rp 1,88 Triliun Sepanjang Kuartal I-2024

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com