Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Potensi Kekayaan Hayati Belum Dimanfaatkan

Kompas.com - 08/02/2013, 02:21 WIB

Jakarta, Kompas - Kelimpahan manfaat kekayaan hayati yang teridentifikasi belum juga digunakan untuk menunjang pembangunan ekonomi hijau. Pembangunan masih mengandalkan model eksploitatif yang merusak.

”Pengembangan manfaat kekayaan hayati banyak ilmunya. Persoalannya, tidak diwujudkan,” kata Emil Salim, pemerhati lingkungan dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden, pada peluncuran buku Bioresources untuk Pembangunan Ekonomi Hijau oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Kamis (7/2). Pengembangan kekayaan hayati butuh sinergi pemerintah-akademisi-industri.

Emil menjadi narasumber diskusi panel peluncuran buku itu di gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Narasumber lain, peneliti utama pada Pusat Penelitian Biologi LIPI Endang Sukara.

Menurut Emil, haluan pembangunan ekonomi masih eksploitatif, mengesampingkan keberlanjutan ekosistem. Hutan terus dibabat untuk monokultur sawit atau batubara. ”Bappenas perlu mengubah haluan perencanaan pembangunan menjadi perkayaan terhadap sumber daya alam,” kata dia.

Sementara itu, menurut Endang, industri tidak sigap menangkap peluang memanfaatkan pengetahuan tentang kekayaan hayati (bioresources). Ini yang membuat aplikasi bioresources lemah/jarang diwujudkan menunjang ekonomi hijau.

”Aplikasi pengetahuan bioresources oleh lembaga penelitian tak dibolehkan. Ini sesuai regulasi,” kata Endang.

Buku yang diluncurkan itu memuat ratusan jenis flora dan fauna disertai penjelasan manfaatnya. Endang menyebutkan, dari salah satu jenis ulat pemakan kayu ditemukan bakteri anaerob yang efektif untuk fermentasi selulosa jadi bioetanol.

Penelitian manfaat

Berbagai jenis fauna memiliki potensi bahan farmasi atau obat-obatan. Jenis hewan itu, di antaranya, rase, musang, trenggiling, rusa, landak, kalong, binatang amfibi, ular, laba-laba, undur-undur, lebah, cacing, dan spons (invertebrata laut).

Ekstraksi ular weling (Bungarus candidus) mengandung enzim penjernih darah. Ekstraksi ular berbisa itu terdistribusi di Jawa, Bali, Sumatera, dan Kalimantan. Lalu, kantong telur dan jaring laba-laba bisa menghentikan perdarahan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com