”Pengembangan manfaat kekayaan hayati banyak ilmunya. Persoalannya, tidak diwujudkan,” kata Emil Salim, pemerhati lingkungan dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden, pada peluncuran buku Bioresources untuk Pembangunan Ekonomi Hijau oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Kamis (7/2). Pengembangan kekayaan hayati butuh sinergi pemerintah-akademisi-industri.
Emil menjadi narasumber diskusi panel peluncuran buku itu di gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Narasumber lain, peneliti utama pada Pusat Penelitian Biologi LIPI Endang Sukara.
Menurut Emil, haluan pembangunan ekonomi masih eksploitatif, mengesampingkan keberlanjutan ekosistem. Hutan terus dibabat untuk monokultur sawit atau batubara. ”Bappenas perlu mengubah haluan perencanaan pembangunan menjadi perkayaan terhadap sumber daya alam,” kata dia.
Sementara itu, menurut Endang, industri tidak sigap menangkap peluang memanfaatkan pengetahuan tentang kekayaan hayati (bioresources). Ini yang membuat aplikasi bioresources lemah/jarang diwujudkan menunjang ekonomi hijau.
”Aplikasi pengetahuan bioresources oleh lembaga penelitian tak dibolehkan. Ini sesuai regulasi,” kata Endang.
Buku yang diluncurkan itu memuat ratusan jenis flora dan fauna disertai penjelasan manfaatnya. Endang menyebutkan, dari salah satu jenis ulat pemakan kayu ditemukan bakteri anaerob yang efektif untuk fermentasi selulosa jadi bioetanol.
Berbagai jenis fauna memiliki potensi bahan farmasi atau obat-obatan. Jenis hewan itu, di antaranya, rase, musang, trenggiling, rusa, landak, kalong, binatang amfibi, ular, laba-laba, undur-undur, lebah, cacing, dan spons (invertebrata laut).
Ekstraksi ular weling (Bungarus candidus) mengandung enzim penjernih darah. Ekstraksi ular berbisa itu terdistribusi di Jawa, Bali, Sumatera, dan Kalimantan. Lalu, kantong telur dan jaring laba-laba bisa menghentikan perdarahan.