Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Perlu Tunggu Tambang Selesai

Kompas.com - 18/03/2013, 03:37 WIB

Ichwan Susanto

Beberapa kilometer sebelum sampai pit tambang tembaga di Proyek Batu Hijau Newmont Nusa Tenggara Barat, tiga elang bondol berputar-putar di atas bukit yang ditumbuhi pepohonan hijau sisi jalan. Fauna dilindungi ini terbang bebas tak menghiraukan keberadaan manusia, termasuk para wartawan di situ. Ini merupakan hasil reklamasi sekitar empat tahun lalu,” kata Mara Maswahenu, ahli kehutanan pada Departemen Lingkungan Newmont Nusa Tenggara Timur, Rabu (6/3).

Hutan buatan itu memang belum sempurna. Tanaman keras, seperti jabon dan besirak, masih berdiameter kecil, sekitar 5 sentimeter. Sela-sela tanaman dipenuhi rumput dan semak-semak.

Kewajiban melakukan reklamasi menjadi amanat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang. Hutan yang dibongkar untuk diambil mineralnya ataupun akses tambang wajib dipulihkan lagi.

Kebanyakan perusahaan tambang mereklamasi setelah penambangan selesai. Newmont Nusa Tenggara (NNT) memproyeksikan tahun 2037 (diperpanjang dari rencana semula tahun 2027) selesai mengeksploitasi tembaga di Batu Hijau. Namun, NNT melaksanakan upaya reklamasi dini. Lahan yang tak terganggu lagi oleh aktivitas tambang segera direklamasi.

Hutan di Batu Hijau berstatus hutan produksi. Namun, kenyataannya saat dibuka, kondisinya terhitung ”perawan”. Aneka fauna dilindungi, seperti burung kakaktua jambul kuning, monyet, hingga babi rusa, serta berbagai jenis elang bergantung hidup pada hutan.

Aktivitas ekstraktif dibuka sekitar tahun 2000, kata Mara, tetapi reklamasi sudah dilakukan sejak 1998. ”Tidak perlu menunggu operasi tambang selesai. Mana lahan terbuka yang sudah tidak terganggu, kami reklamasi,” ujarnya.

Hingga kini, 720 hektar, yakni sepertiga dari lahan yang dibuka NNT, dari pelabuhan NNT Benete hingga sekitar pit tambang, sudah direklamasi. Areal yang masih terbuka atau digunakan untuk pit (berupa cekungan sedalam 420 hektar dari bentuk yang semula bukit) dan infrastruktur luasnya 2.500 hektar dari kontrak karya 87.000 hektar.

Simpan ”top soil”

Potro Soeprapto, Senior Manager Departemen Lingkungan NNT, menjelaskan, reklamasi pascatambang tidak cukup dengan menanami lahan terbuka. Dibutuhkan metode untuk menyiasati sifat asam dari pembukaan lahan. Saat pembukaan, top soil (lapisan tanah teratas yang berisi aneka unsur hara) disimpan.

Top soil digunakan lagi pada proses reklamasi. Setelah itu, lahan ditebari aneka biji tanaman pionir (merambat). Tujuannya, menjaga agar tanah tidak longsor saat hujan.

Setelah tanah stabil, dilakukan penanaman tanaman keras yang menjadi penyusun hutan Batu Hijau. ”Aturannya penanaman minimal 300 tanaman per hektar, tetapi kami melakukan 1.200 tanaman per hektar,” kata Potro.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, tahun lalu, memberi penghargaan ”Penanaman 1 Miliar” kepada NNT, Batu Hijau. ”Reklamasi (lahan) tambang sangat penting. Kalau tidak cepat tanggap, dampak lingkungan akan sangat besar,” kata Zulkifli.

Di Indonesia, sedikitnya 11.000 izin usaha pertambangan (IUP) beroperasi di beberapa wilayah. Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan mencatat ada 295 IUP yang beroperasi di kawasan hutan seluas 340.000 hektar berdasarkan izin pinjam pakai.

Usaha tambang wajib melakukan reklamasi. Perusahaan boleh menunjuk pihak ketiga. Namun, tak sedikit perusahaan lari dari kewajiban.

Catatan BPK tahun 2010- 2011 di tiga provinsi di Indonesia menemukan, 64 pemegang IUP yang belum menyampaikan rencana reklamasi atau rencana pascatambang (Kompas, 26 Juni 2012). Selain itu, 73 pemegang IUP dan 2 pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara belum menempatkan jaminan reklamasi sesuai ketentuan.

Dari dokumen yang diperoleh BPK, baru 4.600-an perusahaan tambang yang sudah clear and clean dari 10.000-an perusahaan yang ada.

Reklamasi tambang seharusnya tidak dilihat sebagai beban. Setelah mengeksploitasi mineral ataupun bahan tambang lain dengan keuntungan yang sangat besar, rehabilitasi lahan tidak sulit dilakukan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com