JAKARTA, KOMPAS -
Hal itu mengemuka pada diskusi bertajuk ”Asuransi Lingkungan: Siapkah Kita Berbagi Risiko Lingkungan?” yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup, di Jakarta, Jumat (31/5). Diskusi merupakan bagian dari Pekan Lingkungan Indonesia 2013.
Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Tata Lingkungan Imam Hendargo Abu Ismoyo mengatakan, pihaknya saat ini sedang merancang peraturan pemerintah tentang instrumen ekonomi lingkungan. Salah satunya akan mencakup kewajiban perusahaan atau industri yang memiliki potensi berdampak pada lingkungan untuk memiliki asuransi lingkungan.
Saat ini, kewajiban untuk memiliki asuransi yang menanggung risiko pencemaran, baru diterapkan pada perusahaan pengelola limbah bahan beracun berbahaya (B3) yang diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 18 Tahun 2009.
”Aturan itu akan diperluas sehingga mencakup semua jenis perusahaan yang berpotensi mencemari lingkungan,” kata Imam.
Seiring keberadaan instrumen asuransi, biaya penanggulangan jika terjadi pencemaran bisa langsung tertangani. ”Masyarakat jadi tak terbebani,” katanya.
Wali Kota Dumai, Riau, Khairul Anwar yang menjadi salah satu narasumber diskusi mengatakan, Pemkot Dumai berinisiatif merancang peraturan daerah yang akan mewajibkan dunia usaha memiliki asuransi lingkungan tersebut. Salah satu caranya dengan memasukkan asuransi sebagai prasyarat perizinan usaha.
Dumai merupakan daerah rentan pencemaran industrial karena banyaknya industri pengolahan minyak bumi, kelapa sawit, dan jalur kapal niaga yang melintasi Selat Malaka.
Senior Manager Jasindo, BUMN asuransi, Erika Maulani mengatakan, tahun 2011 ada 174 polis asuransi lingkungan dan 228 polis pada 2012 yang diajukan perusahaan pengelola limbah B3.
”Meskipun tren meningkat, hal itu masih jauh dari jumlah perusahaan limbah B3 yang mencapai ribuan unit,” ujarnya.