Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Infrastruktur Jalan Tak Siap

Kompas.com - 02/12/2013, 10:27 WIB


BANDUNG, KOMPAS.com -
Kemacetan lalu lintas tak hanya monopoli ibu kota Jakarta. Di kota-kota seperti Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, Makassar, dan Bali, kemacetan total juga mewarnai. Di balik kemacetan memang menunjukkan kemajuan ekonomi dan naiknya daya beli warga. Namun, kemajuan tidak disertai kesiapan infrastruktur dan penataan jalan.

Oleh sebab itu, jika pemerintah daerah tak segera mengatasi, sejumlah pengguna jalan dan kalangan akademik dan praktisi yang ditemui Kompas di sejumlah daerah, Minggu (1/12/2013), khawatir lalu lintas di daerah benar-benar stagnan.

Pemborosan tak hanya muncul akibat inefisiensi, seperti biaya transportasi yang naik akibat lamanya perjalanan dan borosnya bahan bakar, juga pada peningkatan harga barang. Buntutnya, daya saing ekonomi bakal rendah. Kesehatan masyarakat juga bisa terganggu karena polusi udara dan gangguan kebisingan. Mereka berharap kemacetan tak seperti di Jakarta.

Di Kota Bandung, Jawa Barat, kemacetan tak hanya terjadi pada Minggu atau hari libur dan di lokasi wisata, tetapi juga pada hari-hari biasa, terutama pagi dan sore, saat warga berangkat dan pulang kerja. Hasil penelitian Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2012, di sejumlah lokasi, yakni Jalan Cihampelas, Asia Afrika, Pasteur, dan Kiara Condong, angka derajat kejenuhan atau perbandingan antara arus dan kapasitas jalan atau volume capacity ratio (VCR) lebih dari 1.

Contohnya, VCR di Cihampelas mencapai 1,52. Ini artinya, tingkat kemacetan di ruas jalan yang dipantau sangat tinggi. Lima tahun lalu, saat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bandung mendata, VCR baru 0,95. Derajat kejenuhan dinilai tinggi jika VCR lebih dari 0,75.

Ahli perencanaan transportasi ITB, Ade Sjafruddin, mengatakan, kemacetan lalu lintas karena tata ruang, pertumbuhan ekonomi yang berdampak terhadap meningkatnya kebutuhan infrastruktur, ataupun pertumbuhan dan mobilitas penduduk. ”Sayangnya, tak diimbangi pertumbuhan infrastruktur dan jaringan jalan dan angkutan massal. Lambannya pertumbuhan angkutan membuat volume kendaraan pribadi semakin tinggi,” ujarnya.

Penyebab kemacetan di Kota Yogyakarta dan sekitarnya tak hanya membeludaknya wisatawan, tetapi juga mudahnya masyarakat membeli mobil. Apalagi, kini, mobil murah banyak diproduksi. Padahal, fasilitas angkutan umum sangat minim, ditambah kualitas layanannya juga rendah.

Jumlah bus angkutan umum Transjogja yang disediakan, misalnya, untuk melayani kawasan sekitar Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul hanya 54 unit. Karena terbatas, daya angkut pun tak maksimal. Ketersediaan KA jarak pendek juga terbatas. Layanan angkut kereta Prameks rute Kutoarjo-Yogyakarta-Solo dikurangi jadwalnya. ”Jika kondisi ini tak diantisipasi, 15 tahun ke depan, kemacetan semakin menjadi-jadi,” kata peneliti transportasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Ahmad Munawar.

Pengusaha tak mendukung

Wali Kota Semarang Hendar Prihadi mengakui, pengembangan bus rapid transit (BRT) sangat diperlukan untuk mengurai kemacetan. Ada tujuh lokasi jalan yang kerap macet, di antaranya Jalan Brigjen Katamso, Jalan Siliwangi, dan Jalan Walisongo. Juga di Jalan Setia Budi dan Perintis Kemerdekaan serta Jalan Kaligawe.

Namun, Hendar menyatakan, BRT masih terkendala, yakni terbatasnya dana untuk pengembangan. Satu koridor yang dilayani sekitar 15 bus perlu dana di atas Rp 700 juta. ”Kami sulit menambah koridor karena baru satu koridor, yakni koridor jurusan Penggaron-Mangkang yang bisa membiayai dari penumpangnya,” ujarnya.

Pengamat transportasi jalan Fakultas Teknik Unika Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno, menuding oknum pengusaha angkutan umum tak mendukung BRT. Padahal, solusi mengatasi kemacetan adalah diperbanyaknya transportasi massal agar warga rela naik bus umum.

Kondisi jalan di Jawa Timur kini juga mengalami titik jenuh, terutama di Surabaya, Sidoarjo, Malang, Mojokerto, dan Gresik. Penyebabnya, jumlah kendaraan yang tak diimbangi pertumbuhan jalan dan perbaikan. Kemacetan ada di jalan-jalan utama pada waktu-waktu tertentu. Bahkan kemacetan melanda jalan alternatif dan pinggiran kota.

Pengamat transportasi dari Institut Teknologi Surabaya, Haryo Sulistiarso, mengatakan, penyebab kemacetan adalah meningkatnya pertumbuhan volume kendaraan yang tak diimbangi pertumbuhan jalan dan perbaikan.

Sebagai gambaran, jumlah sepeda motor di Surabaya sampai Juli lalu mencapai 2 juta unit, sedangkan jumlah kendaraan roda empat bernomor polisi L hampir 250.000 unit. Data di Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Jatim menunjukkan, selama tahun 2012, kenaikan jumlah kendaraan mencapai 7,12 persen.

Namun, panjang jalan di Kota Surabaya dengan data tahun 2009 hanya 1.160 kilometer. Selama empat tahun penambahan panjang jalan hanya 0,01 persen. Dengan asumsi panjang kendaraan roda empat 4-5 meter dikalikan 250.000 unit, dibutuhkan jalan sepanjang 1.250 kilometer. ”Itu belum kendaraan roda dua yang mencapai 2 juta unit di Surabaya saja. Padahal, Kota Surabaya setiap hari menerima kendaraan yang berasal dari Sidoarjo, Gresik, dan kota di sekitarnya,” kata Haryo menambahkan.

Wacana moratorium Bali

Di luar Jawa seperti di Medan, Palembang, dan Makassar, kemacetan juga terjadi. Direktorat Lalu Lintas Polda Sumatera Utara per September lalu menyebutkan, jumlah kendaraan mencapai 5,24 juta unit. Itu berarti naik 1,2 juta daripada tiga tahun lalu yang 4 juta unit, atau naik 80 persen dibandingkan kendaraan tahun 2007 yang berjumlah 2,89 juta. ”Rata-rata ada penambahan 25.000 kendaraan di Sumut tiap bulan,” ujar Direktur Lalu Lintas Polda Sumut Komisaris Besar Agus Sukamso. Padahal, penambahan panjang dan lebar jalan di Kota Medan tidak signifikan.

Di Palembang, Sumatera Selatan, penambahan jumlah kendaraan di Kota Palembang tercatat 4.000-6.000 per tahun. Kemacetan pun terjadi. ”Titik kemacetan terkonsentrasi di Kota Palembang dan jalan antarprovinsi. Faktor utamanya, pertambahan jumlah kendaraan, sementara ruas jalan tidak bertambah,” ujar Kepala Bidang Humas Polda Sumsel Komisaris Besar R Djarod Padakova.

Adapun kemacetan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), bukan hanya karena kendaraan warga Kota Makassar, melainkan juga warga yang datang dari luar Kota Makassar seperti dari sejumlah kabupaten. Mereka datang pada setiap akhir pekan untuk berlibur. ”Lima tahun lalu jumlah kendaraan hanya 850.000 unit, tetapi tahun ini jadi 2,3 juta,” kata Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo.

Untuk mengatasinya, APBD Sulsel disiapkan untuk menambah dan pelebaran jalan. Misalnya, di jalur Perintis Kemerdekaan-Ir Sutami sepanjang lima kilometer dengan lebar 42 meter. Selain juga penyiapan moda yang baru seperti kereta.

Sebagai daerah wisata, jalan di Bali tak hanya macet di kawasan pantai Kuta atau Sanur, tetapi juga di Kota Denpasar. Pada Oktober lalu, Bali memiliki jalan tol yang menghubungkan Nusa Dua-Ngurah Rai-Denpasar dan underpass di Ngurah Rai. Namun, jalan bersifat sementara.

Oleh sebab itu, Gubernur Bali Made Mangku Pastika melontarkan wacana moratorium kendaraan baru dan bekas yang mutasi. Moratorium berlaku selama 3-5 tahun. Namun, keputusan itu belum diketok karena perlu dikaji lagi. Pastika juga merencanakan pajak progresif, yaitu kendaraan yang masuk Bali akan diberi stiker berjangka waktu tertentu. Selesai tanggal tertera, kendaraan harus keluar Bali. (WSI/SEM/COK/AYS/ABK/IRE/REN/NIK/WHO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com