Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sastrawan Ini Memotret Perubahan dari Tengah-tengah Waduk

Kompas.com - 30/06/2014, 09:01 WIB

@Rhenald_Kasali

KOMPAS.com - Bisakah Sastrawan membantu kita memotret perubahan? inilah ceritanya.  Minggu lalu, Budi Karya Sumadi, CEO PT Jakpro meluncurkan logo baru BUMD ini. Budi, yang dulu dikenal sukses memimpin Ancol, melakukannya di tepi Waduk Pluit bersama Plt Gubernur DKI, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dan warga yang masih tinggal di sisi waduk. Saya dibekali sebuah buku yang mengubah pandangan saya tentang pentingnya karya sastra dalam perubahan.

Bagi Budi, pergantian logo perlu untuk mengirim sinyal bahwa cara-cara lama sudah tidak relevan lagi. Ahok, lebih agresif lagi. “Jakpro kita jadikan Temasek-nya Indonesia,” ujarnya.

Bersama Jokowi, mereka seperti melihat jendela dari kumuhnya dinding-dinding birokrasi yang dipelihara berbagai kepentingan. Harap maklum, untuk menciptakan perubahan di Waduk Pluit, praktis sedikit sekali peran birokrasi dan APBD. Hampir semua dikerjakan oleh Jakpro, dan selesai tepat waktu.

Leadership-Entrepreneurship

Lantas dimana kuncinya? Leadership plus entrepreneurship. Kepemimpinan duo Jokowi-Ahok  yang tegas, berani dan detail. Tak mudah dikerjai bawahan dan gesit memeriksa kebenaran sampai ke ujung-ujung jalan. Nah entrepreneurship membantu mereka melihat “celah” jalan keluar.  

Kelak siapapun pemimpinnya, Indonesia perlu dua hal itu. Sebab reformasi birokrasi butuh waktu panjang. Aturan-aturan hukum terlalu banyak jebakannya. Dan kalau dipimpin dengan jalan pintas-asal tebas, rakyat bakal menderita.

Simaklah asal kata “Cour” dalam Courage (berani), yang berarti “heart” (penuh cinta). Kepemimpinan itu intinya adalah kepedulian dan belas kasih pada yang tertindas.

Kini kita bisa tersenyum duduk di tepi waduk yang dulu mempertontonkan wajah ibukota yang tak pernah diurus itu. Potret lama itu pernah ditayangkan televisi Belanda, membuat geleng-geleng kepala. Bagaimana pemerintah mendiamkan warganya tinggal di dalam waduk, 2,8 meter di bawah permukaan laut.    

Tempat tinggal pun hanya 3x4 meter. Memindahkan mereka?  Warga melawan. Bukankah sudah biasa Pemda menggusur demi berdirinya bangunan-bangunan megah? Itu cerita biasa di DKI, fasilitas-fasilitas umum diubah oknum menjadi bangunan mewah.

Maka diperlukan semangat baru. Bagaimana “menggusur namun tak meminggirkan kaum miskin dalam kesengsaraan” (Buku Waduk Pluit, 2014)

Saya tertegun, karena gap kaya-miskin di negeri ini semakin hari semakin besar membuat hidup tidak aman. Sepuluh tahun terakhir ini kebijakan ekonomi hanya disibukkan memacu pertumbuhan. Tengoklah betapa besarnya angka kriminalitas.

Tengok pula akses anak-anak desa menuju sekolah, jembatan sungai  roboh, honor guru-guru yang tak lancar turun. Jalan- jalan di pedesaan rusak, sektor pertanian terganggu dan irigasi tersumbat.

Buruh pun menuntut gajinya dinaikkan, tetapi tetap saja tak sejahtera karena tak mempunyai perumahan yang layak. Rumah-rumah kontrakan buruh jauh di luar kota membuat kenaikan gaji habis ditelan ongkos dan kepenatan di jalan.

Di buku itu anda bisa menemukan prinsip-prinsip perubahan  yang manusiawi. Mereka menyediakan perumahan di tiga buah Rusun: Marunda, Pegadungan, dan Pulogebang. Tidak digusur, melainkan diajak melihat, lalu putuskan sendiri. Kalau manfaatnya lebih besar,  pindah dengan sendirinya.

Sastra Perubahan

Uniknya, buku perubahan ini ditulis dengan model yang jarang kita temui: Dibuka oleh 3 buah cerpen karya Gus TF Sakai, dilanjutkan oleh pandangan-pandangan para ilmuwan, dan ditutup oleh liputan jurnalistik.    

Artinya, baik Jakpro maupun pemimpin DKI tidak bekerja dengan pembenaran-pembenaran, melainkan mengakar pada kebenaran ilmiah dan nurani.  Resonansi mengalir dari Role Model di atas.

Gus Sakai sendiri menulis karya sastra itu sambil menetap di sana. Dari tulisan itu saya menemukan “suara batin” from-to yang penting dalam menganalisis dan memulai perubahan. Bukankah sastrawan selalu menangkap dengan “mata batin” yang tak kita miliki?

Cerpen pertamanya menceritakan kisah Tarno dan Darto yang terseret banjir tengah malam. Meski sibuk menyelamatkan diri, keduanya masih memikirkan Buk Madura, induk semangnya, juga anak dan istrinya yang terpencar ke arah laut.

Cerpen keduanya berkisah pergulatan resistensi warga saat ditawarkan pindah. Dan, akhirnya happy ending: kehidupan baru.

Pemimpin Baru

Kolom ini bisa saja di ditafsirkan berbeda, tetapi perlu dipahami bahwa negri ini butuh perubahan. Dan yang kita butuhkan bukanlah perubahan tangan besi, melainkan perubahan dengan mata batin yang didasarkan belas kasih yang manusiawi.

Tahukah Anda, dunia tengah mengecam praktek-praktek kapitalisme yang menyengsarakan. Pada tahun 2012, 1 persen plutokrat (orang-orang super kaya) menikmati penghasilan atau kekayaan yang dimiliki sebanyak 57 persen penduduk dunia.

Inilah zaman yang untuk pertamakalinya memerlukan leadership skills tingkat tinggi yang tak cukup asal tunjuk. Dunia membutuhkan pemimpin-pemimpin yang mampu bekerja lintas sektoral, berorientasi pada tindakan dan membangun komitmen.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com