Dana itu pulalah yang selalu ditanyakan para asessor internasional saat mengurus akreditasi internasional. Dan dengan sedih saya harus katakan, dana abadi, bahkan dana-dana kontribusi masyarakat di sini masih terlalu kecil. Pada tahun 2012, di UI saja, menurut sebuah laporan, hanya 4 persen dari seluruh anggaran. Kampus Indonesia masih terperangkap dengan keasiykan dana mudah, dari sumbangan uang kuliah mahasiswa.
Padahal dengan dana-dana itu, kita bisa mendatangkan profesor-profesor kelas dunia mengajar di Universitas kita. Tawaran seperti itu pernah saya terima untuk menjadi profesor "Change Management" di kampus mereka. Namun karena satu dan lain hal, saya memutuskan untuk tidak menerimanya, karena jumlah guru besar bidang yang saya tekuni hanya sedikit.
Hasil investasi dana abadi itulah yang dipakai kampus-kampus kelas dunia mengembangkan riset-riset fenomenal, perpustakaan berteknologi tinggi, mengembangkan pelayanan, fasilitas-fasilitas pendidikan, termasuk hotel dan dormitory (asrama mahasiswa) yang dilengkapi wifi gratis, bahkan yakuzi. Lalu kepada mahasiswa-mahasiswa yang hebat tidak hanya diberikan uang kuliah, melainkan juga biaya hidup.
Di sisi lain, dengan mengandalkan APBN dan uang kuliah sumbangan mahasiswa, kita belum bisa melihat realita dari harapan itu di berbagai universitas negeri di Tanah Air. Asrama-asrama mahasiswa kita terkesan kumuh, bahkan di jendela-jendela pun sering kita lihat, maaf pakaian dalam, yang dijemur seadanya.
Kamar mandi yang airnya keruh, dan listriknya sering tak menyala, riset yang sekedar ada, jurnal akademik kualitas lokal. Padahal di situlah tinggal anak-anak petani, nelayan, PNS atau anak rakyat jelata yang kelak akan menggantikan Jokowi atau pemimpin-pemimpin besar Indonesia. Itu hanya bisa dicapai kalau dananya cukup, sebab kita perlu mengajak mereka menjadi calon pemimpin yang visioner, adaptif dan berwawasan kebangsaan.
University Fundraising Center
Gagasan inilah yang sempat saya tuangkan dalam paper pendek di UI untuk mendorong lahirnya endowment fund yang dikelola universitas secara profesional.
Sudah saatnya kampus-kampus besar Indonesia dikelola secara visioner. Alumni-alumni dan pemimpin-pemimpinnya perlu meminjamkan lebih banyak lagi reputasinya agar semakin banyak anak-anak bangsa yang cerdas bisa sekolah di kampus-kampus besar. Ini merupakan modal awal bagi kita untuk mengurangi gap kaya-miskin, memperbaiki koefisien gini, dan memenangkan Indonesia di dunia dengan ilmuwan-ilmuwan masa depan yang cemerlang.
Kalau hari ini kita masih mengenal filsuf-filsuf besar seperti Aristoteles, Plato dan Socrates, maka saya perlu ingatkan Anda, itu semua berkat dana abadi pertama yang diperkenalkan Marcus Aurelius di Atena (176 AD) untuk mendukung sekolah-sekolah filsafat.
Lalu, pada tahun 1502, nenek Henry VIII, Lady Margaret Beaufort, mengembangkan metode ini untuk mengangkat reputasi Universitas Oxford dan Cambridge.
Kita tahu, kedua kampus besar itulah yang kini menempati posisi terhormat rangking dunia bersama Harvard dan Yale. Setelah itu tradisi serupa diikuti oleh Sir Isaac Newton (Lucasian Chair of Mathematics, 1669) bahkan juga Stephen Hawking.
Kampus-kampus Indonesia perlu mengembangkan University Fundraising Center dengan target yang tak kecil. Dan sumbernya, sekali lagi tidak boleh diambil dari uang kuliah mahasiswa atau APBN. Saya kira iniah ruang yang diberikan UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi dan UU tentang Keuangan Negara yang memberikan status PTN BH pada beberapa perguruan tinggi ternama. Artinya, di sana ada banyak keleluasaan mengembangkan dan mengelola dana-dana abadi.
Lantas seperti apa konsepnya?
Pertama, lembaga ini harus dikelola oleh tenaga-tenaga profesioanal, dengan tata kelola yang menjamin transparansi dan akuntabilitas. Kedua, aturannya harus dibuat jelas. Harus dipisahkan antara pemberi target dengan pelakasana dan pengawasnya.
Kedua, dana abadi dikepung bersama alumnus pada level fakultas dan universitas dengan sahabat-sahabat universitas. Semua kebutuhan dipetakan, dipastikan secara garis besar berapa sasaran yang akan dicapai. Kalau Harvard sudah memilki Rp.440 Trilyun, jelas kampus-kampus Indonesia tidak akan bisa menjadi kelas dunia kalau hanya bisa mengumpulkan satu-dua trilyun rupiah saja.