Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pak Jokowi, Beker Sudah Berbunyi Nyaring...

Kompas.com - 30/10/2014, 21:00 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

KOMPAS.com — Bank Sentral Amerika Serikat, Federal Reserve, Rabu (29/10/2014) waktu setempat, resmi sudah menghentikan stimulus keuangannya yang berumur enam tahun. Kucuran 85 miliar dollar AS ke pasar keuangan Amerika, yang rembesannya sampai ke seluruh belahan dunia termasuk Indonesia, tinggal cerita. (Baca: Stimulus The Fed Berakhir!).

Satu lagi beker sedang berbunyi nyaring untuk pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sekaligus bagi ekonomi dan kehidupan rakyat Indonesia.

Stimulus ini—dikenal sebagai quantitative easing (QE)—memang ditujukan untuk menopang ekonomi negara Paman Sam yang nyaris kolaps pada 2008 setelah dihajar krisis subprime mortgage, kredit berlebihan di sektor properti. Penghentiannya—tapering—berarti pemulihan ekonomi di sana dianggap sudah sesuai rencana.

Namun, sekali lagi, stimulus yang dikucurkan dalam rupa pembelian surat berharga negara itu juga merembes sampai ke luar AS. Istilahnya, inilah enam tahun era murah dollar AS, bersamaan dengan suku bunga rendah yang tak menarik untuk menanamkan uang di negeri mereka sendiri.

Para pemilik atau pemanfaat dollar AS itu berusaha mencari keuntungan dengan menanamkan uang di negara lain yang memberikan bunga menguntungkan, salah satunya Indonesia.

"QE seperti yang dilakukan The Fed ini, dengan nilai kumulatif sekitar 4 triliun dollar AS, belum pernah terjadi sebelumnya," kata ekonom dari Sustainable Development Indonesia, Dradjad Hari Wibowo, Kamis (30/10/2014). Karenanya, ujar dia, pelaku pasar dan para ekonom belum punya data seberapa besar dampak sebenarnya stimulus ini terhadap suku bunga jangka panjang, perilaku investasi—khususnya terhadap saham dan aset-aset keuangan, serta ekonomi riil.

"Apa dampaknya ketika QE dihentikan juga masih diperdebatkan, termasuk soal definisi 'timing yang tepat' itu kapan," tutur Dradjad. Dalam pernyataannya, Rabu, The Fed menyatakan menghentikan kucuran stimulus, tetapi tidak menaikkan suku bunga acuan yang sekarang dipatok ekstra rendah—di level 0,25 persen—hingga "waktu yang tepat".

Tantangan bagi Indonesia

Wacana tapering sudah diembuskan oleh Gubernur The Fed sebelumnya, Ben Bernanke, sejak Mei 2013. Sempat hendak dilakukan pada Oktober 2013, lalu mundur dan terus mundur, meski pada Januari 2014 sudah ada langkah mengurangi besaran stimulus.

Dok Kontan.co.id Gedung Bank Sentral Amerika (The Fed).
Indonesia bukan tidak menyadari bakal ada imbas bagi Indonesia ketika tapering benar-benar terjadi. Bank Indonesia, misalnya, sudah jauh-jauh hari menyerukan perlu pembenahan struktural ekonomi Indonesia.

Terbaru, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Senin (27/10/2014), mengatakan, "Yang paling urgent adalah kita harus bisa menjaga ketahanan ekonomi kita menghadapi normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat pada tahun depan, dan perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Satu lagi, jatuhnya harga komoditas."

Karenanya, lanjut Bambang, "Ketahanan ekonomi kita memang harus diperkuat, termasuk ketahanan fiskal dan sektor keuangan." (Baca: Menkeu Bilang, Isu "Urgent" Ekonomi di Kabinet Jokowi Bukan Pengalihan Subsidi BBM).

Terbukti dengan langsung goyangnya Wall Street begitu keputusan The Fed ini dinyatakan, Dradjad berpendapat, harga saham di bursa Amerika saat ini masih terlalu mahal. Suku bunga yang berlaku pun bukan cerminan kondisi fundamental ekonominya. Koreksi, kata Dradjad, pasti bakal terjadi menyusul tapering. "Tapi tidak ada yang yakin seberapa besar koreksi tersebut dan seberapa lama," ujar dia.

Namun, jeda waktu antara wacana tapering hingga diputuskan pada Rabu memberi kesempatan para pelaku ekonomi mempersiapkan diri. "Jadi, saya rasa tidak akan terjadi kepanikan di Amerika maupun dunia," katanya. Kalaupun terjadi penurunan harga saham, kenaikan suku bunga, dan pelemahan pertumbuhan ekonomi di Amerika, Dradjad memperkirakan semuanya dalam rentang moderat.

"Jadi, dampaknya terhadap ekonomi global dan Indonesia hemat saya juga moderat. Tapi tetap akan ada pelemahan ekonomi dunia, apalagi dengan masih lemahnya pertumbuhan ekonomi China, ditambah ketegangan antara Amerika dan Rusia, tekanan terhadap harga minyak," lanjut Dradjad.

Meski demikian, kata Dradjad, jika Indonesia tak menyiapkan kebijakan antisipasi atas imbas meluas tapering ini, maka bisa saja terjadi koreksi atas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kisaran 0,1 persen hingga 0,3 persen. "Efek psikologis dari koreksi ini yang berisiko tinggi, karena bisa memicu efek bola salju terhadap ekonomi Indonesia," papar dia.

Sekalipun koreksi itu terlihat kecil sebagai angka, Dradjad menyebutkan, realisasi angka pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa berada di kisaran 4 persen. "Dampak riilnya moderat, tetapi efek psikologisnya bisa serius kalau sampai pertumbuhan (ekonomi) kuartalan atau tahunan berada di level angka kepala 4," tegas dia.

Serius soal Trisakti?

Ekonom Econit, Hendri Saparini, mengatakan, keputusan The Fed menghentikan stimulus ini ibarat beker yang berbunyi sangat nyaring bagi Indonesia untuk membuat beragam perubahan di bidang ekonomi. "Yang harus dilakukan sekarang dan secepat-cepatnya adalah penguatan struktural," tegas dia, Kamis.

Kabinet Kerja, ujar Hendri, harus segera bisa merumuskan apa yang akan dikerjakan, dengan konsep yang utuh. Kuncinya, sebut dia, ada di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. "Kalau Pak Andrinof (Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Andrinof Chaniago) sering mengatakan pembangunan kita menuju negara gagal, sekarang perubahan konsep untuk mencegah hal itu terjadi ada di tangannya," ujar Hendri.

Dalam merumuskan konsep baru pembangunan tersebut, Hendri menyarankan Bappenas tak lagi membuat ratusan halaman tulisan seperti dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang sekarang ada. "Yang penting, dalam lima tahun itu mau kerjakan apa saja, insentif atau disinsentif untuk pekerjaan itu apa, tetapi harus pula terintegrasi. Kalau ratusan halaman, siapa yang baca?"

Pasalnya, rencana itu harus bisa dibaca juga kalangan pengusaha dan pelaku ekonomi lain pun semestinya paham rencana tersebut untuk bisa membuat rencana yang selaras dengan kemauan pemerintah. Pertanyaan besarnya sekarang, sebut Hendri, "Pak Jokowi betul-betul atau tidak mau melaksanakan Trisakti?"

Menurut Hendri, saat ini yang dibutuhkan Indonesia adalah "membelokkan" arah kebijakan ekonomi dengan memperkuat ekonomi domestik. Bagaimanapun, salah satu poin dalam Trisakti adalah kemandirian ekonomi.

Bila ingin mengurangi impor, misalnya, Hendri mengatakan, arah kebijakan harus dibuat dan digarap pijakannya sejak sekarang. "Termasuk bila hendak memulai tren peningkatan produksi dalam negeri, memperbaiki kapasitas produksi Indonesia."

Gula menjadi contoh komoditas yang dipilih Hendri. Data resmi pemerintah menyebutkan, ada kelebihan pasokan gula 2,9 juta ton. Menurut Hendri, bila blusukan ke perkebunan, akan didapat data kelebihan pasokan itu puluhan juta ton.

"Problemnya, perkebunan tak bisa jual ke pasar karena pasar dipenuhi gula impor. Itu pertanyaan untuk Pak Jokowi, mau ikuti pasar atau membuat arah baru kebijakan pangan? Harus membuat pilihan!"

Kemandirian dan putusan The Fed

Bicara impor dan kaitannya dengan keputusan The Fed menghentikan stimulus, impor itu dibayar pakai devisa alias mata uang asing—yang sayangnya paling umum adalah dollar AS. Ketika ekonomi Amerika membaik, investasi di dalam negeri mereka juga lebih menggiurkan, aliran dana akan berbalik lagi ke Amerika, kurs pasti berfluktuasi, dan impor akan terasa mencekik.

KOMPAS.com/Indra Akuntono Joko Widodo saat berbincang dengan petani di Desa Gentasari, Kroya, Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (13/6/2014).
"Harus ada upaya mendongkrak kapasitas produksi di dalam negeri, perombakan kebijakan fiskal, revisi signifikan APBN, dan tak bisa lagi hanya mengandalkan moneter untuk menahan imbas atas kurs atau bahkan inflasi," kata Hendri. Khusus APBN, dia berharap pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla menjadikan anggaran negara tersebut sebagai pendorong produksi dalam negeri.

Selama ini, papar Hendri, belanja negara tak ada kontrol ketat atas asal produk, dari lokal atau impor. Contoh sederhana, kalau baju pegawai diarahkan membeli batik daripada baju bagus yang cenderung impor, dengan sendirinya inflasi karena impor bisa dikurangi sekaligus produksi di dalam negeri bakal menggeliat untuk memenuhi kebutuhan itu.

Contoh lain, sebut Hendri, adalah anggaran penanganan gizi anak senilai Rp 5 triliun. Selama ini, papar dia, tak ada yang membahas dana itu dipakai untuk membeli makanan tambahan produk lokal atau dari impor. "Kalau saja tambahan gizi itu didapat dari nugget ayam atau tempe produk lokal, multiplier effect-nya akan nyata. Ada captive market yang menggerakkan ekonomi kelompok masyarakat senilai Rp 5 triliun."

Terakhir, kata Hendri, upaya-upaya semacam contoh di atas dipadu-padan dengan blusukan ala Jokowi, tetap butuh penegakan hukuman dan terapi kejut. "Begitu ada anggaran bocor dan ketahuan, jatuhi sanksi seberat-beratnya dengan delik korupsi."

Hendri berkeyakinan, ruang fiskal yang oleh banyak kalangan disebut sempit bagi Jokowi untuk mengembangkan program produktif, masih bisa ditata ulang. "Biaya dinas bisa dipangkas dan daftar belanja bisa disisir ulang. Tak semua juga harus beli, toh ada jasa sewa," ujar dia.

Kembali kepada Trisakti, ujar Hendri, putusan The Fed ini adalah satu lagi momentum ujian bagi Jokowi terkait kemauannya menjalankan, pemahamannya, dan kemampuan dia menularkan prinsip Trisakti itu untuk dijalankan para menteri dan aparaturnya. Ini sekaligus menguji keefektifan arahan Jokowi dalam sidang perdana kabinet, "Tak ada lagi visi-misi menteri, yang ada visi-misi Presiden."

Ada jeda waktu sebelum dampak putusan The Fed memberi dampak nyata bagi perekonomian nyata. Masih ada pula waktu sebelum The Fed merasa sekaranglah waktu yang tepat untuk menaikkan suku bunga acuannya. Butuh waktu juga imbas kebijakan suku bunga tersebut pada saatnya merembet sampai Indonesia. "Pasti ada dampak dari keputusan The Fed ini, tapi ada 'jeda' waktu. (Jeda) itu kesempatannya," kata Hendri.

Beker sudah berbunyi nyaring, Pak Jokowi... Saatnya kerja, kerja, kerja!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bulog Diminta Lebih Optimal dalam Menyerap Gabah Petani

Bulog Diminta Lebih Optimal dalam Menyerap Gabah Petani

Whats New
Empat Emiten Bank Ini Bayar Dividen pada Pekan Depan

Empat Emiten Bank Ini Bayar Dividen pada Pekan Depan

Whats New
[POPULER MONEY] Sri Mulyani 'Ramal' Ekonomi RI Masih Positif | Genset Mati, Penumpang Argo Lawu Dapat Kompensasi 50 Persen Harga Tiket

[POPULER MONEY] Sri Mulyani "Ramal" Ekonomi RI Masih Positif | Genset Mati, Penumpang Argo Lawu Dapat Kompensasi 50 Persen Harga Tiket

Whats New
Ketahui, Pentingnya Memiliki Asuransi Kendaraan di Tengah Risiko Kecelakaan

Ketahui, Pentingnya Memiliki Asuransi Kendaraan di Tengah Risiko Kecelakaan

Spend Smart
Perlunya Mitigasi Saat Rupiah 'Undervalued'

Perlunya Mitigasi Saat Rupiah "Undervalued"

Whats New
Ramai Alat Belajar Siswa Tunanetra dari Luar Negeri Tertahan, Bea Cukai Beri Tanggapan

Ramai Alat Belajar Siswa Tunanetra dari Luar Negeri Tertahan, Bea Cukai Beri Tanggapan

Whats New
Sri Mulyani Jawab Viral Kasus Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Bea Masuk Rp 31 Juta

Sri Mulyani Jawab Viral Kasus Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Bea Masuk Rp 31 Juta

Whats New
Sri Mulyani Jelaskan Duduk Perkara Alat Belajar Tunanetra Milik SLB yang Ditahan Bea Cukai

Sri Mulyani Jelaskan Duduk Perkara Alat Belajar Tunanetra Milik SLB yang Ditahan Bea Cukai

Whats New
Apa Itu Reksadana Terproteksi? Ini Pengertian, Karakteristik, dan Risikonya

Apa Itu Reksadana Terproteksi? Ini Pengertian, Karakteristik, dan Risikonya

Work Smart
Cara Transfer BNI ke BRI lewat ATM dan Mobile Banking

Cara Transfer BNI ke BRI lewat ATM dan Mobile Banking

Spend Smart
Suku Bunga Acuan Naik, Apa Dampaknya ke Industri Multifinance?

Suku Bunga Acuan Naik, Apa Dampaknya ke Industri Multifinance?

Whats New
Aturan Impor Produk Elektronik Dinilai Bisa Perkuat Industri Dalam Negeri

Aturan Impor Produk Elektronik Dinilai Bisa Perkuat Industri Dalam Negeri

Whats New
Cara Beli Pulsa melalui myBCA

Cara Beli Pulsa melalui myBCA

Spend Smart
Lima Emiten yang Akan Bayar Dividen Pekan Depan

Lima Emiten yang Akan Bayar Dividen Pekan Depan

Whats New
Pemerintah Dinilai Perlu Buat Formula Baru Kenaikan Tarif Cukai Rokok

Pemerintah Dinilai Perlu Buat Formula Baru Kenaikan Tarif Cukai Rokok

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com