"Karena stuck-nya (ekonomi kita) ini seperti (mobil) mengerem mendadak, jadi ada industri yang siap dan tidak (menghadapi kondisi saat ini)," ujar Ade di Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jakarta, Rabu (6/5/2015).
Dia menjelaskan, bagi industri tekstil yang siap, ketersediaan modal masih membuat perusahaan mampu bertahan. Namun, bagi perusahaan yang tak siap, pilihannya adalah menutup usahanya.
Hal lain yang juga memperberat industri tekstil adalah depresiasi rupiah. Selama ini bahan baku industri tekstil sangat tergantung kepada impor. Dengan melemahnya rupiah, maka biaya produksi menjadi melambung.
Selain itu, industri tekstil saat ini ikut terbebani oleh kenaikan tarif dasar listrik. "Tarif listrik sangat mempengaruhi karena posisi listrik menduduki peringkat kedua setelah bahan baku, karena cost-nya ini antara 18 sampai 26 persen," kata Ade.
Di sisi lain, ia juga mengeluhkan penetapan upah minimum provinsi yang terjadi setahun sekali. Berdasarkan data API, industri tekstil Indonesia masih tergolong kecil kontribusinya bagi perdagangan tekstil dunia.
Saat ini dari 711 miliar dollar AS perdagangan tekstil di dunia, Indonesia baru menyumbang 1,8 persen. Bandingkan dengan Tiongkok yang 38 persen dan Uni Eropa sebesar 38 persen.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.