Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/07/2015, 15:25 WIB

Tidak diberlakukannya masa transisi dan persepsi yang kurang tepat terhadap ketentuan Pasal 22 inilah yang memicu kontroversi terhadap PP No 46 Tahun 2015. Publik keberatan dengan PP itu karena dianggap minim sosialisasi dan tak memihak kepentingan buruh. Penolakan klaim peserta yang merasa sudah memenuhi syarat mengambil manfaat JHT berdasarkan ketentuan lama pada saat menjelang Lebaran ikut "memanaskan" kontroversi PP JHT.

Mengembalikan esensi program JHT

Jika kita cermati dengan saksama, PP JHT No 46 Tahun 2015 sesungguhnya sudah benar dan sudah sesuai dengan amanah UU No 40 Tahun 2004. UU No 40 Tahun 2004 juga tak ada yang keliru karena proses perumusannya sudah mempertimbangkan berbagai aspek yang relevan dengan substansi UU ini kala itu.

UU No 40 Tahun 2004 merupakan produk reformasi politik dan hasil joint session antara eksekutif dan legislatif saat itu dalam rangka menerjemahkan amanah UUD 1945 Pasal 34 Ayat 2, "...negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan".

Jika dikomparasi antara ketentuan lama (UU No 3 Tahun 1992 dan PP No 14 Tahun 1993) dan ketentuan baru (UU No 40 Tahun 2004 dan PP JHT 2004), akan terlihat beberapa perbedaan prinsipiil, yang boleh jadi hal itulah yang memicu timbulnya kontroversi soal JHT.

Pertama, spirit UU No 40 Tahun 2004 adalah mengembalikan esensi program JHT untuk kepentingan hari tua. Program JHT adalah tabungan wajib yang dibebankan negara kepada pemberi kerja dan pekerja, untuk kepentingan hari tua atau masa depan pekerja. Dana JHT berbeda dengan tabungan komersial atau personal yang ditempatkan di perbankan, yang setiap saat bisa diambil atau dicairkan jika kita membutuhkan. Dana JHT hanya bisa dimanfaatkan ketika pekerja berhenti bekerja dan tidak lagi memiliki kewajiban untuk mengiur secara permanen, baik karena pensiun, meninggal dunia, maupun karena cacat tetap total.

UU No 40 Tahun 2004 tidak mengatur ketentuan atau kondisi apabila pekerja atau peserta berhenti bekerja sebelum memasuki usia pensiun, baik karena mengundurkan diri maupun pemutusan hubungan kerja (PHK). Karena waktu itu diasumsikan bahwa mereka yang berhenti bekerja sebelum usia pensiun akan mendapatkan kompensasi sesuai UU No 13 Tahun 2003 (yang dikenal dengan UU Pesangon), yang mengatur soal pesangon, uang penghargaan masa kerja dan penggantian hak (Pasal 156).

Karena dianggap sudah terproteksi dengan UU Pesangon dan masih berusia produktif, dana JHT menjadi tidak relevan untuk dicairkan. Dengan usia yang masih produktif, pekerja diharapkan bisa kembali masuk ke dunia kerja dan itu artinya mereka juga bisa kembali mengiur dan aktif kembali menjadi peserta JHT.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com