Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/07/2015, 15:25 WIB

Sementara dalam UU No 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek dan PP No 14 Tahun 1993 (termasuk PP No 1 Tahun 2009), manfaat JHT selain dibayarkan kepada mereka yang berhenti bekerja secara permanen, seperti pensiun, meninggal dunia, dan cacat tetap total, juga mengatur tentang dibolehkannya manfaat JHT dibayarkan kepada peserta yang berhenti bekerja sebelum usia pensiun. Peserta yang berhenti sebelum usia pensiun, baik karena PHK maupun meninggalkan Indonesia secara permanen, jika sudah mencapai usia kepesertaan lima tahun dengan masa tunggu satu bulan (peserta nonaktif), manfaat JHT-nya dapat dibayarkan sekaligus (Pasal 25 dan 32).

Eksisnya ketentuan tersebut karena pada saat UU No 3 Tahun 1992 dan PP No 14 Tahun 1993 lahir, Indonesia belum memiliki UU Pesangon. Oleh sebab itu, JHT dianggap sebagai pengganti pesangon dan katup pengaman dari risiko finansial yang dihadapi oleh pekerja yang berhenti bekerja sebelum usia pensiun. Dana JHT inilah yang kemudian oleh para pekerja yang berhenti sebelum usia pensiun dijadikan modal usaha dan memenuhi konsumsi lainnya. Masalahnya, ketentuan ini masih terus eksis meski Indonesia sudah memiliki UU No 13 Tahun 2003 tentang Pesangon dan UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Ketika kebijakan yang berpijak kepada UU No 3 Tahun 1992 dan PP No 14 Tahun 1993 dihentikan dan proses klaim ditolak pada saat efektifnya UU No 40 Tahun 2004 dan PP No 46 Tahun 2004, seketika mengundang reaksi publik.

Elemen kedua, yang membedakan antara ketentuan lama dan baru adalah tentang early withdrawal. Ketentuan yang termaktub dalam Pasal 37 Ayat 3 ini dipersepsi secara berbeda oleh publik. Bagi sebagian besar publik, pasal ini dianggap pengganti atau sama dengan ketentuan sebelumnya, yang memperkenankan peserta nonaktif (PHK dan lain-lain) melakukan klaim manfaat JHT meskipun belum berusia pensiun, jika sudah mencapai masa kepesertaan lima tahun dengan masa tunggu satu bulan dan dibayarkan sekaligus.

Sementara ketentuan baru, masa kepesertaan menjadi lebih lama (10 tahun) dan dibayarkan hanya sebagian. Karena dalam UU No 40 Tahun 2004 tidak diketemukan pasal yang mengatur pembayaran manfaat JHT bagi mereka yang berhenti bekerja sebelum usia pensiun, maka Pasal 37 ayat ini dipahami sebagai jalan keluar yang tidak memihak kepentingan buruh yang di PHK.

Kebijakan early withdrawal yang tertera dalam UU No 40 Tahun 2004 Pasal 37 Ayat 3 sebenarnya bukan untuk mereka yang berhenti bekerja karena PHK atau sebab-sebab lain, melainkan didedikasikan kepada mereka yang masih aktif bekerja dan masih aktif mengiur, dengan syarat minimal masa kepesertaan 10 tahun. Kebijakan ini diintroduksi oleh para perumus UU No 4 Tahun 2004 agar peserta aktif bisa lebih awal memanfaatkan sebagian dana JHT-nya untuk kepentingan persiapan pensiun atau untuk kepemilikan rumah, dan sisanya baru diambil untuk kepentingan hari tua pada saat pensiun. Kebijakan ini sama dengan yang dipraktikkan oleh beberapa negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia.

Pada ketentuan lama hal ini tak diatur. Selama mereka masih bekerja dan aktif mengiur, manfaat JHT-nya baru dapat diambil setelah memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau cacat tetap total.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com