Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Kemiskinan Tenggelam dalam Kebisingan Elite

Kompas.com - 29/09/2015, 04:54 WIB
Yoga Sukmana

Penulis

KOMPAS.com - Sekitar sebulan menjelang pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) genap setahun, kado pahit itu datang lagi. Jumlah penduduk miskin Indonesia bertambah.  Kemiskinan kerap diungkit di panggung kampanye, namun setelah itu lantas dilupakan dan seakan diacuhkan usai hingar bingar pemilu berlalu.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2015 mencapai 28,59 juta orang (11,22 persen dari total penduduk), meningkat 860.000 orang dibandingkan September 2014 yang sebesar 27,73 juta orang.

Data indikator kemiskinan BPS itu molor berbulan-bulan dari bisanya yang dirilis disetiap pertengahan tahun. Pidato kenegaraan atau pidato nota keuangan oleh Presiden Jokowi pada 14 Agustus 2015 lalu pun "sepi"  menyinggung indikator kemiskinan ini. Padahal biasanya, data ini disampaikan dalam pidato kenegaraan atau nota keuangan menjelang 17 Agustus di Gedung MPR DPR RI.

Molornya data ini menjadi keanehan dan sedikit menimbulkan kecurigaan di mata beberapa kalangan, ada yang ditutup tutupi. Begitu kesan yang muncul. Namun BPS beralasan, molornya data indikator kemiskinan utamanya adalah karena  jumlah responden yang disurvei Maret 2015 lebih banyak empat kali lipat dibandingkan periode sebelumnya.

“Karena memperbanyak sampel, menjadi empat kali lipat dari yang biasanya. Yang biasanya kita sampelnya 75.000 rumah tangga, sekarang 300.000 rumah tangga. Jadi, yang tadinya kita bisa mengerjakan satu bulan, sekarang empat bulan,” kata Kepada BPS Suryamin akhir Agustus lalu.

Di luar itu, data BPS begitu menohok. Indeks keparahan kemiskinan pada Maret 2015  meningkat dibandingkan Maret 2014, Maret 2013, bahkan Maret 2012 silam. Indeks keparahan kemiskinan pada Maret 2015 adalah mencapai  0,535, sementara Maret 2014 yaitu 0,435, Maret 2013 sebesar 0,432, dan Maret 2012 sebesar 0,473.

Tak cukup di situ, kado pahit itu kian lengkap karena indeks kedalaman kemiskinan yang mengukur jarak pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan juga semakin parah. Pada Maret 2015, indeks kedalaman kemiskinan di level 1,971, meningkat dibandingkan Maret 2014 yaitu 1,753, Maret 2013 di level 1,745, dan Maret 2013 sebesar 1,880.

Menurut BPS, tingkat inflasi September 2014-Maret 2015 sebesar 4,03 persen menjadi faktor utama penyebab kemiskinan. Kedua, kenaikan harga pangan yaitu  beras yang melonjak 14,48 persen, cabai rawit 26,28 persen, dan gula pasir naik 1,92 persen.

Ketiga, upah buruh tani per hari pada Maret 2015 turun 1,34 persen dibandingkan September 2014, yaitu dari Rp 39.045 menjadi Rp 38.522. Dan faktor keempat yaitu tingkat inflasi perdesaan yang mencapai 4,40 persen.

Tenggelam di Kebisingan Elite
Di usia yang akan genap setahun pada 20 Oktober 2015 nanti, pemerintahan Jokowi-JK begitu banyak "bumbu". Pertumbuhan ekonomi yang melemah disertai tak terkendalikan harga barang kebutuhan pokok, hingar bingar politik, dan masih carut marutnya penegakan hukum membuat ketiga bidang itu disorot tajam rakyat dari berbagai penjuru negeri --  aksi turun ke jalan atau aksi kritik pedas lewat media sosial.

Tak puas dengan kinerja itu, Presiden Jokowi "mengocok" ulang para kabinetnya. Nama-nama seperti Rahmat Gobel, Andrinof Chaniago, Indroyono Soesilo, dan Tedjo Eddi angkat kaki dari jajaran kabinet. Nama-nama kondang misalnya Darmin Nasution dan  Rizal Ramli masuk menepati pos Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kemaritiman. Harapan perbaikan itu mulai muncul.

Lantas apa yang terjadi? harapan yang mulai mekar itu justru kuncup lagi. Menteri baru Rizal Ramli justru langsung mengkritik keras pemerintahan dimana ia berada di dalamnya. Rencana bisnis BUMN seperti Garuda, Mandiri, BNI, PLN, Pelindo II kena jurus "kepretan rajawali".

Ya mantan Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu memang menasbihkan diri sebagai rajawali yang gemar "ngepret" sana sini -- semua hal yang dinilainya tak tepat.

Tak ayal, aksi itu membuat panas kuping Menteri BUMN Rini Soemarno. Wanita yang juga mantan ketua tim transisi Jokowi itu pula langsung menegaskan tak ada seorang pun, termasuk menteri, yang boleh mengganggu ranah kerjanya yaitu urusan bisnis BUMN.

Tak cuma Rini, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Sudirman Said pun kena kepretan Rizal Ramli. Program 35.000 megawatt pembangkit listrik dinilai Rizal tak realistis. Target 5 tahun itu pun diminta direvisi. Wapres JK bereaksi keras, kemudian disambut ajakan debat terbuka oleh Rizal Ramli terkait program itu.

Kebisingan di bidang ekonomi dibuat makin bising. Keputusan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri menggeledah Kantor Pelindo II berbuntut panjang. Direktur Utama Pelindo II RJ Lino tak terima kantornya digeledah atas dugaan korupsi pengadaan mobile crane. Di sini semua menjadi makin bising.

Saat penggeledahan berlangsung, RJ Lino mengadu kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Sofyan Djalil. Lewat sambungan telepon, Lino mengancam akan mengundurkan diri karena perlakukan Bareskrim yang dinilainya tak pantas.

Di tempat terpisah, Menteri BUMN Rini Soemarno menelepon Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti dan meminta penanganan kasus hukum tak gaduh seperti yang terjadi di Pelindo II. Wakil Presiden Jusuf Kalla kembali bereaksi, kali ini dia mengatakan penegak hukum seharusnya tak memperkarakan suatu kebijakan.

Tak berselang lama, Kapolri mencopot Kepala Bareskrim Komjen Budi Waseso dan memutasinya ke Badan Narkotika Nasional (BNN). Beberapa waktu lalu, Komisi III dan Komisi VI membentuk panitia kerja yang mengusut tuntas kasus Pelindo II. Kebisingan itu belum akan segera usai, nampaknya.
 
Kebisingan itu berlangsung di tengah kondisi perekonomian Indonesia yang melambat. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS anjlok,  indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia terus melorot, pemutusan hubungan kerja (PHK) pun mengintai. Angka kemiskinan berpotensi terus meningkat.

Pengamat Ekonomi sekaligus Direktur Eksekutif Institute National Development and Financial (Indef), Enny Sri Hartati mengatakan, para elite sudah seharusnya melihat dan menyadari bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini ada di tahap kritis. Dia pun menuntut pemerintah untuk padu dan tak lagi menonjolkan kebisingan.

"Jangan sampai orang dalam kondisi kritis ini diganggu dengan berbagai macam kebisingan yang tidak perlu, berantem sendiri tidak perlu, itu memicu kondisi yang semakin tidak stabil. Sekarang di antara elite, eksekutif terutama ini harus ada keterpaduan dan setiap kebijakan apapun yang dikeluarkan," ujar dia akhir pekan lalu.

"Setiap komentar atau statement apapun dari menteri itu yang akan dijadikan acuan dan panduan dunia usaha. Jadi begitu statemennya itu berbeda-beda pasti ini akan membingungkan, kebingungan itu juga akan menimbulkan berbagai macam interpretasi yang berbeda-beda," kata Enny.

Para elite sudah seharusnya menghentikan segala hal yang bisa menciptakan ketidakpastian. Segera memikirkan cara ampuh mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.  Segera ciptakan lapangan kerja, stabilisasi harga kebutuhan pokok, lakukan kebijakan yang mendorong daya beli masyarakat, serta fokus bekerja tanpa harus menonjolkan kebisingan.
 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Cara Bayar Tagihan FIF di ATM BCA, BRI, BNI, Mandiri, dan BTN

Cara Bayar Tagihan FIF di ATM BCA, BRI, BNI, Mandiri, dan BTN

Spend Smart
Bank Mandiri Tegaskan Tetap Jadi Pemegang Saham Terbesar BSI

Bank Mandiri Tegaskan Tetap Jadi Pemegang Saham Terbesar BSI

Whats New
Cek Jadwal Pembagian Dividen Astra Otoparts

Cek Jadwal Pembagian Dividen Astra Otoparts

Whats New
Syarat Ganti Kartu ATM Mandiri di CS Machine dan Caranya

Syarat Ganti Kartu ATM Mandiri di CS Machine dan Caranya

Whats New
Status Internasional Bandara Supadio Dihapus, Pengamat: Hanya Jadi 'Feeder' bagi Malaysia dan Singapura

Status Internasional Bandara Supadio Dihapus, Pengamat: Hanya Jadi "Feeder" bagi Malaysia dan Singapura

Whats New
Naik 36 Persen, Laba Bersih Adaro Minerals Capai Rp 1,88 Triliun Sepanjang Kuartal I-2024

Naik 36 Persen, Laba Bersih Adaro Minerals Capai Rp 1,88 Triliun Sepanjang Kuartal I-2024

Whats New
Jokowi Tambah Alokasi Pupuk Subsidi Jadi 9,55 Juta Ton di 2024

Jokowi Tambah Alokasi Pupuk Subsidi Jadi 9,55 Juta Ton di 2024

Whats New
Dampak Erupsi Gunung Ruang, 5 Bandara Masih Ditutup Sementara

Dampak Erupsi Gunung Ruang, 5 Bandara Masih Ditutup Sementara

Whats New
Kadin Gandeng Inggris, Dukung Bisnis Hutan Regeneratif

Kadin Gandeng Inggris, Dukung Bisnis Hutan Regeneratif

Whats New
Harita Nickel Catat Kenaikan Pendapatan 26 Persen pada  Kuartal I 2024

Harita Nickel Catat Kenaikan Pendapatan 26 Persen pada Kuartal I 2024

Whats New
Bappenas Buka Lowongan Kerja hingga 5 Mei 2024, Simak Persyaratannya

Bappenas Buka Lowongan Kerja hingga 5 Mei 2024, Simak Persyaratannya

Work Smart
Wujudkan Visi Indonesia Emas 2045, Kemenko Perekonomian Berupaya Percepat Keanggotaan RI dalam OECD

Wujudkan Visi Indonesia Emas 2045, Kemenko Perekonomian Berupaya Percepat Keanggotaan RI dalam OECD

Whats New
Indonesia dan Arab Saudi Sepakat Menambah Rute Penerbangan Baru

Indonesia dan Arab Saudi Sepakat Menambah Rute Penerbangan Baru

Whats New
BJBR Bukukan Laba Rp 453 Miliar pada Kuartal I 2024

BJBR Bukukan Laba Rp 453 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
Microsoft Investasi Rp 27,6 Triliun di RI, Luhut: Tidak Akan Menyesal

Microsoft Investasi Rp 27,6 Triliun di RI, Luhut: Tidak Akan Menyesal

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com