Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

BI Rate dan Keanehannya

Kompas.com - 18/03/2016, 14:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Setelah menggelar rapat selama dua hari pada 16 – 17 Maret 2016, Rapat Dewan Gubernur yang dipimpin Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo akhirnya memutuskan posisi BI rate di level 6,75 persen, turun 25 basis poin dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 7 persen per tahun.

Penurunan tersebut merupakan yang ketiga kali berturut-turut. Artinya dalam 3 kali rapat bulanan sejak Januari 2016, BI selalu menurunkan BI Rate sebesar 25 basis poin.

Dengan demikian, hingga Maret 2016, BI rate telah turun 75 basis poin dibandingkan posisi akhir tahun 2015 sebesar 7,5 persen.

Dilihat dari data historisnya, penurunan BI Rate sebesar 75 bp dalam rentang 3 bulan merupakan yang terbesar sejak November 2011.

Saat itu, hanya dalam rentang dua bulan, yakni pada periode Oktober – November 2011, BI rate turun 75 basis poin dari 6,75 persen menjadi 6 persen.

Penurunan berturut-turut BI rate terbesar sepanjang sejarah terjadi pada periode Juli 2006 – Maret 2007 dengan besaran mencapai 350 bp.

Penurunan besar juga pernah terjadi pada periode Desember 2008 – Agustus 2009, saat BI Rate turun 300 bp, dari 9,5 persen menjadi 6,5 persen.

Kendati saat ini BI rate telah turun selama 3 bulan berturut-turut menjadi 6,75 persen, posisinya masih jauh dari level BI rate terendah yang pernah dicapai, yakni  5,75 persen selama periode Februari 2012 – Mei 2013.

Tentu saja, jika ada penurunan, maka ada kenaikan.

Sepanjang sejarahnya, BI rate beberapa kali pernah naik berturut-turut dengan angka yang cukup besar.

Selama periode Juni – September 2013 misalnya, BI Rate naik 150 bp dari 5,75 menjadi 7,25 persen.

Mengapa BI Rate bergerak naik dan turun?

BI rate pada dasarnya merupakan instrumen moneter dalam bentuk suku bunga acuan untuk mengendalikan inflasi agar selalu berada dalam koridor target yang ditentukan.

Misalnya, tahun 2016 ini, BI dan pemerintah menargetkan inflasi sebesar 4 persen plus minus satu persen.

Maka, tugas BI sebagai otoritas moneter adalah menjaga agar sepanjang tahun 2016, inflasi bergerak dalam koridor tersebut di kisaran 4 persen.

Bagaimana BI rate bisa mengendalikan inflasi?

Secara sederhana, jika inflasi berada di bawah koridor target, maka BI akan menurunkan BI Rate. Jika inflasi berada di atas koridor target, maka bank sentral akan menaikkan BI Rate.

Inflasi merupakan fenomena kenaikan harga barang akibat tidak seimbangnya permintaan dan penawaran.

Jika permintaan tinggi, namun pasokannya tidak mencukupi, maka harga akan naik sehingga terjadi inflasi. Sebaliknya, jika pasokan lebih besar dari permintaan, maka harga akan turun sehingga terjadi deflasi. Begitulah hukum permintaan dan penawaran.

Inflasi sendiri merupakan cerminan dari aktifitas perekonomian. Saat aktifitas perekonomian meningkat, yang ditandai dengan tingginya permintaan barang oleh masyarakat, maka akan terjadi inflasi.

Di negara berkembang seperti Indonesia, yang jumlah penduduknya selalu bertambah setiap tahun, permintaan biasanya selalu lebih tinggi dari penawaran. Karena itu, wajar saja, Indonesia selalu mengalami inflasi.

Berbeda dengan Jepang yang pertumbuhan penduduknya hampir nol persen serta mayoritasnya  penduduknya berusia tua. Di negara matahari terbit itu, permintaan bisa lebih rendah dari penawaran. Tak heran, Jepang selalu dilanda deflasi.

Jika inflasi dibiarkan terus naik akibat permintaan yang tinggi, maka justru akan merugikan perekonomian.

Kenaikan harga barang yang tidak terkendali akan membuat pertumbuhan ekonomi macet karena akhirnya semua orang tidak bisa membeli barang. Perekonomian akan mengalami hard-landing atau turun secara drastis.

Inflasi yang tidak terkendali juga akan membuat banyak orang jatuh miskin karena nilai kekayaannya tergerus. Orang miskin pun akan semakin menderita.

Karena itulah, inflasi harus dikendalikan agar pertumbuhan tetap melaju dengan stabil dan berkelanjutan.

Jadi intinya, bagi bank sentral, lebih penting menjaga stabilitas. Sebab, stabilitas merupakan fondasi yang kuat bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.

Kembali ke BI rate.  Mengapa BI Rate turun selama tiga bulan berturut-turut?

Alasan sederhananya, tentu saja karena inflasi Indonesia belakangan ini bergerak di bawah koridor target yakni 4 persen.

Jadi, BI mau tak mau harus menaikkan inflasi agar kembali mengarah ke 4 persen.

Dengan menurunkan BI Rate, maka BI memberi sinyal ke pasar bahwa kenaikan harga barang akan lebih rendah dari sebelumnya.

Dengan demikian, masyarakat akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Akibatnya, permintaan pun naik sehingga inflasi membesar.

Jika, inflasi dirasa sudah mengarah ke koridor yang diinginkan, BI pun akan diam, dalam arti tidak menurunkan atau menaikkan BI rate.

Dalam melihat inflasi, BI sebenarnya lebih berpatokan pada inflasi inti, bukan inflasi umum yang biasa dikenal masyarakat.

Alasannya, inflasi inti mencerminkan kondisi permintaan dan penawaran yang lebih ajeg dan stabil. Inflasi inti juga lebih mudah dikendalikan dengan cara memengaruhi ekspektasi masyarakat..

Inflasi inti tidak termasuk harga-harga makanan pokok yang cenderung fluktuatif (volatile food) dan harga komoditas yang dikendalikan pemerintah seperti bahan bakar minyak (administered price).

Inflasi umum yang mencakup volatile food dan administered price jelas sulit dikendalikan karena faktornya berada di luar kendali BI. Inflasi umum pun kadang sifatnya sementara sehingga tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya. Misalnya saat menjelang Lebaran, harga-harga pangan melambung tinggi. Namun setelah Lebaran, harganya akan kembali turun seperti semula.

Tren penurunan inflasi inti Indonesia telah terlihat sejak September 2015. Ini terjadi seiring melemahnya perekonomian global yang kemudian memengaruhi Indonesia.

Sejak itu, inflasi inti terus turun hingga ke level 3,89 persen dalam setahun (year on year/yoy) selama Desember 2015.

Karena itulah, pada 14 Januari 2016, BI menurunkan BI rate 25 bp menjadi 7,25 persen. Tujuannya, untuk menaikkan kembali inflasi ke level 4 persen, yang menjadi target tahun 2016.

Namun, selama Januari 2016, inflasi inti ternyata masih menurun ke posisi 3,57 persen, yang berarti semakin jauh dari target 4 persen.

BI lalu menambah dosis, dengan kembali menurunkan BI Rate sebesar 25 bp menjadi 7 persen pada 18 Februari 2016.

Lagi-lagi dosisnya masih kurang karena inflasi selama Februari 2016 ternyata tetap turun, ke posisi 3,54 persen.

BI pun menambah dosis lagi pada RDG kemarin, dengan menurunkan BI rate 25 bp lagi ke posisi 6,75 persen.

BI tentu berharap, dengan penurunan BI rate kali ini, penurunan inflasi akan terhenti dan kemudian akan merangkak naik mendekati target 4 persen.

Jika ternyata dalam beberapa bulan ke depan, inflasi masih terlalu rendah, bisa jadi BI akan kembali menurunkan BI Rate.

Mengapa inflasi pada 2016 dipatok di kisaran 4 persen? Karena berdasarkan perhitungan dan karakteristik perekonomian Indonesia, angka itulah yang muncul dan sesuai dengan target pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2016 sebesar 5,2 – 5,6 persen.

Secara karakteristik perekonomian, inflasi inti Indonesia memang berkisar 4-6 persen. Selama periode Januari 2010 – Februari 2016, rata-rata inflasi inti yoy Indonesia adalah 4,4 persen.

Dalam menetapkan BI Rate, inflasi menjadi pertimbangan utama bank sentral.

Ada juga faktor lain yang dipertimbangkan seperti nilai tukar rupiah dan perbedaan suku bunga acuan dengan negara lain, utamanya Amerika Serikat sebagai negara yang paling berpengaruh dalam pasar keuangan global.

Sumber : BI (M Fajar Marta)

Dengan nilai tukar rupiah yang dalam tren menguat terhadap dollar AS, likuiditas yang longgar, dan gerak perekonomian yang mulai membaik seiring gencarnya pembangunan infrastruktur, saat ini sebenarnya momentum yang tepat bagi bank sentral untuk terus menurunkan BI Rate. Sekaligus menemukan keseimbangan baru dalam hubungan BI rate dan inflasi.

Sebab, BI rate saat ini masih terlampau tinggi. Rentang BI rate dan inflasi inti saat ini mencapai 321 basis poin.

Padahal, pada tahun 2012, rentang BI rate dan inflasi inti pernah mencapai 126 bp.

Sumber : BI, BPS (M Fajar Marta)

Rentang yang rendah tentu lebih bagus karena akan memperbaiki struktur suku bunga di Indonesia. Suku bunga di Indonesia tidak akan setinggi sekarang. Suku bunga kredit juga akan turun ke level single digit, seperti diharapkan banyak orang.

Kita tunggu saja, apakah Agus Martowardojo dan para koleganya di Dewan Gubernur BI akan memanfaatkan momentum ini atau melewatkannya begitu saja.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com