Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Panama Papers", Darurat Mafia Pajak, dan Cara Mengatasinya

Kompas.com - 08/04/2016, 06:00 WIB
Aprillia Ika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com -  "Panama Papers" mengungkap praktik gelap ribuan perusahaan siluman dan perilaku ribuan orang super kaya di seluruh dunia dalam pengelolaan keuangannya.

Panama adalah salah satu negara surga pajak sehingga kuat dugaan bahwa mereka sedari awal punya rencana melakukan penghindaran atau pengelakan pajak (tax avoidance/tax evasion).

Panama hanya satu dari puluhan negara tax havens yang menyediakan fasilitas bagi korporasi, orang super kaya, dan pelaku kejahatan lainnya agar dapat menghindari dan mengelak bayar pajak.

Banyak pengusaha dan elit politik dunia yang masuk daftar dalam Panama Papers.

Hal ini mengkonfirmasi bahwa praktik-praktik kotor penghindaran dan pengelakan pajak telah menjadi ancaman serius bagi negara-negara dalam mobilisasi penerimaan pajak untuk pembiayaan pembangunan.

"Panama Papers menunjukkan bahwa dunia sudah berada di era darurat kejahatan pajak," kata Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa.

Panama Papers juga menunjukkan buruknya sistem keuangan dan ekonomi global. Oleh sebab itu, sistem ekonomi harus segera ditata ulang.

Global Financial Integrity atau GFI pada 2015 melaporkan bahwa setiap tahun negara berkembang kehilangan satu triliun dolar Amerika Serikat (AS) akibat korupsi, penggelapan pajak, dan pencucian uang.

Bagaimana di Indonesia?

GFI memprediksi bahwa potensi pajak yang menguap dari Indonesia karena praktik pelarian uang haram jumlahnya hampir Rp 200 Triliun tiap tahun.

Menurut Transparency International Indonesia (TII), tingginya aliran uang haram dari Indonesia diakibatkan rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak (kelompok kaya, superkaya, dan korporasi).

"Juga karena tingginya prevalensi korupsi pajak, praktik penggelapan dan penghindaran pajak dengan metode perekayasaan keuangan keuangan yang rumit, dan rendahnya kinerja otoritas pajak Indonesia,” tambah Dadang Trisasongko, Sekretaris Jendral TII.

Data Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia berada pada posisi ke-7 negara dari negara-negara yang memiliki aliran uang haram tertinggi.

Dalam rentang tahun 2003-2012 Indonesia tercatat mengalirkan dana sebesar Rp 1.699 triliun atau rata-rata pertahun mencapai Rp 167 triliun.

Dengan metode penghitungan yang sama, PWYP Indonesia mencatat dugaan total aliran uang haram di Indonesia di tahun 2014 sebesar Rp 227,75 triliun atau setara dengan 11,7 persen dari total APBN-P tahun 2014.

Khusus di sektor pertambangan, nilai aliran uang haram diperkirakan mencapai Rp 23,89 triliun, di mana Rp 21,33 triliun berasal dari transaksi perdagangan ilegal dan Rp 2,56 triliun berasal dari alirang uang panas.

"Di tengah rendahnya tax ratio sektor pertambangan yang hanya mencapai 9,4 persen mengindikasikan masih maraknya praktik penghindaran dan pengemplangan pajak di sektor pertambangan," ungkap Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia.

Apa yang Harus Dilakukan?

Perkumpulan Prakarsa menilai pemerintah harus segera membasmi mafia perpajakan dengan membuat program darurat mafia perpajakan.

Menurut lembaga ini, Panama Papers harus menjadi momentum bagi Pemerintah Indonesia untuk segera membasmi praktik penghindaran pajak, pengelakan pajak, dan pencucian uang oleh wajib pajak Indonesia, baik perorangan maupun badan hukum.

"Presiden perlu segera membentuk Gugus Kerja Anti Mafia Kejahatan Pajak yang berisi gabungan antara lembaga pemerintah dan non-pemerintah yang kredibel,” usul Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa.

Gugus Tugas bekerja untuk mengusut daftar nama yang masuk Panama Papers dan negara surga pajak lain.

Sementara International NGO for Indonesia Development (INFID) menilai Indonesia perlu memelopori perubahan tata kelola keuangan global.

Yakni, terkait sistem perpajakan, penghentian rezim kerahasiaan data perpajakan dan perbankan, pertukaran informasi antarnegara dan penguatan hukum, administrasi dan kelembagaan perpajakan.

Menurut INFID, Presiden Jokowi dapat menggunakan forum G-20 sebagai ruang untuk mendesakkan agenda-agenda tersebut.

"Selain itu, Jokowi dapat mengusulkan pembentukan Badan Perpajakan Dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa,” tegas Khoirun Nikmah, Program Manager INFID.

Menyikapi permasalahan darurat kejahatan pajak ini, Forum Pajak Berkeadilan juga meminta kepada pemerintah untuk juga membatalkan rencana pemberian pengampunan pajak (tax amnesty) kepada wajib pajak super kaya.

Menurut lembaga ini, kebijakan tax amnesty hanya akan kontra-produktif terhadap upaya optimalisasi penerimaan pajak.

Kebijakan ini juga akan menjadi langkah mundur penegakan hukum perpajakan-pencucian uang.

Di samping itu, pengampunan pajak akan menurunkan tingkat kepatuhan wajib pajak untuk membayar pajak, pengampunan pajak akan melemahkan ‘wibawa’ pemerintah di hadapan orang super kaya dan korporasi.

Pengampunan pajak juga akan melukai wajib pajak kecil-menengah (kaum salariat yang bergaji bulanan) yang selama ini patuh bayar pajak,” tutup Ah Maftuchan, yang juga menjabat sebagai Koordinator Forum Pajak Berkeadilan.

Saat ini anggota Forum Pajak Berkeadilan antara lain Perkumpulan Prakarsa, ASPPUK, ICW (Indonesia Corruption Watch), IGJ (Indonesia for Global Justice), dan IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice).

Selain itu juga ILR (Indonesian Legal Roundtable), PWYP Indonesia, YLKI (Yayasan Layanan Konsumen Indonesia), INFID (International NGO Forum on Indonesian Development), dan TII (Transparency International Indonesia).


Kompas TV Antisipasi Jokowi Berantas Penggelapan Pajak

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com