Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mifthakul Ahsan, Meninggalkan Puncak Mimpi Demi Pelukan Pertiwi

Kompas.com - 14/05/2016, 07:00 WIB
Muhammad Fajar Marta

Penulis

Waktu itu tiba sudah

9 Mei 2016, Miftakhul Ahsan melakoni penerbangan terakhirnya.

Sudah 10 tahun, lelaki kelahiran Tulungagung Jawa Timur itu menjadi captain pilot di Qatar Airways, salah satu maskapai penerbangan terbaik di dunia.

Selama di Qatar Airways, ia menjadi segelintir WNI yang dipercaya memegang pesawat Boeing Dreamliner 787, pesawat komersil paling modern dan canggih saat ini.

Dengan memiloti Dreamliner yang merupakan pesawat penerbangan jarak jauh, hampir sebagian besar belahan dunia pernah disinggahinya Miftakhul.

“Menjadi pilot adalah impian saya.  Sejak kecil, saya bercita-cita menjadi petualang dan menaklukkan dunia. Alhamdulillah, semua ini terwujud, saya bisa menjelahi mimpi-mimpi saya,” kata Miftah, begitu dia biasa disapa.

Namun, justru ketika berada di puncak mimpi dan karirnya itu, Mifta memutuskan meninggalkan dreamliner-nya.

“Ada panggilan jiwa yang lain yang tidak bisa saya diamkan. Saya ingin bisa berkarya untuk Ibu Pertiwi dan berguna bagi masyarakat,” kata ayah beranak dua ini.

Sebagai orang Jawa, Miftah meyakini falsafah "urip iku urup", bahwa hidup itu harus menyala dalam arti bisa memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar.

Jika terus terlena dalam penjelajahan mimpi bersama Dreamliner, Miftah khawatir tidak dapat berbuat apa-apa untuk negerinya sendiri.

“Saya berharap bisa mewariskan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, baik yang sifatnya bisnis maupun sosial,” kata Miftah.

 

Entrepreneur

Miftah menjelaskan, begitu memilih meniti karir pilot di Qatar Airways dan tinggal di Doha Qatar pada tahun 2006, saat itu pula dirinya mulai berpikir kapan akan balik ke Indonesia.

Setelah mempertimbangkan berbagai hal, Miftah pun bertekad akan kembali ke Indonesia di usai 40-an tahun.

Karena sudah dipersiapkan matang, dirinya pun tak ragu-ragu meninggalkan Qatar dan kembali ke Tanah Air tepat saat usianya 41 tahun saat ini.

Menjadi entrepreuner atau wiraswasta adalah ladang pengabdian baru yang dipilih Miftah.

Berdasarkan pengalamannya bertahun-tahun menjelajah dunia, mengenal budaya banyak negara, bergaul dengan orang dari beraneka bangsa, dia menyimpulkan, entrepreneur merupakan profesi yang cukup leluasa untuk memberdayakan dan menggerakkan masyarakat.

Selain itu, Miftah juga mengaku memiliki sedikit bakat entrepreneur.

“Untuk menopang ekonomi keluarga saya yang kurang mampu, sedari kecil saya sudah dituntut untuk bertani dan berdagang,” cerita Miftah mengenang masa kanak-kanaknya di Tulungagung.

Pagi-pagi sekali, ia  harus bangun untuk  memanen sayuran di kebun dan pekarangan seperti bayam, kangkung, terong, cabai, kacang panjang.

Berbagai jenis sayuran itu diikat kecil-kecil dan kemudian dijajakan ke tetangga-tetangga di sekeliling.

Sisanya lalu dititipkan di toko kelontong yang ada di desanya. 

“Itu rutin kami lakukan sebelum ke sekolah,” katanya.

Di sekolah pun kadang-kadang Miftah masih berjualan mainan dan beraneka makanan kecil.

Kini, Miftah tengah merancang untuk membangun usaha pertanian dan peternakan terpadu.

Usahanya tersebut akan melibatkan masyarakat sekitar.

Ia ingin memberdayakan masyarakat agar menjadi petani dan peternak yang sejahtera.

Produk-produk yang dihasilkan juga diupayakan bernilai tambah dan dikemas dengan standar tinggi agar pendapatan masyarakat meningkat.

Miftah mengungkapkan telah memiliki lahan di kawasan Kademangan Blitar Jawa Timur untuk dijadikan inti usaha pertanian dan peternakan terpadu.

“Saya pelan-pelan mulai mempersiapkannya saat masih menjadi pilot di Qatar. Saya pun mengumpulkan gaji dan pendapatan saya di Qatar untuk dijadikan modal,” katanya.

Dok Pribadi Miftakhul Ahsan (kiri atas) bersama koleganya sesama WNI yang menjadi captain pilot di Qatar Airways

Diaspora

Lulus sebagai angkatan pertama SMA Taruna Nusantara tahun 1993, Miftah awalnya dihadapkan pada banyak pilihan untuk melanjutkan studi.

“Karena orang tua dari keluarga kurang mampu, maka saya memutuskan untuk mencari program beasiswa,” katanya.

Saat itu, ada beberapa studi ikatan dinas yang tidak memerlukan biaya namun harus melalui seleksi ketat, antara lain AKABRI,  Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN),  dan Garuda Indonesia untuk program sekolah dan kuliah pilot.

“Saya ikuti tes ketiga-tiganya dan alhamdulillah semuanya lulus. Akhirnya saya memilih Garuda karena di samping ingin jadi pilot, Garuda juga menawarkan program pendidikan di luar negeri yakni di Massey University, School of Aviation di New Zealand,” katanya.

Setelah lulus dari Massey University tahun 1996, Miftah langsung bergabung dengan Garuda Indonesia sebagai First Officer di pesawat Boeing 737 classic, seri 300, 400 dan 500 dengan rute penerbangan domestik dan regional.

Setelah 10 tahun menunaikan ikatan dinas di Garuda Indonesia, Miftah pun memutuskan pindah ke Qatar Airways untuk mengejar karir menjadi Captain pilot yang menerbangkan pesawat berbadan lebar dan modern sekaligus mencari pengalaman internasional.

“Perjalanan hidup sebagai pilot telah membuka cakrawala pandang saya selebar-lebarnya dan seluas-luasnya. Bertemu, berinteraksi dengan begitu banyak suku, bangsa, budaya. Ini sangat memperkaya ilmu pengetahuan, pengalaman serta kedewasaan saya, baik dari segi intelektual, emosional, maupun spiritual,” tutur Miftah.

Miftah mencontohkan, di Garuda Indonesia, dirinya  terbang bersama crew yang berasal dari segenap pelosok negeri.

Juga mengunjungi hampir seluruh propinsi di Indonesia.

“Di SMA Taruna Nusantara, saya memang sudah berteman dan hidup bersama di asrama dengan rekan-rekan dari seluruh provinsi. Namun, dengan melihat langsung daerah mereka, itu makin memperkaya sudut pandang saya,” ujarnya.

Saat di Qatar Airways, Miftah bahkan terbang bersama crew dan staf yang berasal dari lebih 100 kebangsaan dan singgah  di berbagai kota di seluruh benua.

Selama menjadi diaspora, Miftah berupaya tetap memberikan sumbangsihnya untuk Tanah Air.

Beberapa kali di Indonesia, ia berbagi pengalamannya kepada generasi muda untuk menggeluti profesi pilot.

Di luar negeri, ia juga gencar mempromosikan produk, budaya dan potensi pariwisata Indonesia kepada orang-orang asing.

Namun, kini diaspora itu kembali ke pelukan Pertiwi.

Banyak alasan mengapa diaspora-diaspora Indonesia akhirnya kembali ke Tanah Air.

Bagi Miftah, alasannya adalah "life with no regrets".

“Tidak ingin saya saat menjelang ajal menyesali kehidupan yang saya punyai selama ini. Saat ajal menjelang, saya ingin tersenyum puas dan bahagia, bahwa saya telah mampu mengisi dan memanfaatkan hidup yang diberikan Tuhan dengan sebaik-baiknya, dengan hal-hal yang penuh warna dan rasa,” tuturnya.

 

Dok Pribadi Captain Pilot Miftakhul Ahsan (berdiri) sedang berbagi pengalaman dan pengetahuan mengenai profesi pilot di depan siswa SMA Taruna Nusantara Magelang

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com