Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 30/07/2016, 07:47 WIB
Sri Noviyanti

Penulis

KOMPAS.com – Suaranya halus. Kadang-kadang nyaris tak terdengar, bahkan.

Siapa nyana, sosok yang sekarang akan ditemui di tengah jejalin benang sutra ini dulunya adalah artis panggung di kawasan Kalijodo, Jakarta Utara.

"Nama panggung saya dulu Hendar Rogesta," kenang lelaki itu, saaat Kompas.com berkesempatan bertatap muka dengannya pada medio Mei 2016.

Dialah Hendar Suhendar (37 tahun).

Jauh dari ingar-bingar panggung, Hendar yang sekarang adalah sosok di balik bangkitnya sentra industri tenun ikat Garut di Kampung Panawuan, Desa Sukajaya, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut.

Tenun ikat Garut yang sempat pudar pamornya, kini telah menggeliat lagi, setelah Hendar memutuskan pulang kampung pada 2009.

“Tak hanya hidup, tenun Garut juga sudah menemukan identitasnya sendiri,” ungkap Hendar.

Menjadi harapan

Srakk...brukk..ckk... Suara yang terus berulang tersebut menyambut kedatangan rombongan Kompas.com ke "bengkel" Sutra Alam Family milik Hendar.

Bangunan bengkel ini bersebelahan dengan rumah Hendar. Sawah yang menghijau menjadi pemandangan di luar bengkel.

Empat karyawan Hendar sibuk menjalin benang demi benang yang akan menjadi selembar kain tenun ikat.

Di antara suara mesin-mesin tenun, Hendar berbagi kisah.
 
“Saya mulai usaha ini pada 2010. Saat itu baru ada dua kelompok perajin di kampung ini. Maklum, 80 persen pendduduk sini (Desa Sukajaya) dulunya adalah petani,” ujar dia.

KOMPAS.com/SRI NOVIYANTI Para lelaki mendominasi perajin tenun sutra di Kampung Tenun Panawuan, Desa Sukajaya, Kecamatan tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Gambar diambil Jumat (20/5/2016)

Memulai usaha pada usia 31 tahun bisa dibilang telat. Namun, lakon sebagai perajin bagi Hendar adalah sesuatu yang baru.

Pengalaman kerjanya selama ini tak ada sangkut-paut dengan tenun. Soal berbelanja bahan tenun saja tak pernah terbayang menjadi bagian hidupnya.

Hendar muda adalah seniman. Kecintaannya terhadap musik dangdut membawa ia bergabung dalam salah satu kelompok orkes musik pada 1998 di Tangerang, Banten.
 
“Saya merantau. Dari Tangerang lalu ke Kalijodo pada 2002," kenang dia.

Padahal, rata-rata anak muda di kampung Hendar pada waktu itu hampir pasti menjadi petani.

Hendar melakoni dunia seni ini hingga 2009. “Sampai bisnis tenun orangtua bangkrut. Saya disuruh balik,” kata dia.

Untungnya, Hendar punya kebiasaan menabung selama bermusik, meski dia hanya mendapatkan sekitar Rp 300.000 setiap kali tampil.

Bermodal tabungan, Hendar bertekad menghidupkan lagi bisnis orangtuanya. "Tidak rela (kalau usaha itu mati)," ujar dia.

Dari nol

Pulang kampung, tekad Hendar menghidupkan usaha keluarga dimulai dengan pendampingan dari orangtua dan saudara.

"Pengetahuan saya soal tenun masih nol besar,” ucapnya.

Saat itu, hasil produksi usahanya masih terbatas. “Masih bikin tenun putihan—tanpa warna—saja,” imbuh lelaki dua anak ini.

Tantangan yang Hendar rasakan adalah kurangnya minat pembeli. Sekalipun hanya dua kelompok tenun di Garut, dia merasakan benar sulitnya mengembangkan usaha.

Sampai, ungkap Hendar, pada 2011 ada peluang mendadak datang.

KOMPAS.com/SRI NOVIYANTI Beragam hasil kerajinan tenun sutra di Kampung Panawuan, Desa Sukajaya, Kecamatan tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Gambar diambil pada Kamis (19/5/2016)

"Perusahaan Gas Negara (PGN) dan Cita Tenun Indonesia (CTI) ingin menjadikan kawasan ini sebagai desa wisata tenun,” tambahnya.
 
Dia pun rajin ikut pelatihan dan diskusi yang digelar kedua institusi.

“Cita-cita yang ditanamkan saat itu adalah bagaimana caranya menghidupkan kembali citra tenun ikat Garut yang terlupakan,” ungkap Hendar.
 
Sejak itu, dibuat beberapa kelompok binaan. Pelan-pelan, inovasi tenun pun bermunculan.

Motif tenun sebagai identitas Garut lalu dibuat, yaitu motif bunga besar-besar dan berwarna.
 
PGN, kata Hendar juga menyediakan fasilitas bagi kelompok perajin tenun. Fasilitas itu mulai dari alat-alat membuat kain tenun, hingga bengkel kerja.

(Baca: Dari Tangan "Mantan" Petani, Kain Tenun Garut Berjaya Lagi...)
 
“Sekarang ada 12 kelompok (tenun),” ujar Hendar.
 
Cita-cita yang semula terasa jauh di awang-awang, perlahan mewujud dan berlanjut. Tenun ikat semakin diminati, bahkan di kalangan anak muda.

(Baca: Arti Pilihan "Orang Atas" Buat Pasar Kain...)
 
“Sejak itu, saya ingat, tenun bukan hanya dipakai orang (berusia) tua. Banyak yang pakai. Terlebih lagi kalau pejabat yang pakai, tenun kami jadi semakin laku,” tutur Hendar.
 
Lima tahun berlalu. Hendar boleh berbangga hati.
 
“Pendapatan per bulan puluhan juta (rupiah), omzet bisa sampai ratusan juta (rupiah),” ungkap lelaki ini.
 
Namun, dari semua pengalamannya, Hendar berpesan bahwa tak pernah ada sesuatu yang mudah didapatkan.

Tekad dan upaya yang tak mudah patah arang adalah modal awal yang harus dipegang teguh untuk setiap usaha.

KOMPAS.com/SRI NOVIYANTI Salah satu perajin tengah membuat kain tenun ikat sutra di Kampung Panawuan, Desa Sukajaya, Kecamatan tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat , Kamis (19/5/2016).

Saat ini, kebanyakan karyawan Hendar adalah anak muda yang baru saja tamat sekolah menengah atas (SMA). Bertani tak lagi menjadi satu-satunya pilihan kerja anak-anak muda di kampungnya selain buruh pabrik.

(Baca: Para Lelaki di Balik Halus Tenun Sutra Garut...)

Lembaran-lembaran kain dari jalinan benang sutra menjadi sumber baru untuk pendapatan mereka. Pekerja Hendar menerima upah Rp 400.000 sepekan atau Rp 1,6 juta per bulan.

Jangan melihatnya dari kaca mata Jakarta atau kota besar. Di Garut, upah minimum regional (UMR) pada 2016 masih di bawah Rp 1,5 juta.

Jadi, sekarang tak harus lagi anak-anak muda Garut memastikan asap dapurnya mengepul dengan merantau jauh-jauh ke Kalijodo seperti Hendar dulu....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Penerimaan Pajak Konsumsi Terkontraksi 16,1 Persen

Penerimaan Pajak Konsumsi Terkontraksi 16,1 Persen

Whats New
Catat, 7 Strategi Punya Rumah untuk Milenial dan Gen Z

Catat, 7 Strategi Punya Rumah untuk Milenial dan Gen Z

Earn Smart
Simak 8 Tips Menabung untuk Beli Rumah

Simak 8 Tips Menabung untuk Beli Rumah

Earn Smart
Melalui Transportasi Laut, Kemenhub Berupaya Wujudkan Konektivitas di Indonesia Timur

Melalui Transportasi Laut, Kemenhub Berupaya Wujudkan Konektivitas di Indonesia Timur

Whats New
Status 17 Bandara Internasional Dihapus, INACA Ungkap Sederet Manfaatnya untuk Penerbangan Nasional

Status 17 Bandara Internasional Dihapus, INACA Ungkap Sederet Manfaatnya untuk Penerbangan Nasional

Whats New
1 Lot Berapa Lembar Saham? Ini Perhitungan Mudahnya

1 Lot Berapa Lembar Saham? Ini Perhitungan Mudahnya

Spend Smart
Jumlah Bandara Internasional Dipangkas, InJourney Airports: Banyak yang Tidak Efisien

Jumlah Bandara Internasional Dipangkas, InJourney Airports: Banyak yang Tidak Efisien

Whats New
Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

Whats New
Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

Whats New
BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

Work Smart
Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Whats New
Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Whats New
Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Whats New
Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Whats New
Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com