Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/08/2016, 11:23 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis


KOMPAS.com
– Pernah melihat gambar di atas? Betul, gambar peta Indonesia dengan tebaran beragam bendera asing.

Dalam keterangan gambar yang beberapa waktu lalu viral di beragam media sosial tersebut tertera gambar bendera disebut mewakili lokasi anjungan dan atau kilang minyak dan gas (migas).

Pertanyaannya, apakah kilang dan atau anjungan tersebut dikuasai asing sesuai bendera-bendera itu? Apakah juga berarti asing menguasai migas Indonesia?

"(Untuk memeriksanya), pakai logika sederhana saja. Apa perusahaan minyak paling besar di Indonesia? Apa perusahaan pemilik sumur migas paling banyak?" ujar ekonom Faisal Basri, saat dijumpai, Jumat (19/8/2016).

Sambil mempersilakan dicek ulang, Faisal menyebutkan, jawaban untuk dua pertanyaannya di atas adalah perusahaan nasional, milik negara pula. Dengan jawaban itu, Faisal pun menegaskan keterangan yang viral bersama peta bergambar negara asing itu hanyalah "rumor".

Katakanlah ada jawaban lain untuk dua pertanyaan tersebut, lanjut Faisal, latar belakang negara dari penggarap lapangan migas tidak dapat serta-merta diartikan sebagai kepemilikan.

"Lihat kontraknya," ujar Faisal.

Skema penggarapan

Sektor hulu migas di Indonesia punya skema kontrak yang spesifik, baik untuk proses pencarian cadangan (eksplorasi) maupun saat pengambilan (eksploitasi).

Prinsip dasar untuk kontrak migas yang berlaku di Indonesia adalah bagi hasil. Bahasa teknisnya, production cost sharing (PSC).

Kontrak ini merupakan kerja sama antara Pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kontraktor KKS). Di sini, Pemerintah diwakili oleh Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Merujuk buku Ekonomi Migas, Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas karya Benny Lubiantara, jangka waktu kontrak adalah 30 tahun.

Catatannya, enam tahun pertama kontrak dialokasikan untuk eksplorasi. Bila sampai enam tahun Kontraktor KKS tidak menemukan sumber cadangan baru migas atau belum berproduksi, kontrak akan otomatis hangus. 

Dok SKK Migas Skema Kontrak Bagi Hasil (PSC) untuk investasi di sektor hulu migas Indonesia

Bila Kontraktor KKS menemukan sumber cadangan baru migas yang bernilai ekonomis dan kemudian berproduksi, semua biaya eksplorasi akan diganti oleh Pemerintah. Penggantian biaya eksplorasi ini dikenal sebagai cost recovery.

Ketika telah berproduksi, nilai jual hasil produksi dikurangi dulu dengan biaya-biaya yang diganti lewat skema cost recovery, baru kemudian dibagi hasil antara Pemerintah dan Kontraktor KKS. Persentasenya, 85 persen untuk Pemerintah dan selebihnya untuk kontraktor tersebut.

"Pemerintah memegang kepemilikan sumber daya migas sampai dengan titik serah (point of delivery)," ujar Kepala Bagian Program dan Pelaporan SKK Migas Taslim Z Yunus, dalam paparannya kepada para staf ahli Komisi VII DPR, Sabtu (4/6/2016).

Ibarat dapur bagi rumah besar bernama Indonesia, SKK Migas bertindak sebagai kepala koki yang memastikan pekerjaan di dapur berjalan lancar. Kontraktor KKS adalah para koki di dapur ini.

"Dalam praktik PSC, modal dan risiko merupakan tanggung jawab para Kontraktor KKS, termasuk pembelian peralatan yang diperlukan," kata Taslim.

Namun, lanjut dia, semua peralatan langsung menjadi milik negara begitu masuk teritori Indonesia.

Hitungan investasi

Kebutuhan investasi tak terlepas dari kondisi ketersediaan sumber daya alam Indonesia.

“Investasi migas sekarang makin ke arah offshore (lepas pantai), (bergeser pula) dari kawasan barat ke timur,” ungkap Faisal dalam perbincangan dengan Kompas.com.

Konsekuensi dari kedua perkembangan tersebut, ujar Faisal, investasi migas butuh dana lebih besar. “Butuh teknologi lebih tinggi dan ongkos lebih mahal,” ujar dia.

Itu pun, imbuh Faisal, bila eksplorasi tak mendapati sumber cadangan baru migas, semua ongkos yang telah dikeluarkan tidak mendapat penggantian dari Pemerintah Indonesia.

Di dunia usaha, tak terkecuali kontraktor, peningkatan ongkos bukanlah hal tabu. "Sepanjang feasible, selama tambahan pendapatan dari hasil produksi baru bernilai lebih besar daripada kenaikan ongkos," papar Faisal.

Menjadi runyam bagi usaha di sektor migas, lanjut Faisal, ketika cost recovery kerap dianggap sebagai tambahan biaya yang harus dibayar Pemerintah kepada kontraktor. Inilah pemikiran yang melatari munculnya tuntutan untuk terus menekan cost recovery di sektor hulu migas.

Thinkstock/curraheeshutter Ilustrasi

Padahal, kata Faisal, pada dasarnya kontraktor atau investor juga tidak akan menghitung cost recovery sebagai keuntungan usaha, sekalipun besar nilainya.

"Cost recovery tinggi berarti ongkos produksinya tinggi, sekalipun diganti, yang itu dipotongkan dulu dari pendapatan produksi sebelum dibagi hasil dengan Pemerintah,” papar Faisal.

Sebagai contoh, Faisal mengangkat kinerja keuangan salah satu Kontraktor KKKS dari Amerika Serikat, untuk memperlihatkan risiko yang mesti ditanggung kontraktor.

"Dari total pendapatan produksi 13 miliar dollar AS pada 2012,  ongkos produksi 2 miliar dollar AS, tapi yang dibawa pulang kontraktor ini ke negaranya hanya 1 miliar dollar AS setelah bagi hasil," kata Faisal.

Mengapa perlu investor?

Hingga sekarang, migas masih menjadi sumber utama energi, termasuk di Indonesia. Namun, kapasitas produksi migas Indonesia semakin menipis.

(Baca: Mitos atau Fakta, Indonesia Kaya Migas?)

Saat ini, rata-rata produksi minyak Indonesia ada di kisaran 832.000 barrel per hari (BPOD), dengan konsumsi harian rata-rata 1,4 juta BPOD.

Cadangan minyak bumi terbukti (proven) Indonesia diperkirakan tinggal 3,6 miliar barrel, yang akan habis dalam 10 tahun dengan tingkat konsumsi sekarang.

Adapun gas, produksi saat ini mencapai 2.383 MMSCFD, dengan konsumsi harian sekitar 1.264 MMSCFD, merujuk BP Statistical Review of World Energy per Juni 2016. Cadangan terbukti gas sekitar 100 TCF, yang akan bertahan untuk perkiraan 37 tahun ke depan dengan tingkat konsumsi sekarang.

Dok SKK Migas Tantangan produksi dan konsumsi migas Indonesia

Sementara itu, sumber migas yang ada saat ini kebanyakan sudah berproduksi lama. Untuk menyiapkan ketahanan energi jangka panjang, perlu upaya eksplorasi baru, dengan kondisi seperti diungkap Faisal di atas.

"Yang dibutuhkan investor, selain nilai ekonomi adalah kepastian," ujar Faisal.

Jangan sampai, lanjut Faisal, kontrak yang sudah disepakati terus berubah-ubah di tengah jalan atau bahkan mendapat aral dari beragam hal.

Tantangan bagi Indonesia, ketidakpastian masih kerap ditemui dalam praktik investasi. Tak hanya SKK Migas—sebagai regulator yang mewakili Indonesia untuk sektor hulu migas—, pembenahan juga harus dilakukan oleh seluruh elemen bangsa, bersama-sama menghadirkan iklim yang ramah investasi.

Mau ikut turun tangan?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com