Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang P Jatmiko
Editor

Penikmat isu-isu ekonomi

Proteksionisme Trump, Saat AS Rasakan Getirnya Pasar Bebas

Kompas.com - 17/11/2016, 08:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

Di satu sisi, kebijakan liberalisasi perdagangan memunculkan cerita sukses sebaaimana yang dialami oleh China dan India. Akan tetapi di sisi lain banyak juga kisah pahit akibat dibukanya pasar domestik.

Meningkatnya jumlah penduduk miskin di perdesaan di berbagai negara berkembang adalah salah satu dampak dari kebijakan terbukanya pasar. Selain itu, neraca perdagangan juga mengalami defisit akibat serbuan produk-produk impor dari negara lain yang menawarkan harga lebih murah.

Di Indonesia hal itu terlihat dari membanjirnya produk impor yang harganya jauh lebih murah jika dibandingkan dengan produksi oleh industri dalam negeri. Sehingga, mulai dari petani hingga industri manufaktur menghadapi kondisi yang sulit karena harga yang tak lagi kompetitif.

Dalam perjalanannya, Washington Consensus kemudian dituding sebagai biang masuknya paham fundamentalisme pasar (baca: neoliberalisme) dalam perekonomian berbagai negara. Hal ini karena konsensus tersebut sangat percaya dengan mekanisme pasar, dengan meminggirkan peran pemerintah.

Berbagai kritik lantas bermunculan terhadap implementasi Washington Consensus. Salah satunya diungkapkan oleh peraih nobel ekonomi Joseph Stiglitz dalam bukunya Globalization and Its Discontent (2002).

Dalam buku itu, Stiglitz menyatakan bahwa pasar bebas hanya bisa berjalan efektif ketika peran pemerintah tidak digantikan oleh lembaga-lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia dan sebagainya sebagaimana yang ada dalam Washington Consensus.

Stiglitz meyakini ketika ekonomi sebuah negara berkembang dikendalikan oleh lembaga-lembaga internasional, hasil yang didapat justru bertolak belakang dengan yang ingin dicapai oleh Washington Consensus.

Dia menyebut langkah IMF dalam melakukan "penyelamatan" ekonomi di sebuah negara tidak didahului oleh upaya melindungi pelaku usaha lokal. Selain itu, resep-resep yang diajukan berbagai lembaga internasional sangat meminggirkan stakeholders lokal dalam upaya stabilisasi ekonomi.

Sementara itu profesor ekonomi politik internasional Harvard University Dani Rodrik (2006) menyatakan suksesnya India dan China memanfaatkan perdagangan bebas, bukan karena mengikuti Washington Consensus. Dua negara itu justru melakukan hal yang sebaliknya yakni tidak melakukan privatisasi aset-aset negara serta tetap menerapkan proteksionisme pasar di era 1990an.

Ini seperti yang dilakukan China yang bergabung dengan WTO pada 2001 atau 12 tahun setelah Konsensus Washington digulirkan.

Getirnya Sampai ke Amerika

Apa yang dirasakan oleh negara-negara berkembang akhirnya sampai juga ke negara penggagasnya, Amerika Serikat. Hal ini salah satunya terlihat dari defisit perdagangan yang semakin melebar akibat impor lebih besar ketimbang ekspor.

Dalam kampanyenya, Trump menyatakan bahwa globalisasi dan perdagangan bebas memberi mudharat yang lebih besar ketimbang manfaatnya bagi perekonomian AS.

Dia menyebut bahwa perekonomian AS mulai meredup seiring dengan masuknya China ke WTO. Masuknya barang-barang murah ke AS dari China membuat 50.000 pabrik di negara tersebut ditutup dan menyebabkan jutaan orang kehilangan pekerjaan.

Berdasarkan kondisi itu, dia ingin mengakhiri berbagai perjanjian perdagangan bebas dengan menerapkan proteksionisme. Termasuk ingin melakukan renegosiasi NAFTA yang selama ini menjadi pengikat kerjasama perdagangan antara Kanada, AS dan Meksiko.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Status 17 Bandara Internasional Dihapus, INACA Ungkap Sederet Manfaatnya untuk Penerbangan Nasional

Status 17 Bandara Internasional Dihapus, INACA Ungkap Sederet Manfaatnya untuk Penerbangan Nasional

Whats New
1 Lot Berapa Lembar Saham? Ini Perhitungan Mudahnya

1 Lot Berapa Lembar Saham? Ini Perhitungan Mudahnya

Spend Smart
Jumlah Bandara Internasional Dipangkas, InJourney Airports: Banyak yang Tidak Efisien

Jumlah Bandara Internasional Dipangkas, InJourney Airports: Banyak yang Tidak Efisien

Whats New
Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

Whats New
Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

Whats New
BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

Work Smart
Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Whats New
Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Whats New
Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Whats New
Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Whats New
Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Whats New
Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Whats New
Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Work Smart
Dukung 'Green Building', Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Dukung "Green Building", Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Whats New
Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com