Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang P Jatmiko
Editor

Penikmat isu-isu ekonomi

Indonesia Darurat Piknik

Kompas.com - 21/04/2017, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBambang Priyo Jatmiko

KOMPAS.com - Saat perjalanan pulang dari Bogor ke Depok akhir pekan kemarin, saya sempat bersitegang dengan pengguna jalan lain, hanya gara-gara si pengguna jalan itu gagal mendahului saya.

Kondisi jalan yang ramai tidak memungkinkan saya menepi dan memberi kendaraan di belakang saya untuk menyalip. Mungkin kesal, sepanjang jalan, orang itu terus menguntit dan lampu kendaraannya menyorot. Dikasih jalan untuk mendahului, tetap saja berada di belakang saya.

Puncaknya, si pengendara itu memotong laju saya di daerah Cibinong dan kelihatannya coba mengintimidasi. Saya cuma ketawa dan membatin, “Paling orang ini butuh piknik...”

Di rumah buka Facebook. Saya cari status-status yang lucu dari teman-teman. Dengan harapan bisa ngakak-ngakak sendiri.

Eh, bukannya status lucu, yang nongol justru kata-kata saling serang terkait pelaksanaan Pilkada DKI.

Di grup Whatsapp juga tak kalah ramainya. Setiap kali diskusi menyenggol isu politik, hawanya selalu panas. Ujung-ujungnya sama saja: saling sindir di antara mereka yang punya referensi politik beda.

Saya tahu, kawan-kawan saya itu adalah para pekerja kantoran yang rajin. Bahkan dari mereka juga berpendidikan tinggi dan jebolan dari universitas ternama. Tapi hal-hal yang sepele membuat mereka menjadi super sensitif.

Panasnya suhu politik selama Pilkada DKI, tekanan pekerjaan, jalanan macet, belum lagi ada ada masalah di rumah, membuat hal-hal kecil menjadi isu yang besar. Hingga merembet menjadi debat kusir yang tak ada ujungnya.

Indonesia darurat piknik?

Jam Kerja yang Panjang

Sebagai negara yang dihuni oleh mayoritas kelas menengah, pemerintah memang dituntut memahami kebutuhan golongan ini. Yang salah satu satunya adalah piknik.

Piknik menjadi salah satu isu yang krusial di Indonesia, seiring dengan lamanya waktu kerja karyawan di Indonesia.

Hingga saat ini waktu kerja para karyawan di Indonesia dalam setahun adalah salah satu yang terpanjang di dunia. Jauh lebih panjang ketimbang negara-negara maju.

Jam kerja reguler dalam sehari di Indonesia adalah 8 jam. Sementara itu rata-rata hari kerja efektif dalam sebulan adalah 21 hari. Jumlah itu sudah memperhitungkan cuti tahunan.

Sehingga jika dikalikan, para karyawan di Indonesia harus bekerja selama 2.016 jam dalam setahun.

Perlu dicatat, jumlah itu hanya dihitung berdasarkan waktu kerja. Perjalanan untuk mencapai kantor belum masuk perhitungan. Padahal, bagi pekerja yang berada di kota-kota besar, perjalanan menuju ke kantor adalah perjuangan tersendiri.

Di Jakarta misalnya. Kemacetan dan desak-desakan di angkutan umum membuat seorang pekerja kantoran butuh waktu rata-rata sekitar 2 jam dari rumah menuju kantor. Sehingga, pergi-pulang butuh waktu 4 jam. Jika itu turut dihitung, waktu kerja orang Indonesia bisa mencapai 3.024 jam!

Jumlah waktu kerja ini jauh lebih lama ketimbang Meksiko yang selama ini dinobatkan sebagai negara dengan waktu kerja terpanjang di dunia yakni mencapai 2.246 jam dalam setahun.

Di China saja, rata-rata waktu kerja karyawan dalam setahun hanya antara 2.000 hingga 2.200 per tahun.

Jepang yang selama ini identik dengan penduduknya yang pekerja keras, hanya butuh waktu 1.719 jam untuk bekerja dalam setahun. Atau dalam sehari hanya perlu bekerja 6,8 jam.

Lamanya waktu kerja ini tentu akan berdampak pada psikologis para kelas menengah pekerja di Indonesia. Tak hanya produktivitas kerja, namun berbagai masalah sosial lainnya.

Mudah tersinggung, baperan, sensitif, gampang ribut di Facebook dan grup Whatsapp, sampai keluarga yang tidak harmonis, langsung ataupun tidak langsung, ada kaitannya dengan beban kerja yang dihadapi para kelas menengah ini.

Karena itu, mereka butuh santai, butuh liburan. Bagaimanapun, liburan bagi kelas menengah adalah tuntutan. Ya, tuntutan untuk melepaskan stres yang berpadu dengan upaya untuk menunjukkan status sosial.

Industri Hiburan

Tiap akhir pekan, tempat-tempat plesiran selalu dipadati pengunjung. Seperti di berbagai tempat wisata yang ada di Bogor, Bandung, Yogyakarta, Malang, dan kota-kota lainnya, pengunjung selalu berjubel.

Mau menuju ke lokasi wisata saja, jalanan sudah macet. Belum lagi saat ingin nyemplung di kolam renang rasanya susah sekali karena harus berhimpitan dengan pengunjung lain.

Kemudian, tiap kali ada lokasi wisata baru, langsung diserbu pengunjung. Pantai-pantai yang sebelumnya masih perawan, belakangan menjadi ramai karena masyarakat berbondong-bodong ingin bersantai. Hutan pinus yang asri, berubah menjadi pasar kaget menyusul banyaknya orang datang.

Tak dimungkiri, bertumbuhnya kelas menengah turut mendorong tingginya permintaan berwisata.

Hal itu setidaknya terlihat dari riset Global Industry Analysts Inc, yang menunjukkan industri taman hiburan di kawasan Asia Pasifik, Middle East dan Amerika Latin terus mencatatkan kenaikan bisnis.

Di Asia Pasifik, seperti di Indonesia, rata-rata pertumbuhan tahunan industri tersebut di kawasan ini mencapai 12,2 persen.

Angka ini mengalahkan kawasan lain yang masuk kategori emerging markets seperti di Middle East dan Amerika Latin. Di sisi lain, pertumbuhan industri ini di negara-negara maju mengalami stagnasi.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menyadari potensi pasar dari industri leisure ini. Pada tahun lalu, pemerintah melonggarkan ketentuan investasi di sektor pariwisata melalui Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2016 tentang Daftar Negatif Investasi (DNI 2016).

Dalam peraturan tersebut, pemerintah mengizinkan investor asing memiliki saham dengan porsi yang lebih besar yakni antara 67-100 persen di industri pariwisata.

Dengan pelonggaran ini, diharapkan bisa mendorong lebih banyak investasi di sektor hiburan dan wisata, serta membantu mendorong bergulirnya roda ekonomi.

Harapan Kelas Menengah

Jika dicermati, saat ini rasio jumlah tempat wisata dibandingkan dengan jumlah penduduk masih kurang memadai, apabila menilik padatnya pengunjung pada waktu liburan.

Alih-alih menjadi lebih santai dengan berlibur, justru orang malah stres dan baperan saat balik dari tempat wisata... Apalagi besoknya harus kerja.

Karena itu, munculnya kabar bahwa “Disneyland” yang akan buka di Boyolali Jawa Tengah, membuka harapan bahwa semakin banyak pilihan tempat untuk berlibur. Meski belakangan, Bupati Boyolali merevisi penjelasannya bahwa taman hiburan yang dibangun itu bisa menggunakan nama apapun.

Taman-taman hiburan baru memang perlu dibangun di Indonesia. Tak hanya untuk menjawab berbagai masalah yang dialami oleh banyak kelas menengah di Indonesia. Lebih dari itu, keberadaan taman hiburan juga akan memberikan multiplier effects bagi daerah sekitarnya.

Ya, saya sendiri setuju jika pemerintah mendorong investor untuk membangun taman hiburan dan pariwisata, berikut insentifnya.

Namun, insentif kepada investor kiranya perlu diimbangi oleh insentif lain agar keberadaan taman hiburan tak hanya berhenti pada kepentingan bisnis dan bergulirnya perekonomian daerah.

Insentif harus juga perlu diberikan pada sisi pasar. Dan, insentif itu adalah: memberi lebih banyak libur...

Tanpa insentif tersebut, para kelas menengah pekerja akan sangat mungkin menghadapi kondisi sebagaimana yang dituliskan oleh Seno Gumira Ajidarma:

“Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com