Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Chappy Hakim
KSAU 2002-2005

Penulis buku "Tanah Air Udaraku Indonesia"

Selamat Datang Maskapai Penerbangan Asing di Indonesia

Kompas.com - 03/06/2019, 10:23 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sebaliknya, ketika harga tiket “melambung tinggi”, yang sebenarnya kembali kepada harga yang “wajar” sebagai sarana transportasi dengan biaya operasi tinggi, banyak pihak yang “menjerit” dan protes, mengapa hal itu bisa terjadi.

Pada dasarnya mahal

Pada dasarnya biaya operasi penerbangan adalah mahal. Bila ada penyelenggaraan penerbangan berbiaya murah, maka dipastikan itu hanyalah implementasi dari “model bisnis” dan atau “strategi marketing” belaka yang tidak mungkin bisa diselenggarakan secara terus menerus. 

Beberapa komponen yang sangat sensitif mempengaruhi harga jual tiket adalah harga BBM, biaya pemeliharaan pesawat , kurs dolar AS dan jasa penunjang bagi operasi penerbangan serta pajak. 

Ini adalah jawaban yang menjelaskan betapa strategi pemasaran dan model bisnis yang memunculkan harga tiket murah tidak bisa bertahan terhadap variabel sensitif yang cukup banyak dalam menopang sebuah operasi penerbangan. Variabel-variabel yang menentukan itu tidak bisa dijamin dapat dipatok selalu dalam harga yang sama, apalagi murah.   

Sampai di sini maka dengan mudah dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan penerbangan di Indonesia tidak mempunyai hubungan timbal balik yang harmonis antara pemerintah sebagai regulator dan maskapai penerbangan selaku operator.   

Sebaliknya dipermukaan terlihat sekali kecenderungan dari stake holder penerbangan untuk bersama-sama, kompak dalam memacu satu hal saja yaitu meningkatkan “slot penerbangan”.

Target ini digenjot habis-habisan pantang mundur demi tercapai hasil pertumbuhan penumpang yang “fantastis” dan mengagumkan seluruh dunia yaitu per tahunnya dapat mencapai angka 2 digit, di tengah rendahnya pertumbuhan ekonomi global.   

Kedodoran

Bersamaan dengan itu, sebagai sebuah konsekuensi logis maka secara perlahan namun pasti tampaklah kemudian faktor ketertinggalan dalam hal pengelolaan sumber daya manusia dan kesiapan infrastruktur penerbangan.   

Mulailah berdatangan pilot-pilot asing ke Indonesia yang sebelumnya tidak pernah terjadi.

Sejumlah bandara mulai over kapasitas dan kedodoran dalam melayani lonjakan penumpang akibat peningkatan slot penerbangan yang sangat cepat. Pertumbuhan penumpang kemudian dialihkan ke pangkalan-pangkalan militer.

Beberapa tahun lalu muncul keluhan bahwa kita kekurangan penerbang dan teknisi.  Tidak lama setelah itu justru muncul pula keluhan bahwa kita kelebihan pilot. Banyak yang menganggur.   

Berkembang pula banyak ide dari pemerintah daerah yang menginginkan daerahnya memiliki bandara internasional.

Apa yang sebenarnya terjadi ?   

Yang jelas terlihat adalah kita memang belum atau mungkin sekali tidak memiliki sebuah perencanaan jangka panjang (strategic master-plan) bagi sebuah pengembangan di bidang penerbangan nasional yang dijadikan pedoman atau acuan bersama.

Semua permasalahan yang muncul dalam dua dekade belakangan itu pada dunia penerbangan kita adalah sebuah refleksi dari penanganan dalam mengelola penerbangan nasional yang tidak ada  dasar referensinya serta tidak berada dalam sebuah manajemen yang terpadu dan juga tidak terlihat ada kontribusi para ahli dalam perumusan kebijakan ditingkat nasional . 

Sektor-sektor yang berjalan sendiri-sendiri dalam sebuah sistem yang besar memang akan terlihat sebagai biasa-biasa saja, namun dipastikan pada satu waktu akan sampai juga pada posisi yang saling bergesekan  bahkan berbenturan satu dengan lain.

Ada dua contoh yang mudah terlihat di sini. Pertama, kurang terkoordinasinya pengelolaan penerbangan sipil dengan pelaksanaan operasi penerbangan militer. Kedua, kurang tertatanya manajemen penerbangan sipil komersial itu sendiri. 

Banyak maskapai yang kemudian gulung tikar alias bangkrut. Realitasnya, sebagai sebuah negara besar dan luas serta berujud negara kepulauan, maka Indonesia akan sangat tergantung kepada kualitas jejaring angkutan atau perhubungan udara.   

Jaringan perhubungan udara dapat dianggap sebagai urat nadi dari eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia secara keseluruhan. Sistem perhubungan udara sangat dibutuhkan dalam tata kelola pemerintahan sebagai tulang punggung terselenggaranya dukungan administrasi dan logistik dalam menopang keberlangsungan sistem roda pemerintahan dan sekaligus sebagai sarana pelayanan masyarakat. 

Lihat saja, betapa hebohnya kita hanya dalam menghadapi harga tiket yang “tiba-tiba” melambung tinggi belakangan ini karena secara langsung dan tidak langsung hal tersebut sudah mengganggu jalannya roda pembangunan nasional, setidaknya dalam sektor pariwisata dan layanan masyarakat yang berakibat pada melejitnya angka inflasi.

Apa yang harus dilakukan?

Pada akhirnya tibalah kita pada satu pertanyaan mendasar tentang apa yang harus dilakukan menghadapi situasi dan kondisi yang sulit dan sangat menantang dalam dunia penerbangan dan sudah telanjur masuk dalam kemelut yang cukup ruwet ini?   

Pertama, yang harus dilakukan adalah duduk bersama seluruh pemangku kepentingan dunia penerbangan nasional terutama dalam mempertemukan pihak regulator dan operator. Hentikan terlebih dahulu retorika yang bernuansa saling salah menyalahkan. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com