Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Putra, HC
Komite Eksekutif ICCI

Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

Tak Bisa Tunggu Bill Gates Bikin Koperasi Big Data

Kompas.com - 07/01/2020, 10:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Perspektif data as labor melihat para pengguna mempunyai hak genetik terhadap data yang ia hasilkan.

Baca juga: Hati-hati Data Pribadi Anda Disalahgunakan!

Uni Eropa bergerak maju dengan mengesahkan General Data Protection Regulation (GDPR) yang efektif pada tahun 2018 lalu.

Regulasi itu tujuannya untuk mengatur tentang kemanan data, privasi dan penggunaannya oleh perusahaan atau lembaga. Bahwa penggunaan data harus memberi manfaat kepada para penggunanya. GDPR dinilai sesuai prinsip data as labor. Bahkan dalam GDPR diatur juga klausul tentang "right to be forgotten" atau hak untuk dilupakan, yakni agar datanya tidak diambil atau dihapus oleh platform.

Selain lewat GDPR, masyarakat sipil di Eropa mulai mengorganisir dirinya dalam data labor union. Di Belanda pada Mei 2018 mereka membentuk wadah yang namanya Datavakbond. Salah satu tujuannya menuntut kepada platform membagi nilai yang dihasilkannya kepada para pengguna.

Bayangkan berapa data yang akan tercipta bila diprediksi pada tahun 2020 ini ada 30 miliar perlengkapan (device) yang terhubung dengan internet (internet of thing). Lewat sensor-sensor canggih, yang harganya murah dan tersedia, berbagai IoT itu akan menghasilkan berlipat-lipat data.

Artificial intelligent mengolahnya dan para konglomerat memanennya. Kita, para pengguna, sebagai penyedia data tak memperoleh nilai lebih yang mereka hasilkan. Di situlah ketidakadilan dari surveillance capitalism itu.

Masyarakat sipil bisa mengorganisir diri dalam dua cara. Pertama membangun konsorsium/ serikat pengguna internet. Yang kedua bisa mengorganisir diri dalam bentuk koperasi big data.

Jalan pertama kita menuntut para platform untuk membagi nilai lebihnya kepada penghasil data (labor). Yang kedua menciptakan teknologi yang secara konsensual mengambil data perilaku penggunanya. Di Indonesia keduanya sama-sama belum berkembang. Tapi itu bukan hambatan untuk memulai.

Koperasi big data

Bayangkan bagaimana bila kita membangun sebuah cookie-pihak ketiga (third party cookie) di mana para pengguna memiliki kendali atas data yang dikumpulkannya. Kendali itu hadir sebab pengguna menjadi pemilik bersama (co-ownership) terhadap teknologinya.

Secara kontraktual ketika Anda menerima cookie by coop, maka Anda setuju untuk menjadi pemilik koperasi tersebut dan membagi data Anda.

Bersama-sama, para user as member itu dapat meregulasi data yang diambil oleh cookie mau digunakan untuk apa. Misalnya menjual data tersebut ke pihak lain. Maka anggota diberi deviden atas penjualan data tersebut.

Atau yang paling canggih mengupayakan memproduksi apa-apa yang dibutuhkan anggota secara mandiri. Sebutlah dari sekian juta pengguna terlacak berapa persen mencari "sepatu" dengan model tertentu. Bila mau, selanjutnya koperasi data atau anggotanya bisa memproduksi sepatu. Itu contoh sederhananya.

Sebab data itu milik koperasi, anggota melalui kesepakatan bersama, dapat memperoleh dan menggunakan datanya. Anggota dapat menggunakannya untuk mengembangkan bisnisnya, dirinya, organisasinya atau kebutuhan sosial-ekonomi lainnya. Hal-hal seperti itu cukup diatur dalam klausul seperti Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga koperasi.

Koperasi data ini dapat berbentuk multi pihak (multi stakeholder cooperative) yang terdiri dari digital-worker as member dan user as member. Para digital-worker dengan kejeniusannya menciptakan robot cookie.

Baca juga: Kedaulatan Data, Modal Hadapi Era 4.0

User menginstall di browser ponsel atau komputernya secara sukarela. Layanan robot cookie itu juga bisa dijual kepada pihak lain. Di belakang layar, algoritma pintar melakukan analisis dari jutaan bit data yang tercipta tiap harinya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com