JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu dini hari. Edhy ditangkap terkait dugaan korupsi dalam kasus ekspor benih lobster.
Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Tb Ardi Januar mengatakan belum bisa berkomentar banyak terkait hal tersebut dengan alasan informasi yang masih simpang siur.
"Kami akan memberi keterangan ketika sudah ada kejelasan. Terima kasih," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Rabu (25/11/2020).
Baca juga: Edhy Prabowo Ditangkap KPK, Ini Kata KKP
Adapun sebelum ditangkap, Edhy diketahui melangsungkan kunjungan kerja ke AS. Kunjungan kerja dilaksanakan untuk menjalin kerja sama internasional mewujudkan kemandirian budidaya udang.
KKP menggandeng Oceanic Institute of Hawaii Pacific University, salah satu lembaga riset yang berbasis di Honolulu, Negara Bagian Hawaii, Amerika Serikat. Penandatanganan Letter of Intent (LOI) diselenggarakan pada Jumat, 20 November 2020.
Kerja sama KKP dengan Oceanic Institute of Hawaii Pacific University mencakup transfer teknologi dan transfer pengetahuan yang terkait dengan produksi induk udang unggul melalui pembangunan Broodstock Center Udang.
OI sendiri merupakan produsen induk udang nirlaba yang telah mengembangkan induk udang unggul baik unggul dalam pertumbuhan maupun Bebas Penyakit Udang.
Kerja sama dilakukan karena Indonesia punya potensi dalam budidaya udang. Namun kendalanya terdapat pada induk udang vaname unggul yang sebagian besar masih harus impor.
Baca juga: 4 Kebijakan Kontroversial Menteri KKP Edhy Prabowo yang Ditangkap KPK
Kebutuhan induk udang vaname selama ini dipenuhi dari impor induk yang 80 persen berasal dari Hawaii dan sisanya dari Florida serta negara lain.
Kerja sama ini membuat Menteri Edhy optimistis bahwa produktivitas tambak udang di Indonesia akan meningkat sehingga target produksi 1,5 juta ton per tahun pada 2024 dapat terwujud. Produksi saat ini sebagian besar dihasilkan oleh udang vaname.
"Dengan kerja sama ini harapannya budidaya di Indonesia bisa mandiri karena sudah bisa memproduksi indukan sendiri," ucap Edhy dalam siaran pers.
Selain melangsungkan kerja sama, kunjungan kerja ke AS dimanfaatkan Edhy untuk bertemu Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia yang bekerja di AS. Kunjungan ini menutup agenda kunjungan kerjanya di AS.
Dikutip dari Instagram pribadinya, Edhy mengatakan, para ABK menyampaikan tentang dinamika kerja di luar negeri, termasuk momen kerinduan bersama keluarganya di Indonesia.
Tercatat ada 201 nelayan Indonesia di Honolulu yang disapa menteri Edhy. Dia memastikan akan menyerap semua keluhan dan masukan dari para nelayan yang bekerja di kapal penangkap ikan berbendera AS tersebut.
Kedepan, pihaknya akan terus berkomunikasi dengan Konsulat Jenderal (Konjen) Republik Indonesia yang bertugas di negeri Paman Sam.
"Tetap semangat, saya yakin pengalaman kerja teman-teman akan bermanfaat untuk kemajuan sektor kelautan dan perikanan Indonesia," ucap Edhy.
Baca juga: Ini Kata Anindya Bakrie soal UU Cipta Kerja
Adapun berdasarkan keterangan KKP, hasil pembicaraan Edhy dengan nelayan mengungkap, ABK tersebut mendapat gaji sekitar 300-500 dollar AS per bulan. Selama ini mereka mendapat perlakuan yang cukup baik dari pemilik maupun kapten kapal.
Kendati demikian, para nelayan nampaknya tidak memahami isi kontrak kerja dan tidak memiliki posisi tawar untuk menegosiasikan prasyarat kontrak, antara lain terkait keimigrasian AS dan asuransi.
Sehingga mereka tidak memiliki visa AS, asuransi kecelakaan kerja, dan kesehatan yang jelas.
Dampak dari kondisi ini adalah, mereka tidak diperkenankan meninggalkan area pelabuhan dan harus setiap saat siap kembali ke kapal saat pemeriksaan oleh petugas Imigrasi AS.
Selain itu apabila terjadi kecelakaan kerja, besaran tanggungan asuransi adalah hasil negosiasi saat itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.