Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[TREN SOSBUD KOMPASIANA] Epitaf untuk Kang Jalal | Kerajinan dari Bekas Alutsista Perang | Melindungi Tinggalan Arkeologi

Kompas.com - 19/02/2021, 16:16 WIB
Harry Rhamdhani

Penulis

KOMPASIANA---Cendekiawan Jalaluddin Rakhmat meninggal dunia di Bandung, Jawa Barat, Senin (15/2/2021) sore.

Dari karya-karya beliau akan tercermin betapa laki-laki yang akrab disapa Kang Jalal ini memiliki cara berpikir yang merdeka terkait pendidikan, keagamaan, keindonesiaan, dan kemanusiaan.

Bukan hanya itu, Jalaluddin Rakhmat juga dikenal sebagai akademisi hingga pakar ilmu komunikasi. Buku-bukunya banyak digunakan jadi rujukan mahasiswa Ilmu Komunikasi. Kang Jalal telah meletakkan berbagai pandangan, perspektif, dan paradigma dalam komunikasi di Indonesia.

Selain kabar duka tersebut, masih ada konten terpopuler dan menarik lainnya di Kompasiana pada rubrik "Sosbud", khususnya.

1. Epitaf untuk Jalaluddin Rakhmat, Cendekiawan Muslim Itu Telah Berpulang

Kompasianer Muis Sunarya mengaku, dari buku Psikologi Komunikasi yang ditulis oleh Kang Jalal telah membawanya untuk menyelesaikan skripsi tentang Islam dan Konseling.

Namun, ada yang diingat Kompasianer Muis Sunarya dari buku-buku Kang Jalal, yakni kerap menggunakan kata "Anda" untuk membahasakan lawan bicara atau pembacanya.

"Ia pernah bilang, itu ia lakukan agar lebih dekat dan komunikatif dengan lawan bicara atau pembaca," tulisnya.

Selain itu, Kang Jalal memilih berkiprah terjun di ranah politik praktis, bergabung dengan PDIP, dan menjadi anggota legislatif (DPR RI) pada komisi VIII. (Baca selengkapnya)

2. Besi Putih, Kerajinan Tangan dari Bekas Alutsista Perang Dunia II

Setiap kali Kompasianer Fauji Yamin mengutarakan ingin pulang kampung, pasti teman-temannya di rantau pasti minta dibawakan oleh-oleh kalung besi putih.

Pasalnya, kini banyak perhiasan maupun asesoris besi putih imitasi. Berbeda dengan kerajinan tangan asli kampung Kompasianer Fauji Yamin.

"Kerajinan tangan besi putih sudah cukup tenar. Di timur, di periode 90-an hingga permulaan 2000, memakai besi putih bermakna identitas," tulisnya.

Namun, yang membuat kerajinan besi putih ini menarik adalah karena terbuat dari bongkahan alutsista perang dunia kedua.

Bongkahan alutsista ini, lanjut Kompasianer Fauji Yamin menjelaskan, berada di Kabupaten Kepulauan Morotai. Itu merupakan pangkalan terbesar kedua milik Amerika dibawah komando Jendral Douglas Mc. Artur. (Baca selengkapnya)

3. Memercayai Diri Sendiri

Ternyata kegiatan belajar-mengajar selama di rumah membuat Kompasianer Rijo Tobing memahami kelebihan anaknya yang tidak pernah terlihat: sikap bertanggung jawab dan kepemimpinan.

Sebagai contoh, saat belajar virtual, anak dari Kompasianer Rijo Tobing tidak segan mengirimkan pesan kepada teman-temannya yang belum muncul atau hadir.

Akan tetapi ada yang menarik saat di kelas sedang diadakan pemilihan ketua kelas. Anak sulung Kompasianer Rijo Tobing ingin sekali mendapatkan posisi tersebut. Tapi, sayang, ia gagal.

"Anak-anak boleh merasa tidak baik-baik saja dan menganggap perasaan itu sebagai pusat dari dunia mereka, karena begitulah anak-anak. Emosi mengambil porsi yang besar di dalam keseharian mereka," tulis Kompasianer Rijo Tobing.

Tugas kita sebagai orang dewasa, lanjutnya, adalah menjadi teman bicara untuk mengomunikasikan emosi dan menunjukkan jalan untuk tidak memanjakan emosi yang negatif atau tidak membangun. (Baca selengkapnya)

4. Menghitung Untung Rugi Pelestarian Warisan Budaya untuk Investasi Pariwisata

Biaya untuk konservasi warisan budaya itu tidak sedikit. Oleh karena itu, Kompasianer Wuri Handoko memertanyakan: ada berapa jumlah kontribusi warisan budaya yang menjadi obyek wisata untuk devisa negara?

Pada prinsipnya, lanjut Kompasianer Wuri Handoko, perhitungan ekonomi warisan budaya atau cagar budaya perlu dipikirkan solusi untuk biaya konservasi warisan budaya yang dihasilkan perhitungan ekonomi obyek warisan budaya itu sendiri.

"Tampaknya di Indonesia, pembicaraan soal nilai ekonomis sumber daya arkeologi baik dalam kategori cagar budaya maupun yang bukan cagar budaya masih tabu," tulis Kompasianer Wuri Handoko, mengingatkan. (Baca selengkapnya)

5. Memberdayakan Masyarakat untuk Melindungi Tinggalan Arkeologi

Di antara sejumlah subdisiplin arkeologi, tulis Kompasianer Djulianto Susantio membuka esainya, sebenarnya Arkeologi Publik relatif mudah penerapannya.

Sebab, tugasnya utamanya itu untuk mengajak peran masyarakat secara aktif dan positif atas peniggalan yang ada.

Sebagai contoh, misalnya, Kompasianer Djulianto Susantio menjelaskan kalau artefak dan situs purbakala terselamatkan berkat pemantauan yang terus-menerus oleh masyarakat.

"Pemantauan lebih mudah dilakukan karena masyarakat memang mudah diberi pengertian dan memiliki kesadaran sendiri akan masa lalu mereka," lanjutnya.

Akan tetapi bagaimana dengan di Indonesia? Pencemaran terhadap peninggalan-peninggalan purbakala menurut pantauan Kompasianer Djulianto Susantio justru terus terjadi. (Baca selengkapnya)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com