Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute

Pendiri dan Direktur The National Maritime Institute (Namarin), sebuah lembaga pengkajian kemaritiman independen. Acap menulis di media seputar isu pelabuhan, pelayaran, kepelautan, keamanan maritim dan sejenisnya.

Duka Pelayaran di Balik Pelarangan Ekspor Batu Bara

Kompas.com - 16/01/2022, 12:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETELAH sempat dilarang, akhirnya ekspor batu bara kembali diizinkan. Tetapi kebijakan ini bersyarat, dialamatkan baik kepada penambang maupun PLN.

Dari sisi pelayaran, kapal yang dibolehkan beroperasi lagi mengangkut batu bara masih sebatas yang tertahan di pelabuhan muat yang tersebar sentero pulau Kalimantan sejak pelarangan ekspor batu baru diberlakukan pada 31 Desember 2021.

Jumlahnya lebih dari seratus unit. Adapun jumlah batu bara yang akan diangkut oleh kapal-kapal itu ditaksir oleh berbagai media sekitar 6 juta ton.

Semula kalangan pelayaran nasional mengincar batu bara sebanyak itu karena disebut-disebut akan dialokasikan untuk kebutuhan pembangkit dalam negeri.

Namun, dengan diizinkannya kembali ekspor batu bara, sepertinya keinginan mereka tidak bisa diwujudkan.

Kondisi ini sepertinya disebabkan karena batu bara itu sudah ada pembelinya lengkap dengan kapal yang akan mengangkutnya.

Atau, bisa juga karena kapal-kapal yang dimiliki oleh pelayaran nasional tidak cukup untuk mengangkut komoditas “muntahan” yang tiba-tiba tersedia.

Armada kapal nasional pengangkut batu bara yang beroperasi saat ini rata-rata berupa tongkang dengan berbagai ukurannya.

Sekadar catatan, tongkang lazimnya berukuran mulai dari 180 kaki hingga 300 kaki.

Tipe pertama kapasitas angkutnya 2.000 ton, sedangkan tipe kedua mampu menampung 8.000 ton.

Di antara kedua tipe ada jenis lain: 230 kaki (kapasitas 4.000 ton) dan 270 kaki (6.000 ton).

Silakan simulasikan sendiri berapa banyak tongkang yang akan diperlukan untuk mengangkut batu bara muntahan yang jumlahnya 6 juta ton.

Ekspor batu bara selama ini dilakukan dengan skema free on board. Artinya, penambang batu bara atau miner nasional hanya menjual komoditas, sementara pengangkutan/pengapalannya diurus sendiri oleh pembeli.

Kapal para pembeli ini ukurannya lumayan besar, rata-rata sekitar 60.000 metrik ton atau cukup disebut ton saja. Tipe kapalnya bulker dan tentu saja berbendera asing.

Kebijakan pemerintah melarang ekspor batu bara yang hanya berusia beberapa hari telah menimbulkan duka bagi perusahaan pelayaran.

Dampaknya lumayan akan panjang. Misalnya, operator/pemilik kapal harus merogoh kocek sekitar 20.000 hingga 40.000 dollar AS per hari untuk demurrage.

Di muka disebutkan bahwa jumlah kapal yang tidak diizinkan angkat jangkar ada lebih dari seratus unit.

Terbayang dong berapa besar jumlah total penalti atas keterlambatan bongkar-muat tersebut yang harus dibayarkan operator kepada consignee mereka? Ya, jutaan dollar AS agregat-nya.

Kemudian, ada pula kemungkinan – dan ini peluangnya cukup besar – perseteruan hukum antara para pihak: penambang, pembeli dan pengangkut.

Dugaan saya, mereka akan berseteru seputar apakah pelarangan ekspor batu bara oleh pemerintah merupakan force majeure atau tidak.

Para pihak akan berlomba mengklaim bahwa pelarangan itu merupakan force majeure sehingga pihak bisa berkelit dari kewajibannya masing-masing.

Bila penambang, ia akan mengklaim keadaan dimaksud agar bisa menjual batu baranya ke pembeli lain yang harganya lebih tinggi daripada yang sudah ia jual ke pembeli awal.

Jika ia pengangkut/transporter, ia akan mengklaim kebijakan pemerintah melarang kapalnya angkat jangkar merupakan force majeure sehingga bisa terlepas dari membayar demurrage.

Begitu seterusnya. Rantainya akan panjang. Bila perseteruan antara para pihak itu hanya terbatas dan tertutup antara mereka, barangkali tidak akan jadi masalah yang serius.

Tetapi manakala mereka berseteru di pengadilan, ini baru serius. Soalnya bisa jadi citra Indonesia akan ikut terbawa; terbawa negatif.

Sebagai negara pelabuhan atau port state Indonesia dapat dinilai tidak memiliki penghargaan atas kontrak-kontrak pengangkutan yang sudah dibuat dengan kebijakan pelarangan ekspor batu bara.

Tidak bakal ada aksi apa-apa dari mereka yang berseteru tadi atau stakeholder lainnya.

Paling-paling hanya menjadi buah bibir tetapi ini cukup dalam menjaga ‘citra buruk’ kita di mata mereka selama ini: sering melanggar kontrak padahal pacta sunt servanda. Tidak ada kepastian hukum.

Dari kasus pelarangan ekspor batu bara yang ada, saya menangkap kesan bahwa aspek pelayaran tidak terlalu menjadi perhatian dari para pejabat yang terlibat dalam formulasi kebijakan pelarangan.

Padahal, aspek pengangkutan amat sangat terkait dengan pelarangan itu.

Persoalannya kini sudah merembet ke sektor pelayaran. Seperti kata pepatah “karena nila setitik rusak susu sebelanga”.

Semua yang telah dilakukan oleh Kementerian Perhubungan terkait dengan pelarangan itu reaktif belaka. Ibarat memadamkan api setelah terlanjur berkobar menjadi kebakaran.

Seharusnya instansi itu bertindak saat beleid pelarangan dikeluarkan oleh Kementerian ESDM dengan mengusulkan kepada sejawatnya itu agar selektif.

Tidak seperti sekarang; semuanya digebyah-uyah.

Terbukti, banyak dari penambang yang dilarang melakukan ekspor sebenarnya telah memenuhi domestic market obligation (DMO) mereka kepada PLN/IPP.

Penyemarataan perlakuan antara kapal-kapal yang sudah memenuhi DMO dan belum dalam penerbitan surat persetujuan berlayar (SPB) jelas mengirim sinyal buruk kepada komunitas maritim internasional. Entahlah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com