Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irvan Maulana
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)

Peneliti dan Penulis

Adu Kuat Politik Kelapa Sawit Indonesia-Malaysia

Kompas.com - 08/07/2022, 10:37 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Melihat ke belakang pada tahun 2014, misalnya, harga minyak sawit sempat turun hingga di bawah 750 dollar AS per metrik ton.

Sebagai bentuk respons cepat, pemerintah Malaysia menghapus tarif ekspor CPO. Kebijakan tersebut diharapkan mampu mendongkrak penjualan CPO di tengah penurunan harga dari sebelumnya lima tahun berturut-turut.

Kebijakan serupa ditempuh pemerintah Indonesia untuk mengimbangi harga CPO Malaysia yang kompetitif.

Akibatnya, kedua negara terlibat dalam semacam ‘perang pajak’, yang memaksa mereka bersaing dengan harga CPO yang kompetitif di pasar global.

'Perang pajak' antara dua produsen minyak sawit terbesar ini menunjukkan bahwa Malaysia dan Indonesia memiliki tujuan yang sama, yaitu aspirasi untuk menjadi pemain kunci di pasar minyak sawit global.

Kebijakan tarif nol ini mendapat respons yang cukup positif, dengan harga CPO yang terus meningkat di kedua negara tersebut sejak akhir tahun 2014.

Baru-baru ini, pemerintah Indonesia juga menaikkan pajak CPO. Sementara Malaysia memutuskan untuk memangkas pajak CPO.

Sebenarnya kebijakan pemerintah Indonesia dengan mengenakan pajak CPO, khususnya kenaikan pajak, justru dapat menguntungkan kelapa sawit Malaysia dengan membuatnya lebih menarik dan kompetitif di pasar global.

Kebijakan untuk meningkatkan penjualan CPO dapat dianggap pragmatis. Namun, bentuk kebijakan tersebut menghasilkan persaingan yang tidak sehat dan tidak berkelanjutan.

Praktik ini menciptakan efek buruk pada pasar minyak sawit global dan mempertaruhkan hubungan ekonomi antara Malaysia dan Indonesia.

Kontestasi seperti itu dapat merusak dan dapat mengarah pada situasi yang tidak menguntungkan bagi kedua negara jika mereka terus menggunakan pendekatan ini.

Ketiga, persaingan antara Malaysia dan Indonesia juga dapat dilihat dari respons mereka terhadap permintaan minyak sawit berkelanjutan yang terus meningkat.

Kedua negara menetapkan standar mereka untuk produksi minyak sawit berkelanjutan. Pada tahun 2011, pemerintah Indonesia mulai membuat standar Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) untuk membantu petani kelapa sawit lokal menyesuaikan diri dengan standar pertanian yang lebih tinggi.

Untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia, penerapan ISPO merupakan kewajiban bagi semua petani sawit Indonesia.

Tak mau tertinggal, pemerintah Malaysia segera mengikuti inisiatif ISPO Indonesia dengan menciptakan Malaysian Sustainable Palm Oil.

Terlepas dari kebijakan kompetitif dan progresif untuk meningkatkan pendapatan dari minyak sawit, perlu dicatat bahwa kedua negara juga terlibat dalam kolaborasi.

Malaysia dan Indonesia berbagi budaya politik dan bisnis yang memfasilitasi integrasi elite bisnis dan kebijakan.

Beberapa orang terkaya di Indonesia juga berasal dari pengusaha kelapa sawit.

Selain pengusaha domestik, kepemilikan perkebunan kelapa sawit besar di Indonesia didominasi oleh investor asal Singapura dan Malaysia.

Meski menjadi penguasa minyak sawit secara global, naik turunnya harga komodits sawit dikendalikan oleh bursa di Negeri Jiran, yakni Bursa Malaysia Derivatives (BMD).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com