Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Adu Kuat Politik Kelapa Sawit Indonesia-Malaysia

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan juga mengungkapkan keprihatinannya pada petani sawit karena harga TBS sudah di bawah Rp 1.600 per kg, bahkan ada yang di bawah Rp 1.000 per kg.

Tak ketinggalan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan ikutan geram lantaran minyak kelapa sawit Indonesia diatur oleh negara lain. Padahal, Indonesia merupakan penghasil minyak nabati terbesar di dunia.

Dalam kondisi seperti saat ini, muncul beberapa pertanyaan bagaimana sebenarnya hubungan yang terjalin antara Malaysia dan Indonesia dalam mengkoordinir pasar sawit dunia?

Jenis persaingan apa yang membentuk kebijakan di kedua negara? Dan jenis kolaborasi seperti apa yang dilakukan kedua negara untuk mengendalikan harga sawit dunia?

Fakatanya, sudah sejak lama sebenarnya Malaysia dan Indonesia bersaing dan berkolaborasi pada waktu yang bersamaan dalam kontestasi politik kelapa sawit.

Sebab kita sama-sama tahu produksi minyak sawit memainkan peran penting dalam perekonomian Malaysia dan Indonesia.

Minyak sawit menyumbang rata-rata 8 persen dari total ekspor Indonesia, sehingga menjadikannya komoditas ekspor terbesar ketiga di Indonesia setelah batu bara dan minyak bumi.

Sedangkan di Malaysia, minyak sawit menyumbang rata-rata 5 persen dari total ekspor.

Dalam hal persaingan, Malaysia dan Indonesia sama-sama menempatkan produksi minyak sawit sebagai prioritas kebijakan di tingkat nasional.

Pertama, kedua negara mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa hasil kelapa sawit mereka memiliki kualitas yang baik dan mematuhi prinsip-prinsip keberlanjutan yang disyaratkan oleh pembeli.

Untuk itu, pemerintah Malaysia melalui Malaysian Palm Oil Board (MPOB) menetapkan kebijakan untuk mendongkrak posisi minyak sawit Malaysia dalam rantai nilai global.

Kebijakan ini mencakup pengembangan kapasitas dalam negeri, termasuk mengadopsi program penelitian dan pengembangan berorientasi pasar dan industri yang kuat, melakukan alih teknologi dan mengkomersialkan hasil penelitian.

Malaysia menunjuk dewan khusus untuk mengamankan produksi kelapa sawit. Sedangkan Indonesia sebelumnya memasukkan kelapa sawit sebagai bagian dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011–2025.

Pemerintah Indonesia percaya bahwa mengembangkan kemampuan hulu dan hilir akan memungkinkan negara untuk menghasilkan output berkualitas tinggi dengan harga yang kompetitif.

MP3EI menjabarkan tiga pilar untuk meningkatkan nilai minyak sawit Indonesia: (1) penyempurnaan regulasi dan kebijakan; (2) peningkatan konektivitas melalui perbaikan infrastruktur; dan (3) pengembangan sumber daya manusia serta ilmu pengetahuan dan teknologi (Kemenko Perekonomian, 2011).

Namun, road map ini tak bertahan lama. Kemudian diganti dengan Crude Palm Oil Supporting Fund (CSF), yang bertujuan untuk (1) memperkuat produksi minyak sawit petani kecil; (2) meningkatkan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan; dan (3) memantau produksi minyak sawit (Sari, 2015).

Strategi ini menuai kritik karena dapat menyebabkan penurunan pendapatan nasional dan melemahkan daya beli petani kecil.

Kedua, terkait pembentukan CSF Indonesia, persaingan kedua negara juga dapat dilihat dari kebijakan tarifnya.

Melihat ke belakang pada tahun 2014, misalnya, harga minyak sawit sempat turun hingga di bawah 750 dollar AS per metrik ton.

Sebagai bentuk respons cepat, pemerintah Malaysia menghapus tarif ekspor CPO. Kebijakan tersebut diharapkan mampu mendongkrak penjualan CPO di tengah penurunan harga dari sebelumnya lima tahun berturut-turut.

Kebijakan serupa ditempuh pemerintah Indonesia untuk mengimbangi harga CPO Malaysia yang kompetitif.

Akibatnya, kedua negara terlibat dalam semacam ‘perang pajak’, yang memaksa mereka bersaing dengan harga CPO yang kompetitif di pasar global.

'Perang pajak' antara dua produsen minyak sawit terbesar ini menunjukkan bahwa Malaysia dan Indonesia memiliki tujuan yang sama, yaitu aspirasi untuk menjadi pemain kunci di pasar minyak sawit global.

Kebijakan tarif nol ini mendapat respons yang cukup positif, dengan harga CPO yang terus meningkat di kedua negara tersebut sejak akhir tahun 2014.

Baru-baru ini, pemerintah Indonesia juga menaikkan pajak CPO. Sementara Malaysia memutuskan untuk memangkas pajak CPO.

Sebenarnya kebijakan pemerintah Indonesia dengan mengenakan pajak CPO, khususnya kenaikan pajak, justru dapat menguntungkan kelapa sawit Malaysia dengan membuatnya lebih menarik dan kompetitif di pasar global.

Kebijakan untuk meningkatkan penjualan CPO dapat dianggap pragmatis. Namun, bentuk kebijakan tersebut menghasilkan persaingan yang tidak sehat dan tidak berkelanjutan.

Praktik ini menciptakan efek buruk pada pasar minyak sawit global dan mempertaruhkan hubungan ekonomi antara Malaysia dan Indonesia.

Kontestasi seperti itu dapat merusak dan dapat mengarah pada situasi yang tidak menguntungkan bagi kedua negara jika mereka terus menggunakan pendekatan ini.

Ketiga, persaingan antara Malaysia dan Indonesia juga dapat dilihat dari respons mereka terhadap permintaan minyak sawit berkelanjutan yang terus meningkat.

Kedua negara menetapkan standar mereka untuk produksi minyak sawit berkelanjutan. Pada tahun 2011, pemerintah Indonesia mulai membuat standar Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) untuk membantu petani kelapa sawit lokal menyesuaikan diri dengan standar pertanian yang lebih tinggi.

Untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia, penerapan ISPO merupakan kewajiban bagi semua petani sawit Indonesia.

Tak mau tertinggal, pemerintah Malaysia segera mengikuti inisiatif ISPO Indonesia dengan menciptakan Malaysian Sustainable Palm Oil.

Terlepas dari kebijakan kompetitif dan progresif untuk meningkatkan pendapatan dari minyak sawit, perlu dicatat bahwa kedua negara juga terlibat dalam kolaborasi.

Malaysia dan Indonesia berbagi budaya politik dan bisnis yang memfasilitasi integrasi elite bisnis dan kebijakan.

Beberapa orang terkaya di Indonesia juga berasal dari pengusaha kelapa sawit.

Selain pengusaha domestik, kepemilikan perkebunan kelapa sawit besar di Indonesia didominasi oleh investor asal Singapura dan Malaysia.

Meski menjadi penguasa minyak sawit secara global, naik turunnya harga komodits sawit dikendalikan oleh bursa di Negeri Jiran, yakni Bursa Malaysia Derivatives (BMD).

Selain berpatokan pada BMD, harga minyak sawit yang dijual di Indonesia juga mengacu pada bursa komoditas yang berada di Rotterdam, Belanda.

Secara umum, di antara para pemain kunci dalam industri minyak sawit, baik pemerintah maupun aktor non-pemerintah telah menciptakan inisiatif yang memadai untuk minyak sawit berkelanjutan.

Namun sayangnya pertimbangan lingkungan dan sosial masih belum menjadi prioritas dibanding hitung-hitungan ekonomi.

Jika proses ini berlanjut, krisis lingkungan yang lebih berbahaya tidak dapat dihindari, dan tata kelola pangan akan terancam.

Dengan minyak sawit memberikan kontribusi paling signifikan terhadap pasokan minyak nabati global, semestinya kerangka kerja untuk industri minyak sawit berkelanjutan harus melampaui pertimbangan lingkungan dan sosial dan harus mempertimbangkan ketahanan pangan dunia, bukan sekadar mengejar profit, bukan sekadar adu kuat kebijakan.

Sebagai komoditas pangan, kelapa sawit harus belajar dari pasar pangan lainnya, seperti industri beras.

Vietnam, misalnya, telah memberikan bukti yang sangat jelas bahwa memprioritaskan perhitungan ekonomi sebagai kepentingan tertinggi dapat menimbulkan masalah lain.

Sebagai pengekspor beras terbesar kedua di dunia, Vietnam melihat keuntungan industri beras dari harga pangan yang tinggi pada akhir 2008 dengan mengamankan kesepakatan dengan banyak negara sedemikian rupa sehingga kapasitas produksinya terlampaui.

Ketika Vietnam gagal memenuhi seperti yang dijanjikan, harga beras meningkat, dan ekspor beras kemudian diperketat.

Selain itu, dengan terus terjadi perubahan iklim, industri pertanian akan menghadapi volatilitas yang lebih besar dari sebelumnya.

Dengan produksi minyak sawit sebagai industri strategis mereka, Malaysia dan Indonesia menghadapi tantangan yang kompleks.

Kedua negara terkemuka di Asia Tenggara ini seharusnya tidak hanya menargetkan para pemain kunci dalam industri minyak sawit untuk mengatasi tantangan ini, tetapi juga berbagi tanggung jawab untuk mengamankan tata kelola pangan melalui penerapan produksi minyak sawit berkelanjutan.

Malaysia dan Indonesia, bersama dengan negara dan pemangku kepentingan lain, perlu mengelola industri kelapa sawit di luar perhitungan keuntungan.

Keberlanjutan dalam produksi minyak sawit tidak hanya membutuhkan tindakan dari kedua negara ini, tetapi juga menimbulkan masalah bagi skema yang digerakkan oleh pasar seperti RSPO.

Namun, juga diharapkan menjadi 'game changer' dan pemain kunci dalam mekanisme harga minyak sawit.

Lebih banyak negara bagian perlu menyadari minyak sawit sebagai komoditas utama untuk memastikan bahwa industri tidak akan menimbulkan masalah dalam hal tata kelola pangan.

Sebagai produsen utama, Indonesia dan Malaysia berbagi tugas dan tanggung jawab bersama untuk menjaga reputasi Asia Tenggara sebagai eksportir beras dan minyak sawit terbesar di dunia.

Teringat prinsip “triple bottom line” yang diperkenalkan John Elkington, tata kelola minyak sawit dan pangan yang berkelanjutan akan berjalan mulus ketika lingkungan, sosial dan ekonomi dianggap sebagai prioritas kebijakan yang setara.

https://money.kompas.com/read/2022/07/08/103758626/adu-kuat-politik-kelapa-sawit-indonesia-malaysia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke