JAKARTA, KOMPAS.com – Menilai dekarbonisasi industri sebagai hal yang sangat mendesak guna menyelamatkan Bumi dan ekonomi bangsa, Kadin Net Zero Hub (NZH) beharap adanya pemahaman tepat dalam upaya mencapai agenda penurunan emisi karbon nasional yang disepakati dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesi
Ketua Kadin M. Yusrizki menilai, tanpa dekarbonisasi industri, Indonesia sulit mencapai target NDC.
Yusrizki memaparkan penggunaan energi fosil di sektor industri Indonesia hingga kini masih sangat tinggi. Hal itu mengacu data dari Handbook of Energy and Economy Statistics of Indonesia (ESDM, 2021).
“Penting untuk diketahui bahwa hampir 80 persen konsumsi energi sektor industri di Indonesia berasal dari batu bara, gas alam dan minyak bumi, sedangkan sisanya berasal dari listrik,” ujarnya dalam siaran persnya dikutip Jumat (21/10/2022).
Baca juga: BI 3 Kali Naikkan Suku Bunga, Kadin Ingatkan Bisa Beri Sentimen Negatif ke Ekonomi
Dengan kata lain, lanjut dia, sektor industri merupakan kelompok konsumen energi fosil terbesar di Indonesia dan kelompok penyumbang emisi karbon yang cukup besar.
Yusrizki juga mengatakan, tahun 2019, industri manufaktur dan konstruksi menghasilkan emisi sebesar 137.040 Gg Carbon dioxide equivalent (CO2e), meningkat 29,5 persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan emisi ini memang sejalan dengan kenaikan konsumsi bahan bakar industri, yaitu sebesar 30 persen per tahun.
Sejalan dengan kenyataan itu, industri bertanggung jawab atas lebih dari 70 persen total emisi Gas Rumah Kaca (GRK) global, dan sektor energi menyalurkan hingga 33,19 persen emisi GRK. Indonesia sendiri merupakan penyumbang emisi GRK terbesar ke-8 di dunia.
“Tidak ada pilihan selain membenahi penyediaan energi di sektor industri dalam upaya pencapaian target NDC. Sekali lagi, industri bergerak dengan energi yang mayoritas berasal dari bahan bakar fosil, bukan listrik,” kata Yusrizki.
Baca juga: Kepala LKPP Temui Kadin Bujuk untuk Ikut Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
Ditambahkannya, industri menggunakan listrik dan energi non-listrik dalam kegiatan produksinya. Pabrik-pabrik menggunakan energi fosil guna memproduksikan energi secara mandiri yang kemudian digunakan untuk menjalankan sistem pemanas (heating), menggerakan boiler (untuk menghasilkan uap panas atau steam), sistem pembakaran, pendinginan (cooling), dan untuk memproduksikan feedstock atau bahan mentah untuk diolah menjadi produk jadi.
Yusrizki menyayangkan selama ini fokus penurunan emisi karbon nasional masih sangat terfokus kepada sektor kelistrikan, yang sebenarnya porsi penggunaannya jauh lebih kecil yaitu 24 persen, dibandingkan energi fosil 76 persen oleh sektor industri nasional.
“Tanpa pemahaman yang tepat mengenai konsumsi energi di sektor industri kita, akan sulit untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam dekarbonisasi industri,” tukasnya.
Dekarbonisasi industri saat ini sudah menjadi agenda penting ekonomi-ekonomi besar dunia. Dalam konteks ekonomi, dekarbonisasi industri memiliki makna penting selain penyelamatan Bumi, yaitu penyelamatan ekonomi nasional.
“Dekarbonisasi industri dilakukan bukan saja untuk memitigasi dampak perubahan iklim kepada Bumi, namun juga untuk memitigasi perekonomian Indonesia yang akan sangat terdampak oleh kebijakan-kebijakan perdagangan global yang akan memasukkan komponen komitmen atas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sebagai syarat,” papar Yusrizki.
Sebagai contoh Yuzrizki menyebut kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang disahkan oleh Uni Eropa pada tahun ini akan memberlakukan pajak tambahan bagi produk-produk tinggi emisi karbon tinggi.
Kandungan emisi karbon termasuk jumlah karbon yang diproduksikan dalam proses produksi, sehingga produk dari negara-negara dengan tingkat emisi karbon tinggi akan dikenakan pungutan pajak tambahan.
“Sehingga, jika Indonesia tidak dapat menurunkan kandungan emisi karbon dalam produk-produk ekspornya, akan ada pajak tambahan yang harus ditanggung. Ini jelas akan menurunkan daya saing atau competitiveness produk ekspor Indonesia di pasar dunia,” pesannya.
Lebih jauh Yusrizki menekankan faktor mitigasi perubahan iklim juga akan menjadi pertimbangan bagi investor dalam menentukan negara tujuan investasi. “Yang menjadi parameter baru bagi para investor global dalam menentukan wilayah tujuan investasi adalah hal-hal seperti ketersediaan energi bersih dan faktor emisi karbon dalam sistem kelistrikan (grid emission factor) nasional,” tambah Yusrizki.
Dekarbonisasi industri tegas Yusrizki adalah sebuah urgent agenda bagi Indonesia.
Sebagai catatan, saat ini grid emission factor Indonesia berada di angka 788 gram CO2e/kWh, sedangkan Thailand dan Vietnam berada di angka 549 dan 602 CO2e/kWh.
“Dalam perspektif ekonomi nasional, dekarbonisasi industri adalah aksi penyelamatan ekonomi bangsa,” imbuhnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.