Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Narasi Ekonomi Optimistis Menghadapi Resesi Global

Kompas.com - 11/12/2022, 06:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"Satu-satunya yang perlu kita takutkan adalah ketakutan itu sendiri," ucap Franklin D Rosevelt dalam pidato inagurasinya bulan Maret 1933.

PERNYATAAN tersebut bukan sekadar slogan pencitraan atau "motto gegayaan" agar presiden baru dianggap keren. Namun lebih dari itu.

Pernyataan tersebut adalah representasi dari spirit New Deal untuk memutar haluan psikologi masyarakat Amerika dari pesimistis menjadi optimistis.

Dalam praktiknya, pernyataan tersebut adalah batu loncatan untuk membangun optimistis atas rencana kebijakan "adequate but sound money" dari FDR, yakni membangun kepercayaan diri masyarakat Amerika yang sejak Great Depression 1929 mulai menarik simpanan mereka, terutama dalam bentuk "emas" dari bank.

Tak pelak, ribuan bank berada di ambang kebangkrutan karena krisis likuditas. Ketika itu, dollar AS masih terikat pada emas sebagai underlying-nya (gold standar).

Dan menjelang peralihan kekuasaan dari Herbert Hoover ke Franklin D Roosevelt, krisis perbankan sudah sangat akut.

Terjadi titik balik di mana dollar AS dan emas meninggalkan sistem perbankan secara masif, tapi ekonomi riil tetap tidak bergerak karena likuiditas tersebut tidak membuahkan transaksi ekonomi.

Uang dan emas yang keluar dari bank lebih banyak untuk tujuan "mencari" aman (hedging/lindung nilai) di mana emas dianggap sebagai save heaven (store of value).

Yang terjadi kemudian adalah deflasi. Harga komoditas anjlok, pendapatan para petani turun tajam, lalu gagal bayar dan lahan mereka disita oleh bank, karena "velocity" uang yang beredar (dollar AS dan emas) sangat rendah di satu sisi dan permintaan atas komoditas pertanian juga sangat rendah di sisi lain.

Pasalnya, perang dunia pertama telah usai. Ekonomi Eropa sudah mulai bergerak lagi, ditambah tekanan luar biasa setelah Great Depression.

Risikonya, ledakan produksi sektor pertanian Amerika selama perang dunia pertama mulai bertepuk sebelah tangan.

Permintaan luar negeri atas komoditas pertanian Amerika menurun drastis. Walhasil, pembayaran internasional berupa emas kepada Amerika berkurang yang mengakibatkan cadangan emas di The Fed ikut berkurang.

Kondisi ini bertemu dengan situasi domestik di mana masyarakat Amerika melakukan penarikan besar-besaran simpanan emas dari bank.

Mengaitkan (pegged) mata uang kepada komoditas emas (gold standard) memang sudah dipertanyakan banyak pihak kala itu.

John Maynard Keynes berdebat keras dengan Winston Churchil (Cancellor of Exchequer/Menkeu kala itu) pada 1925-an, soal apakah poundsterling sebaiknya meninggalkan standar emas atau tidak.

Keynes menyarankan untuk lepas dari emas. Namun, Churchil memilih untuk mempertahannya.

Walhasil, Inggris mengalami resesi karena suplai poundsterling terbatas, mengingat cadangan emas juga terbatas. Uang beredar tak seimbang dengan perkembangan ekonomi yang ada.

Kesalahan tersebut baru dikoreksi pada 1931, di mana Inggris akhirnya secara resmi keluar dari standar emas, setelah salah satu bank terbesar di Austria kolaps.

Kebijakan Inggris kemudian diikuti oleh negara Eropa lainya seperti Italia dan Jerman, kecuali Perancis.

Namun di Amerika, Presiden Herbert Hoover hanya bersedia mengakomodasi sebagian saran Keynes, yakni dari sisi fiskal. Walaupun proporsinya tak banyak, Hoover bersedia mengalokasikan anggaran untuk program pekejaan publik.

Namun secara moneter, Hoover bersikeras untuk tidak mengikuti Inggris. Hoover sangat yakin bahwa standar emas adalah pilihan moneter terbaik untuk keluar dari Great Depression.

Keteguhan Hoover membuat nasabah perbankan Amerika "nervous" memegang dollar AS alias lebih percaya diri memegang emas untuk lindung nilai dari ketidakpastian ekonomi.

Ribuan bank tutup dan dinyatakan "insolvent" karena kehabisan likuiditas dan cadangan emas.

Sementara di saat itu, akhir Februari jelang Maret 1933, Hoover sudah berstatus "lame duck." Artinya FDR belum resmi jadi presiden alias masih sebagai "president-elect".

Secara prinsipil Hoover kurang tertarik dengan kebijakan "bank holiday" untuk mengantisipasi krisis perbankan lebih lanjut karena akan memperlihatkan kepada publik dan dunia bahwa perbankan Amerika benar-benar sedang sakit.

Namun, ia bersedia mengambil langkah pahit tersebut selama dilakukan bersama dengan FDR sebagai "the president-elect."

FDR menolak karena merasa belum mempunyai wewenang untuk ikut mengumumkan kebijakan sepenting itu. FDR mendukung Hoover mengumumkannya sendiri.

Menanggapi itu, Hoover menolak mengeluarkan kebijakan "bank holiday" sendiri di saat bank-bank mulai berjatuhan satu-persatu.

Nah, dalam kontek itulah pernyataan Franklin Rosevelt di atas dilepaskan ke publik. FDR ingin memperkenalkan kebijakan moneter baru dengan dukungan "adequate but sound currency."

FDR mengunakan istilah diplomatis tersebut sebagai representasi atas rencana besarnya untuk melepaskan dollar AS dari standar emas dan mendorong kenaikan harga-harga komoditas pertanian agar tidak terjadi revolusi komunis di Amerika (inflasionist).

Setelah inagurasi pada 4 Maret 1933 (FDR presiden terakhir yang diinagurasi pada tanggal itu, karena selanjutnya berubah ke tanggal 20 Januari), kebijakan pertama yang diambil FDR adalah memberlakukan kebijakan "bank holiday."

Dari tanggal 5 Maret sampai 13 Maret, bank-bank tutup. Masyarakat kelabakan karena kehabisan dollar AS untuk transaksi sehari-hari.

Sebagian menukar emas dengan kebutuhan sehari-hari, sebagian menggadaikannya ke pegadaian agar mendapatkan uang kas.

Kebijakan bank holiday menyadarkan publik bahwa memegang emas ternyata tidak seindah yang mereka bayangkan.

Saat satu per satu bank yang dianggap sehat (bank klasifikasi A) mulai dibuka tanggal 14 Maret, masyarakat pemegang emas mulai antre untuk menukar emasnya dengan dollar AS.

Memang sejak Great Depression, perbankan Amerika bertumbangan. Dari total 24.000 bank sebelum krisis, sisanya hanya 14.000. Artinya, 10.000 bank dilikuidasi.

Namun kepercayaan publik kepada bank dan dollar AS kembali pulih, yang membuka pintu untuk rencana "adequate but sound money" versi New Deal ke tahap selanjutnya.

Bank-bank yang sehat akhirnya "back to business" satu per satu, emas kembali ke brankas bank dan sebagian besar dollar AS kembali ke peredaran ekonomi riil.

Setelah standar emas benar-benar dilepaskan, negara-negara mitra dagang Amerika lebih memilih memegang dollar AS, setelah London Conference yang alot.

Bagaimana mendapatkannya? Yakni dengan menukarkan emas yang mereka miliki dengan dollar AS. Tak pelak, The Fed ketiban emas dari berbagai penjuru.

Di dalam negeri, dollar AS kembali beredar luas, bahkan beredar lebih banyak. Harga-harga komoditas mulai naik perlahan karena transaksi mulai terjadi di satu sisi dan nilai dollar AS terdevaluasi di sisi lain karena supply-nya mulai berlimpah, sampai dollar AS kembali dikaitkan ke harga emas setara dengan 35 dollar AS per pounce, alias dollar AS terdevaluasi lebih dari 50 persen (sebelumnya 20 dollar AS per pounce).

Harga tersebut kemudian menjadi acuan pada perjanjian Bretton Wood pascaperang dunia kedua. Slogan singkat FDR terbayar sudah.

Kepercayaan diri masyarakat atas bank dan dollar AS pulih. Langkah awal New Deal berjalan mulus. Dan dari sisi ekonomi, Keynesian Revolution sedang dimulai. Ya, itulah kekuatan narasi yang dibangun atas visi yang juga kuat.

Sementara di sini, kita sempat menyaksikan Menteri Keuangan Sri Mulyani terkesan memilih menakut-nakuti publik.

Jadi tak salah jika pernyataan Pak Jusuf Kalla bahwa “pemerintah cq Sri Mulyani jangan menakuti-nakuti publik” sangat bisa dipahami, jika dikaitkan dengan cerita di atas. Apalagi situasinya berbeda secara fundamental.

Semakin sering Sri Mulyani mengatakan bahwa ekonomi Amerika memburuk, tanpa meyakinkan publik bahwa pemerintah memiliki rencana yang baik dan strategis, maka semakin banyak investor yang akan memindahkan asetnya ke safe heaven di luar negeri (capital outflow).

Memang aneh, tapi itulah kenyataanya. Karena dollar AS adalah hard currency, sementara rupiah tidak.

Jadi semakin dibangun persepsi negatif, semakin tinggi persepsi ketidakpastian, justru rupiah semakin ditinggalkan. Jadi wajar depresiasi rupiah cukup parah.

Dalam hemat saya, yang dibutuhkan saat ini adalah narasi tentang apa rencana Pemerintah untuk menghadapi situasi resesi global. Bukan hanya warning tak berujung.

Jika memang ada, maka sampaikan dengan narasi yang optimistis dan motivatif. Mari kita hadapi bersama-sama, karena kita bisa melewati ini, misalnya.

Namun harus diikuti action, bukan warning diikuti oleh warning, lalu oleh warning lagi.

Yang kedua, strateginya harus jelas dan masuk akal. Ketika Liz Truss menyampaikan pidato pertamanya sebagai PM Inggris, ia menjanjikan "Bold" Strategy dan Exit Plan.

Namun nyatanya isinya adalah "Tax Cut" dan ekspektasi atas "Trickel Down Effect" yang sudah lama pudar validitas resepnya.

Walhasil, krisis semakin menjadi-jadi di Inggris dan ia kemudian gagal meyakinkan perlemen. Truss menjadi PM dengan masa jabatan terpendek sepanjang sejarah Inggris.

Jadi saat strategi diambil, starteginya harus jelas dan rasional di satu sisi dan acceptable secara politik di sisi lain, dengan narasi yang menyemangati publik tentunya. Semoga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Siapa Hendry Lie, Pendiri Sriwijaya Air yang Jadi Tersangka Korupsi Timah Rp 271 Triliun?

Siapa Hendry Lie, Pendiri Sriwijaya Air yang Jadi Tersangka Korupsi Timah Rp 271 Triliun?

Whats New
Inflasi Lebaran 2024 Terendah dalam 3 Tahun, Ini Penyebabnya

Inflasi Lebaran 2024 Terendah dalam 3 Tahun, Ini Penyebabnya

Whats New
Transformasi Digital, BRI BRI Raih Dua 'Award' dalam BSEM MRI 2024

Transformasi Digital, BRI BRI Raih Dua "Award" dalam BSEM MRI 2024

Whats New
Emiten Buah Segar BUAH Targetkan Pendapatan Rp 2 Triliun Tahun Ini

Emiten Buah Segar BUAH Targetkan Pendapatan Rp 2 Triliun Tahun Ini

Whats New
SYL Gunakan Anggaran Kementan untuk Pribadi, Stafsus Sri Mulyani: Tanggung Jawab Masing-masing Kementerian

SYL Gunakan Anggaran Kementan untuk Pribadi, Stafsus Sri Mulyani: Tanggung Jawab Masing-masing Kementerian

Whats New
Saat Sri Mulyani Sampai Turun Tangan Urusi Kasus Alat Tunanetra SLB yang Tertahan Bea Cukai

Saat Sri Mulyani Sampai Turun Tangan Urusi Kasus Alat Tunanetra SLB yang Tertahan Bea Cukai

Whats New
Emiten Manufaktur Kosmetik VICI Catat Pertumbuhan Laba Bersih 20 Persen Menjadi Rp 47,1 Miliar pada Kuartal I-2024

Emiten Manufaktur Kosmetik VICI Catat Pertumbuhan Laba Bersih 20 Persen Menjadi Rp 47,1 Miliar pada Kuartal I-2024

Whats New
Jalankan Fungsi Perlindungan Masyarakat, Bea Cukai Banten Berantas Peredaran Barang Ilegal

Jalankan Fungsi Perlindungan Masyarakat, Bea Cukai Banten Berantas Peredaran Barang Ilegal

Whats New
Impor Bahan Baku Tepung Kini Cukup dengan Dokumen Laporan Surveyor

Impor Bahan Baku Tepung Kini Cukup dengan Dokumen Laporan Surveyor

Whats New
BUAH Bakal Tebar Dividen, Ini Besarannya

BUAH Bakal Tebar Dividen, Ini Besarannya

Whats New
Kementerian ESDM Tetapkan Harga Biodiesel Naik Jadi Rp 12.453 Per Liter

Kementerian ESDM Tetapkan Harga Biodiesel Naik Jadi Rp 12.453 Per Liter

Whats New
Erupsi Gunung Ruang, Bandara Sam Ratulangi Masih Ditutup Sampai Hari Ini

Erupsi Gunung Ruang, Bandara Sam Ratulangi Masih Ditutup Sampai Hari Ini

Whats New
Turun, Inflasi April 2024 Capai 3 Persen

Turun, Inflasi April 2024 Capai 3 Persen

Whats New
Harga Tiket Kereta Api 'Go Show' Naik Mulai 1 Mei

Harga Tiket Kereta Api "Go Show" Naik Mulai 1 Mei

Whats New
SMGR Kantongi Laba Bersih Rp 471,8 Miliar pada Kuartal I-2024 di Tengah Kontraksi Permintaan Semen Domestik

SMGR Kantongi Laba Bersih Rp 471,8 Miliar pada Kuartal I-2024 di Tengah Kontraksi Permintaan Semen Domestik

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com